Thursday, December 6, 2012

Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya

Bagi saya, salah satu hal yang bakal bikin saya merindukan Jogja ketika kelak saya meninggalkan kota ini (yang sebenarnya belum saya pikirkan) adalah banyaknya event nonton film gratis. Bagi saya, event nonton film gratis adalah sebuah berkah yang amat mubadzir dan haram untuk disia-siakan. Sudah nonton film, gratis pula. Manusia macam apa yang berani mengingkari nikmat seindah itu?

Jadi ceritanya, beberapa hari yang lalu Jogja Asian Film Festival (JAFF) 2012 resmi dimulai. Festival ini rutin memutar film-film dari seluruh Asia setiap tahunnya. Maka seperti tahun kemarin, kali ini pun saya dan dia yang telah menjadi partner yang baik dalam menonton film selama hampir dua tahun belakangan ini menyiapkan ancang-ancang, mengatur rencana dan strategi untuk memilih film mana saja yang bakal kami tonton. Sebenarnya pada hari pembukaan di XXI kemarin itu kami hanya berniat untuk menonton satu film, "Rumah dan Musim Hujan" (disutradarai oleh Ifa Isfansyah, dibintangi oleh Tora Sudiro, Vino Sebastian, Jajang C. Noer, dan Landung Simatupang; sangat bagus!), karena kami berpikir tiket untuk film kedua yang dijadwalkan untuk diputar tepat setelah film pertama selesai pasti telah habis. Tapi ternyata alam semesta sedang berbaik hati, kami masih mendapat tiket untuk film kedua, judulnya "Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya".

Disutradarai oleh Yosep Anggi Noen, sutradara muda asal Jogja. Film yang tayang pertama kali di Festival Del Film Locarno, Swiss bulan Agustus kemarin ini benar-benar membuat saya jatuh cinta. Konsepnya secara keseluruhan adalah berupa road movie, seperti "Y Tu Mama Tambien", "Little Miss Sunshine", atau "3 Hari Untuk Selamanya", di mana konflik dan resolusi muncul dan ditemukan dalam perjalanan oleh para tokohnya. Meski sebenarnya memiliki banyak perbedaan mendasar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa film ini cocok untuk disandingkan dengan "3 Hari Untuk Selamanya", karena sama-sama melibatkan satu laki-laki, satu perempuan, dan tiga hari perjalanan dalam mobil di Pulau Jawa.

Bersetting awal di Jogja, Vakansi bercerita tentang Ning, perempuan yang bekerja di toko awul-awul (pakaian bekas) yang kemudian pindah bekerja di toko meubel. Ning memiliki suami bernama Jarot yang lebih memilih menonton TV ketimbang mengobrol bersama istrinya, dan tidak pernah mencari istrinya meskipun ia belum pulang semalaman. Di tempat kerja barunya, Ning bertemu dengan Mur, pegawai lama yang ditugasi untuk membantu Ning beradaptasi dengan pekerjaannya. Suatu hari, Ning dan Mur mendapat tugas untuk mengantar sofa pesanan ke Temanggung. Perjalanan yang mestinya bisa diselesaikan dalam beberapa jam ini berubah menjadi perjalanan panjang yang menumbuhkan perasaan-perasaan janggal antara mereka berdua selama tiga hari dua malam melewati Dieng dan Wonosobo. Alasan vakansi dadakan ini bisa ditangkap secara samar-samar dari gelagat dua tokoh ini. Entah benar-benar tersasar atau sengaja menyasarkan diri, itu menjadi hak penonton yang memutuskan.

Yang membuatnya menjadi istimewa adalah akting para tokohnya. Akting para aktor dalam film ini benar-benar sempurna dan alami. Penggunaan bahasa Jawa (dalam hal ini Jogja) di film ini hampir tanpa cacat jika dibandingkan dengan film berlatar Jawa lainnya, seperti "Mengejar Mas-Mas" atau "Sang Penari" misalnya. Dan bukan hanya tokoh utamanya saja yang berakting bagus, para figurannya pun sangat apik. Tokoh pemilik toko awul-awul, penjaga toko meubel, penjaga warung, sampai pelacur semuanya nyaris tanpa cela. Saking sempurnanya saya sempat berpikir pembuatan film ini menggunakan kamera tersembunyi, dan sebenarnya para tokohnya adalah tokoh nyata, mereka tidak sedang berakting.

Hal lain yang membuat saya jatuh cinta adalah dialog-dialog out of topic ala Quentin Tarantino. Jika Tarantino menggunakan dialog-dialog tidak penting dan out of topic untuk mempermanis cerita, maka dalam film ini dialog-dialog tersebut menjadi jiwa. Sutradaranya seolah ingin mengatakan bahwa di dunia nyata kehidupan memang dibentuk oleh sekumpulan hal tidak penting yang kemudian dimaknai dengan kelewat penting oleh para tokohnya. Dialog favorit saya adalah yang ini:
"Aku arep neng warung sik." (Aku mau ke warung dulu.)
"Arep tuku opo?" (Mau beli apa?)
"Ora tuku opo-opo, neng warung wae." (Enggak beli apa-apa, ke warung aja.)
Absurd, tapi saya merasakan kehangatan yang nyaman di situ. Selain dialog tersebut, perbincangan tentang cacar air, pekerjaan sebagai supir rental mobil mewah, dan pengakuan tidak memiliki SIM ketika membawa mobil sampai ke Lampung adalah dialog-dialog yang sekali lagi membuat saya harus menyadarkan diri bahwa saya sedang menonton film, bukan rekaman kamera tersembunyi yang dipasang di mobil.

Daya tarik terakhir dalam film ini adalah ketelitian sutradaranya untuk menggambarkan sesuatu secara detil, amat detil malah. Bagi sebagian orang, melihat salah satu tokoh melakukan kegiatan sepele seperti mencuci botol, mengisi dua jerigen bensin sampai penuh, sampai memindahkannya ke dalam botol-botol bekas minuman bersoda dalam scene-scene panjang tanpa putus merupakan siksaan tersendiri. Bagi saya, itu adalah kenikmatan! Yosep Anggi seperti sedang bersenang-senang ketika membuat film ini, tanpa sedikit pun tendensi untuk buru-buru menyelesaikannya.

Di akhir film, Ning mengajak Mur untuk segera mengantarkan sofa pesanan tersebut dan pulang ke Jogja. Saya rasa ini bukan spoiler, karena siapa pun pasti tahu road film semacam ini memiliki ending yang sangat mudah ditebak. Klise, tapi bukankah memang seperti itu hukumnya? Vakansi, entah yang normal sampai yang paling janggal sekali pun, pada akhirnya akan membuat kita ingat rumah, akan membuat kita ingin pulang. Selamat untuk Yosep Anggi Noen, selamat untuk Vakansi, selamat bervakansi!

Saturday, November 10, 2012

senjakala Candi Ijo

Konon merupakan candi dengan letak tertinggi di Yogyakarta, berada di bukit bernama Gumuk Ijo, 410 meter di atas permukaan laut. Akses jalan ke sana menanjak dan terus menanjak. Kami duduk menghadap selatan, ke arah aktivitas kota yang serba bergegas, diwakili oleh lalu lalang pesawat di bandara Adisucipto. Menunggu matahari terbenam sembari ditemani teh susu botolan dan kudapan paling enak sedunia: Pukis Mang Tosir.

Friday, October 26, 2012

the awkward truth #6

"People worry about kids playing with guns, or watching violent videos, that some sort of culture of violence will take them over. Nobody worries about kids listening to thousands, literally thousands of songs about heartbreak, rejection, pain, misery and loss."
-Rob Gordon, High Fidelity

luka

pada pukul dua pagi
seorang lelaki terbangun dari tidurnya
kemudian ia berkaca,
dan mendapati dirinya hilang dimakan usia

pada pukul dua pagi
seorang perempuan selesai sembahyang
kepalanya dipenuhi bayang-bayang
tentang raganya yang semakin meradang

pada pukul dua pagi
ada dua makhluk yang belum rela pergi
sebab masih ada hal yang rajin disesali:
kenapa dulu mereka tak pernah saling mengerti

Thursday, October 18, 2012

Paprika: merekonstruksi mimpi

Ide untuk mengatur dan beraktivitas secara sadar dalam mimpi --baik mimpi milik sendiri maupun orang lain-- sepertinya telah menjadi obsesi manusia sejak lama. Dalam mitologi Yunani dikenal adanya Oneiroi, yaitu sekelompok dewa yang bisa masuk ke dalam mimpi manusia. Beberapa suku di Indian memiliki tradisi untuk menggantungkan jimat berbentuk jaring kecil di atas kepala manusia ketika tidur, fungsinya adalah untuk menangkap hal-hal buruk yang berusaha masuk ke dalam mimpi.

Dalam kehidupan modern, orang-orang pun masih membahas mimpi dan fantasi untuk 'terbangun' di dalamnya. Dari mulai mitos lucid dream dan segala tutorialnya hingga "Inception", film terakhir yang dengan berani memvisualisasikan mimpi manusia. Inception adalah film yang bagus, tapi menurut saya Christopher Nolan kurang bersenang-senang dengan penggambaran dunia mimpinya. Visualisasi mimpi versi Nolan terasa dingin, kaku, dan serius. Padahal menurut saya, sedingin apa pun manusia, mimpinya tetap memiliki absurditas berwarna-warni yang estetis. Hal itulah yang menjadi kebalikan dalam "Paprika"

Paprika adalah film animasi garapan Satoshi Kon, dirilis tahun 2006, dan disebut sebagai salah satu karya yang menginspirasi Inception. Ceritanya sebenarnya sangat sederhana: DC Mini, sebuah alat yang memungkinkan orang untuk masuk ke dalam mimpi orang lain sekaligus dapat mengaburkan batas antara mimpi dan kenyataan, suatu hari dicuri dari laboratorium tempatnya diproduksi. Kemudian sisanya adalah bagaimana para tokohnya mencari alat tersebut sekaligus motivasi dari si pencuri. Tokoh-tokoh tersebut adalah Paprika, seorang gadis periang yang berprofesi sebagai terapis mimpi yang sebenarnya merupakan alter-ego dari peneliti yang selalu terlihat murung bernama Chiba; Kogawa, polisi yang selalu dihantui mimpi buruk; dan Tokita, asisten Chiba yang jenius tapi kekanak-kanakan.

Plot sederhana tersebut menjadi begitu menyenangkan untuk dilihat karena dibalut oleh hal yang paling menakjubkan dari film ini, visualisasinya! Serius, film ini mampu menciptakan penggambaran mimpi yang benar-benar real (oke, itu terdengar ambigu), bahkan mungkin lebih real dari mimpi sesungguhnya (dan ini jauh lebih ambigu). Saya benar-benar dimanjakan oleh parade visual berwarna-warni yang datang bertubi-tubi. Ini yang saya maksud Nolan kurang bersenang-senang, karena visualisasi mimpi seharusnya memang seperti ini, berwarna-warni penuh absurditas, meskipun sebenarnya tema dari film ini cukup "gelap" juga. Yang lebih menyenangkan, di saat saya berpikir film ini sudah mencapai ujungnya, muncul babak baru yang visualisasinya jauh lebih bagus lagi! A massive eyegasm!

Sebenarnya sedikit tidak adil jika membandingkan ini dengan Inception, karena ini adalah film animasi, sehingga memiliki peluang lebih banyak menghadirkan keajaiban-keajaiban dalam penggarapannya. Tapi tetap saja saya berani mengatakan film ini sempurna.

p.s. : entah kenapa ketika menonton ini saya merasakan aura yang sama seperti yang saya rasakan ketika membaca "20th Century Boys".

Saturday, September 15, 2012

the awkward truth #5

"Society is binding, right? It's filling in the cracks with concrete. Everything's filed or recorded or blogged, right? Chips in our kids' heads so they won't get lost. Society needs to crumble. We're all just too chicken-shit to let it."
-Marty Mikalski, The Cabin in the Woods

Tuesday, September 4, 2012

gegas

"The world is changing, music is changing, even drugs are changing."
-Diane, Trainspotting

Ya, lagi-lagi tentang perubahan. Topik yang sepertinya tak akan pernah berhenti diperbincangkan oleh manusia. Masalahnya, makhluk bernama perubahan ini memiliki pola kedatangan yang acak yang seringkali membuat kita terhenyak, mati-matian mencari pegangan agar tidak remuk terhantam olehnya. Seperti yang terjadi pada hidup saya beberapa waktu belakangan ini, sederetan perubahan --dari yang besar sampai yang remeh-temeh-- berkumpul, berpilin saling mengait dan menjelma sebuah gelombang raksasa yang mengguyur saya yang kemudian menimbulkan efek yang bermacam-macam.

Keponakan saya sudah tujuh, Facebook dengan semena-mena telah mengganti tampilan profile seluruh penggunanya dengan timeline yang minta ampun menyebalkannya, kamera saya si Diego yang telah menjadi teman yang menyenangkan selama lebih dari tiga tahun baru saya jual tadi siang, The Cabin in the Woods akhirnya keluar juga setelah penantian selama tiga bulan, seseorang yang dekat dengan saya baru saja menikah. Sementara yang paling mendebarkan adalah, saya sudah bukan mahasiswa lagi. Artinya, dalam beberapa waktu ke depan saya sudah harus benar-benar berdiri di atas kaki saya sendiri, secara finansial lebih tepatnya. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun saya benar-benar berpikir untuk pergi meninggalkan Jogja, bergabung dengan working-class hero (atau working-class zero menurut istilah teman saya).

Apakah saya sudah siap? Belum! Lagipula saya kira yang benar-benar siap menghadapi perubahan adalah mereka yang tidak pernah bermasalah dengan perubahan. Sementara saya masih memiliki penyakit untuk mengutuki perubahan yang membuat kenyamanan saya terganggu. Penyakit yang juga diidap oleh sebagian besar masyarakat dunia. Pada akhirnya, masalah sebenarnya bukanlah pada siap atau tidak siap, melainkan pada mau atau tidak mau. Super klise memang, tetapi manusia telah berevolusi dari primata yang berburu ketika lapar dan menciptakan perkakas hanya ketika dibutuhkan menjadi makhluk super sibuk yang merasa dirinyalah yang memutar dunia, sehingga berdiam diri berarti mati. Jadi mari kutuki perubahan lebih sedikit, sebelum dia yang mengutuk kita.

Sunday, July 8, 2012

pandora

Sudah berapa tahun berlalu? Aku masih ingat wangi itu. Wangi yg memerangkap waktu, kesunyian dan pilu. Sekaligus, satu. Wangi ini pula yg memenjarakanku. Memantulkan geram yg pekak, bertalu, tentang aku. Kamu. Kita. Namun ternyata tanpa suara. Malam ini aku kembali mengumpat, kepada udara, kepada asbak yang penuh, kepada folder bertuliskan namamu di laptopku yang tak pernah berani kuhapus, kepada otak yang dengan sialnya selalu setia menyimpan data-data dari seluruh inderaku tentangmu: orang yang dengan benci kucintai.

Hah. Kau memang candu. Dan aku tak ubahnya pecandumu yg tolol. Sejenak pandanganku tertuju pada kotak kayu lapuk yang berdebu. Entah mengapa masih tersimpan disana. Tak terjamah. Membukanya? Untuk apa? Jika hanya akan membuatmu menang.

Akhirnya kudekati juga kotak kayu lapuk itu, kuangkat dari kolong lemari, kubersihkan debunya, kucermati, masih seperti dulu. Buka? Jangan!  Buka? Jangan! Buka! Persetan! Akhirnya kubuka juga, dan tampaklah sesuatu yang meramu kegetiran: sepotong jari dengan cincin emas di pangkalnya.

Tak pernah ingat bagaimana awalnya. Bagaimana siluet wajahmu rupanya terekam inderaku begitu dalam, hingga mereka kemudian berkonspirasi memantulkan gaungnya ke mana-mana. Detik dimana aku jatuh cinta dan tak bisa berpaling. Ya, jatuh. Dan terperosok ke dasar paling dalam. Sangat dalam, sehingga membuatku berjarak dengan cahaya, dengan realita, dengan logika. Dasar lubang serupa ujung sumur yang tak terkira. Lubang penyimpan gelap yang pekat, yang perlahan membutakan. Kebutaan yang menyiksaku dgn kenyataan betapa kau sangat mencintai wanita itu.

Mataku menerawang ke sudut kamar yang dingin. Nafasku tersengal, terhimpit sesak. Memandang jari yang tergeletak lemah dalam kotak ini membuatku muak sekaligus...rindu. Rupanya rindu ini begitu pahit hingga aku menangis lagi. Dan untuk kesekian kalinya, kau menang, sayang. Kupandangi jari ini, saksi dari betapa cinta dan obsesi bagaikan jam pasir, yang masing-masing bagiannya perlahan memenuhi yang lain. Betapa cemburu ternyata setajam sembilu. Sampaikan salamku pada wanita itu, istri mudamu, yang kini membuat jariku berjumlah sembilan.
*ditulis secara bergantian bersama Clay.

Friday, June 29, 2012

kala

Waktu, adalah hal yang tak pernah usang untuk dijadikan bahan perenungan, kegelisahan, serta harapan bagi manusia. Kita selalu merasa telah berhasil menangkap waktu, memenjarakannya, memberinya nama, mengukurnya, dan menetapkan ukurannya sesuai kapasitas otak kita. Padahal sebenarnya waktu adalah makhluk yang bebas, makhluk yang misterius, makhluk yang bisa meregangkan tangannya dengan bersahabat dan menikam punggung kita pada waktu yang sama.

Entah karena kejayaan Doraemon atau mungkin jauh sebelum itu, kita adalah generasi yang merindukan mesin waktu. Konsep "pergi ke masa lalu untuk memperbaikinya" adalah mimpi yang selalu indah untuk dibayangkan, begitu juga dengan "pergi ke masa lalu dan tinggal di sana karena itu adalah masa yang lebih baik dari hari ini". Mungkin juga hal yang senada dengan masa depan, pergi ke sana untuk sekedar menengoknya, belajar darinya, atau sekali lagi, pergi dan tinggal di sana karena itu adalah masa yang lebih baik dari hari ini.

Tapi bagaimana jika itu adalah siasat waktu untuk membalas kita yang telah memenjarakannya? Untuk membalas dengan balik memenjarakan kita? Seperti Gil dalam film "Midnight in Paris" yang selalu memimpikan untuk bisa hidup di tahun 1920 karena menurutnya itu adalah zaman keemasan bagi dunia seni. Akhirnya sampailah dia di sana dan menemukan seorang perempuan bernama Adriana yang selalu memimpikan hidup di tahun 1890. Kemudian pergilah mereka berdua ke tahun 1890 dan menemukan orang-orang yang ingin hidup di zaman Renaisans. Begitu seterusnya, ketidakpuasaan yang kronis akan masa di mana kita sedang berada.

Wahai Batara Kala, berbaik hatilah pada kami, sebab pusaranmu terlalu kuat untuk dibendung.

Monday, June 11, 2012

Premortem: labirin super rumit setebal 135 halaman

Beberapa waktu yang lalu ketika sedang di Bandung saya melakukan ritual yang sudah lama tidak saya lakukan: membeli buku. Kegiatan membeli buku sempat vakum beberapa waktu karena dua hal: belakangan ini saya lagi kecanduan nonton film, dan di rak buku ada sejumlah buku yang telah saya dzolimi dengan tidak pernah sempat membacanya. Mereka menunggu dengan harap-harap cemas akan pernah dijamah atau tidak. Tetapi kadang hasrat manusia tidak bisa ditebak juga. Sore itu tiba-tiba saya ingin membeli buku. Maka begitulah, tahu-tahu saya sudah sampai di antara deretan rak sebuah toko buku di Jalan Supratman.

Sebenarnya saya ingin membeli buku terbarunya Ayu Utami (yang meskipun menurut saya kover dan judulnya mirip teenlit, pasti tetap akan saya beli juga), tetapi sialnya sedang tidak ada stok di sana. Akhirnya saya membawa pulang "Klub Film" (buku yang telah lama menjadi incaran juga, tetapi ternyata mengecewakan), dan "Premortem". Buku yang saya sebut terakhir itu saya pilih secara acak di barisan buku baru. Saya asing dengan nama pengarangnya (J. Angin), kovernya simpel cenderung biasa saja, satu-satunya yang menarik adalah tulisan di kover belakangnya: "Apa yang sesungguhnya terjadi pada tokoh-tokoh cerita? Siapa mereka sebenarnya? Siapakah Anda sebenarnya?", menimbulkan sedikit ekspektasi akan merasakan sensasi yang sama seperti yang diberikan Jostein Gaarder lewat "Dunia Sophie" dan "Misteri Soliter"-nya.

Premortem adalah buku yang cukup tipis untuk sebuah novel, hanya berisi 135 halaman. Bercerita tentang...emm...entahlah, sebenarnya sampai sekarang saya tidak yakin buku ini bercerita tentang apa. Bahkan sebenarnya tidak ada yang benar-benar tahu inti cerita buku ini kecuali pengarangnya sendiri. Lewat dialog yang sempat saya lakukan dengan pengarangnya lewat Twitter, dia mengatakan bahwa Premortem memang jenis buku yang menolak untuk "menyuapi" pembacanya bulat-bulat tentang apa yang terjadi di dalamnya. Jadi pembacanyalah yang dituntut untuk mengolah sendiri bahan-bahan serta bumbu rahasia berupa clue-clue yang tersebar dalam buku ini, mengolahnya, kemudian mengunyah dan menelannya sendiri; sehingga rasa atau pemahaman tentang apakah inti dari buku ini yang didapat oleh setiap pembaca akan berbeda-beda.

Sepanjang cerita, pembaca akan dibimbing oleh tokoh "aku" yang selalu berganti-ganti, kadang laki-laki, kadang perempuan, kadang tua, kadang muda, kadang miskin, kadang kaya. Di dalamnya juga kita akan menemukan beberapa nama tokoh yang akan berulangkali berganti identitas seiring cerita yang semakin lama semakin membingungkan jika kita tidak berkonsentrasi. Hal yang menarik dari buku ini adalah sama sekali tidak ada penggunaan tanda kutip di dalamnya. Seluruh dialog antar tokoh dibuat melebur dalam narasi.

Kembali lewat Twitter, saya bertanya pada pengarangnya, jika diibaratkan film, apa film yang paling mendekati Premortem. Pengarangnya menjawab bahwa Premortem adalah seperti karya Christopher Nolan dalam bentuk buku. Saya tidak tahu film Nolan yang mana yang dijadikan perumpamaan, yang jelas saya kurang setuju, menurut saya Premortem lebih mirip dengan Vanilla Sky atau Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Tapi sensasi yang saya dapat sehabis membaca buku ini untuk pertama kalinya benar-benar mirip dengan sensasi yang saya dapat sehabis menonton Mulholand Drive: kesal karena tidak mengerti!

Saya suka dengan tema-tema membingungkan, baik dalam buku maupun film. Masalahnya adalah, baik buku dan film dengan tema-tema semacam itu biasanya memberikan jawaban di akhir, dan meskipun seringkali masih menimbulkan perdebatan antar pembaca maupun penonton, setidaknya mereka telah diberikan "bekal" yang cukup jelas lewat buku dan film tersebut untuk sedikit saja dirangkai menjadi pemahaman yang utuh. Premortem tidak seperti itu. Serius, Premortem adalah jenis buku yang tidak memberikan nafas lega di halaman terakhir. Tapi justru itulah menariknya, Premortem bukan buku yang akan masih terlihat baru karena cukup sekali dibaca, tetapi sengaja diciptakan untuk menjadi lecek karena berulangkali dibolak-balik oleh pembacanya.

Jika dilihat dari postingan-postingan di blog, Facebook, serta Twitternya, sepertinya Premortem adalah sebuah proyek yang niat untuk dibuat (bahkan ada trailer-nya juga di Youtube). Pengarangnya bahkan berani mengklaimnya sebagai "novel generasi baru pertama di dunia". Sesuatu yang akan menjadi sangat disayangkan jika hanya sedikit yang mengenal buku ini. Mungkin untuk itulah penulisnya sering membuat kuis berhadiah tiket bioskop dengan pertanyaan-pertanyaan seputar isi buku ini, secara tidak langsung membuat orang tertarik dan akhirnya ikut membeli.

Saya sendiri sudah membacanya tiga kali, dan meskipun sedikit-sedikit mulai terlihat titik terang, tetap saja belum cukup. Beberapa orang menyarankan untuk membuat mindmap atau sekedar catatan tentang detil-detil tokoh dan peristiwa ketika membaca buku ini, sesuatu yang belum sempat saya lakukan. Mungkin habis ini, ketika untuk keempat kalinya saya masuk ke dalam labirin super rumit setebal 135 halaman bernama Premortem. Selamat membaca, semoga tidak tersesat.

Thursday, May 31, 2012

the awkward truth #4

Becky: I’m not saying that it’s not alright for you. But yes, I do think that marriage goes against our primal nature.
Dante: To be loved?
Becky: To fuck, as much as possible. Spread the seed around and keep the species going. And all that shit that they feed us in the movies and greeting cards is just propaganda to get us to marry, have kids, and keep the economy going. Marriage is just the keystone to economics.
-Clerks 2

Saturday, May 19, 2012

"Everything is nothing, including the consciousness of nothing."
-E. Cioran

Thursday, May 17, 2012

"anywhere, anywhere, out of this world."

“The world is a book and those who do not travel read only one page.”
-St. Agustine

Penampilannya biasa saja, bahkan sangat biasa. Sekilas saya pikir dia adalah salah satu pekerja renovasi  kampus yang sengaja ikut main remi bersama beberap teman saya di depan sekretariat. Umurnya sekitar 20-an akhir atau 30-an awal. Saya pun menyodorkan tangan, menyalaminya.

"Dari mana Mas?"
"Dari Mapala Merah Putih."
"Hah Mapala Merah Putih? Mana tu?" tanya saya, bingung karena belum pernah mendengar nama itu.
"Mapala seluruh Indonesia." jawabnya. Saya makin bingung.
"Nih baca dulu." kata teman saya sambil menyodorkan sebuah buku kumal.

Buku tersebut ternyata adalah kumpulan testimoni dari mapala-mapala serta markas-markas militer beserta capnya dari berbagai tempat di Indonesia. Ternyata orang ini adalah seorang musafir, melakukan perjalanan keliling Indonesia, dengan sepeda. Asalnya dari Pati. Di setiap kota yang dia datangi, dia menyempatkan untuk mengunjungi markas militer dan mapala-mapala dan meminta testimoni, cap, stiker, foto bersama, atau apa pun yang bisa menandakan kehadirannya. Barang bawaannya hanyalah sebuah sepeda, sebuah ransel yang isinya beberapa potong pakaian, serta kumpulan dokumentasi-dokumentasi itu, berupa tiga buah buku, sebuah album foto yang sudah tidak berbentuk album, foto-foto lain yang tidak terbungkus, serta sebuah sertifikat yang entah datang dari mana.

Dia bercerita pernah mendaki sekitar 70-an gunung yang ada di Indonesia dan luar negeri. Ya, luar negeri. Dia bercerita pernah pergi ke tiga negara, Singapura, Malaysia, dan India. Ketika saya bertanya apakah dia memiliki visa, dia hanya tertawa. Dia bercerita ketika pergi ke India, dia menumpang sebuah kapal pengangkut ganja milik Kolombia yang berlayar dari Sabang. Di sana dia menjadi imigran gelap dan sempat pula mendaki Himalaya yang legendaris itu. Dia juga menceritakan pengalaman-pengalaman buruknya selama melakukan perjalan, dari mulai sepedanya yang hilang di Monas sampai pengalaman ditangkap dan dipukuli oleh GAM.

Kata-katanya yang masih terngiang di kepala saya adalah ketika dia mengatakan "Kalian tu kuliah buat apa? Aku tu sekolah cuma sampai kelas 2 SD, tapi udah dapat banyak banget ilmu dan pengalaman, dan itu juga masih kerasa kurang." Makjleb rasanya, langsung berpikir betapa dunia tu sebenarnya amat sangat luas tapi tega-teganya saya menyempitkan dunia saya sendiri. Betapa tidak pernah kemana-mananya saya. Betapa telah menjadi begitu angkuhnya kita para mahasiswa dengan merasa amat pintar ketika sedikit-sedikit bisa berkomentar tentang bencana, FPI, atau pun Lady Gaga, padahal pengetahuan sebenarnya ada di luar sana.

***

"Mas, sebenarnya apa yang Mas cari dari ini semua?"
"Kamu tahu Sunan Kalijaga? Kira-kira sama dengan apa yang dia cari dalam perjalanannya.."

Friday, April 27, 2012

dream sequence

Saya bukan orang yang percaya mimpi itu berhubungan dengan firasat, dengan sesuatu yang akan terjadi di masa depan. Contohnya, beberapa waktu yang lalu teman saya bermimpi saya menikah, dan katanya mimpi menikah itu ada hubungannya dengan kematian. Sementara di malam yang sama saya bermimpi saya mati, dan katanya jika mimpi mati itu artinya akan panjang umur. Lah apa artinya itu? Saya akan mati tapi juga panjang umur? Bagi saya mimpi itu adalah bentuk kreasi otak untuk mewarnai tidur kita. Mimpi adalah manifestasi dari semua harapan, kecemasan, serta imajinasi yang mengendap secara sempurna di laci raksasa bernama alam bawah sadar.

Berbicara soal mimpi, saya merasa belakangan ini mimpi saya aneh. Iya saya tahu mimpi memang tidak pernah tidak aneh, tapi mimpi saya akhir-akhir ini semakin absurd. Perpindahan setting yang begitu cepat, munculnya tokoh-tokoh yang sudah lama tidak saya jumpai (bahkan ada beberapa yang saya tidak yakin pernah mengenalnya atau tidak), alur cerita yang sudah keterlaluan tidak logisnya, dan keanehan-keanehan lain yang cukup 'aneh' untuk sebuah mimpi. Saya rasa semua mimpi itu berasal dari terlalu banyaknya film yang saya tonton belakangan ini saking begitu luangnya waktu saya dalam mengerjakan skripsi. Dengan begitu banyak gambar dari film yang masuk ke otak saya, dia menjadi kesulitan untuk merangkai cerita yang fokus untuk diputar dalam mimpi saya.

Karena saya pikir mimpi-mimpi ini akan sayang jika terlupakan begitu saja, maka saya mencatatnya, siapa tahu suatu hari bisa saya jadikan bahan cerita dalam tulisan, atau mungkin bisa saya jadikan film, seperti yang dilakukan Akira Kurosawa dalam "Dreams". Begitulah, saya kembali membuat jurnal mimpi, catatan detil yang saya tulis setiap bangun tidur tentang mimpi yang saya alami semalam. Sesuatu yang pernah saya lakukan beberapa tahun yang lalu, ketika saya sedang terobsesi dengan lucid dream, dan konon membuat jurnal mimpi dan mengingat setiap mimpi yang kita alami dapat mempercepat proses lucid dream. Tapi nyatanya dulu saya malah melupakan lucid dream dan lebih tertarik dengan jurnal mimpi itu sendiri.

Membuat jurnal mimpi itu menyenangkan. Membaca dan mengingat kembali mimpi-mimpi yang biasanya akan terlupakan hari itu juga menimbulkan sensasi yang aneh. Dan mungkin saja, kita bisa lebih mengenali diri kita lewat mimpi-mimpi kita. Mari bermimpi, mari mencatat.

Tuesday, April 24, 2012

the awkward truth #3

Dante: You hate people!
Randal: But i love gathering. Isn't it ironic?
-Clerks

Saturday, April 14, 2012

altostratus

"Apa yang biasanya dibicarakan oleh orang ketika mereka bertemu?"

Banyak. Hmm, cuaca?

"Kamu ingin kita membicarakan tentang cuaca?"

Iya. Kenapa tidak?

"Baiklah. Aku tidak pernah percaya dengan ramalan cuaca. Karena seperti manusia, cuaca itu labil, tidak konsisten, dan sering seenaknya sendiri. Maka orang-orang di televisi yang mengatakan bahwa hari ini akan cerah, besok akan turun hujan, dan lusa matahari akan tertutup awan sesungguhnya tengah mempertunjukkan pertahanan diri manusia dari musuh utamanya: rasa takut.
Rasa takut itu seperti bayangan, akan menempel dengan sempurna kemanapun kita pergi. Dan seperti bayangan, rasa takut bisa belajar dengan amat sangat cepat untuk memahami kita, mengikuti gerakan kita, dan tentu saja yang paling parah adalah, seperti bayangan, rasa takut tidak bisa hilang. Ia mungkin tersamarkan, melemah, berkurang kekuatannya, tapi tidak akan pernah bisa hilang.
Salah satu bentuk pertahanan diri manusia terhadap rasa takut adalah dengan memprediksi dan mengontrol segala sesuatu. Karena kita berpikir jika kita bisa memprediksi suatu hal, kita bisa siap mengambil ancang-ancang untuk menghadapinya. Dan jika kita bisa mengontrol sesuatu, kita bisa sekurang-kurangnya meminimalisir dampak buruk hal tersebut pada diri kita. Itulah yang terjadi dengan ramalan cuaca. Manusia pada dasarnya takut pada segala hal, termasuk cuaca, itulah kenapa kita memprediksinya setiap hari, dan jika perlu bahkan mengontrolnya. Sementara yang terjadi adalah kita merasa telah bisa memprediksi dan mengontrolnya, padahal sekali lagi, cuaca itu seperti manusia, dan kita tahu manusia tidak bisa diprediksi apalagi dikontrol."

Hmm, sebentar lagi akan ada badai.

"Kamu memprediksinya?"

Tidak, sebab aku telah belajar untuk mendengar bisikan angin. Mereka mungkin tidak bisa dikontrol, tapi mereka bisa dipercaya.

Saturday, March 31, 2012

the token of gratitude

Bagaimana sebenarnya tubuh kita menyerap respon-respon yang datang dari luar, mengkombinasikannya dengan segala hal yang ada dalam diri kita, untuk kemudian mengolah dan memformulasikannya menjadi sesuatu bernama "kebahagiaan"?

***

Beberapa hari yang lalu teman saya meninggal, bunuh diri, melompati pagar jalan tol dan melemparkan dirinya ke arah bus yang sedang melaju kencang. Tubuhnya hancur, butuh waktu lama bagi rumah sakit untuk mengautopsinya dan mengirimkannya ke rumah dimana keluarganya telah berjam-jam menunggu. Teman saya itu, saya mengenalnya sebagai seorang yang menyenangkan, tapi di satu sisi memiliki perasaan benci terhadap dunia yang terkadang bisa berubah menjadi mengerikan. Dia yang pernah kabur dari rumah setelah melihat ayahnya mabuk dan kehilangan kontrol ketika malam perayaan 17 Agustus, dia yang pernah mengendarai sepeda sambil menenteng pedang samurai karatan ketika pacarnya diganggu preman kampung sebelah. Dia yang saya tidak sempat pulang ke Bandung untuk melihat pemakamannya. Dia yang saya tahu terkadang sangat membenci dunia hingga ingin meledakkannya. Tapi apakah dia tidak bahagia? Saya tidak yakin, mungkin saja.

***

Karena kuliah saya sudah habis dan saat ini hanya disibukkan dengan penulisan skripsi yang nyatanya menyisakan banyak sekali waktu luang, saya jadi sering melakukan sesuatu yang amat jarang saya lakukan sebelumnya: menonton televisi. Di antara acara-acara tivi yang sebagian besar sebenarnya tak lain merupakan sampah-sampah visual (yang dengan gobloknya masih juga saya tonton saking tidak ada kerjaannya), saya paling muak dengan reality show atau apalah itu namanya yang mengekspos penderitaan dan kemiskinan untuk disulap menjadi daya tarik untuk penonton. Bukan hanya mengkesposnya, stasiun-stasiun tivi itu juga mengirimkan orang-orang kota untuk membuat mereka yang diekspos mendefinisikan ulang arti kebahagiaan bagi mereka setelah dihujani dengan air mata dan pernyataan simpatik berwujud "sabar ya Pak, sabar ya Bu, Tuhan pasti membalas segala kerja keras kalian bla bla bla bla."

Hal yang mirip saya alami ketika KKN. Saya yang pertama tidak setuju dengan usulan program berupa penyuluhan penyadaran pengembangan wisata dan wirausaha. Maksud saya, jika penduduk desa telah terbiasa hidup dengan pola kehidupan mereka selama ini, kenapa juga kami orang-orang kota yang sok tahu datang dan menyuruh mereka mencari lebih banyak uang? Seolah kebahagiaan itu hanya ada jika disematkan nilai nominal padanya. Satu hal yang pasti, kita kadang terlalu banyak meracuni pikiran seseorang dengan gagasan-gagasan kita sendiri.

***

Saya mempunyai teori tentang kebahagiaan. Menurut saya kebahagiaan adalah sesuatu yang diciptakan oleh otak kita untuk membuat kita memiliki keinginan untuk tetap hidup, sesuatu yang merangsang naluri eros kita, naluri untuk hidup. Semacam mekanisme pertahanan diri yang telah termodifikasi untuk melawan kepunahan.

Umur saya beberapa waktu yang lalu genap dua puluh tiga. Kata teman saya 23 merupakan angka yang keren untuk mati, karena banyak orang-orang keren yang mati di umur ini, salah satunya Ian Curtis. Tapi saya belum mau mati, bukankah itu artinya otak saya masih giat memproduksi zat bernama kebahagiaan? Bahwa naluri eros saya masih lebih kuat dibanding tanatos. Ah saya tahu, mungkin setiap manusia pada dasarnya telah diberikan kebahagiaan secara eksklusif, namun masalahnya adalah kita terlalu sering membandingkan standar kebahagiaan kita dengan orang lain, yang tentu saja tak akan pernah sama. Itulah yang membuat banyak orang luput untuk merasakan kebahagiaannya sendiri. Mungkin saja sebenarnya teman saya itu bahagia selama hidupnya --termasuk dalam kematiannya--, saya saja yang terlalu angkuh untuk menilainya tidak bahagia karena saya menggunakan standar saya sendiri (saya tidak punya ayah yang pemabuk, contohnya). Atau mungkin saja manusia terlalu banyak menghabiskan waktu mendefinisikan dan membicarakan suatu hal sehingga tidak tersisa lagi waktu untuk merasakan hal tersebut, persis seperti apa yang saya lakukan sekarang.

we hate different things
and different tastes
how people sing
what they create
want to feel the illusion
the confusion

-Always a Relief, The Radio Department

the awkward truth #2

"People like talking about people. Makes us feel superior, makes us feel in control. And sometimes, for some people, knowing some things makes them care."
-Dr. House

Tuesday, March 20, 2012

apologia

Tiba-tiba saya ingin meminta maaf kepada semua orang yang pernah saya kenal maupun semua yang tidak pernah saya kenal namun perlu saya mintai maaf. Bukan apa-apa, saya sadar saya adalah orang yang sulit meminta maaf --khususnya secara verbal-- kepada orang lain. Saya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali saya mengikuti tradisi maaf-maafan pada saat lebaran. Selain karena maaf-maafan pada saat lebaran itu overrated (saya tidak pernah suka dengan sesuatu yang overrated), bermaaf-maafan pada saat lebaran itu terasa terlalu artifisial untuk saya, dan sesuatu yang artifisial itu biasanya tidak baik untuk kesehatan.

Maka dalam tulisan ini saya ingin meminta maaf secara tulus kepada siapapun yang membaca tulisan ini, kepadamu, kepadanya, kepada siapapun yang pernah saya sakiti dan siapapun yang mungkin akan saya sakiti. Maaf, saya salah.

Wednesday, March 14, 2012

Tokyo!: sebuah pelarian sempurna dari dunia nyata

Saya punya kecenderungan untuk menikmati hal-hal yang bizzare, yang aneh, yang kontra dengan pakem realitas. Maka ketika kemarin saya selesai nonton "Tokyo!", sensasi yang saya rasakan kira-kira sama dengan orang yang akhirnya bisa minum es teh di siang bolong setelah sebulan penuh berpuasa: puas! Film ini langsung saya nobatkan sebagai film terkeren yang saya tonton tahun ini.

Disutradarai oleh tiga sutradara, berisi tiga cerita yang tidak saling berkaitan, tetapi memiliki setting yang sama: Tokyo. Saya tidak terlalu suka dengan film bersetting Asia, apalagi Jepang. Satu-satunya alasan awal kenapa saya mau menonton film ini adalah karena salah satu sutradaranya adalah Gondry (saya pernah membahas tentang dia di sini). Ternyata kedua sutradara lainnya memiliki pola yang sama dengan Gondry ketika membuat film: absurd namun indah.

Segmen pertama berjudul "Interior Design", disutradarai oleh Michel Gondry. Bercerita tentang sepasang kekasih (atau suami-istri ya?) yang pergi ke Tokyo untuk memulai hidup baru di sana dengan mencari pekerjaan apa saja sambil menumpang di apartemen kecil milik seorang teman lama. Si pemilik apartemen yang awalnya menerima mereka lama-lama merasa risih karena mereka tidak juga mendapat pekerjaan yang layak dan pindah ke apartemen sendiri. Cerita yang awalnya "aman-aman saja" ini kemudian bermanuver dengan tiba-tiba menjadi seperti dongeng gelap dengan perubahan yang terjadi pada si perempuan. Dari situ barulah terasa ini film-nya Gondry, apalagi special effect yang digunakan sangat khas, seperti yang biasa dia gunakan dalam video klip-video klip garapannya.

Segmen kedua berjudul "Merde", disutradarai oleh Leos Carax. Bercerita tentang kemunculan tiba-tiba sesosok makhluk menyerupai manusia yang keluar dari got yang suka meneror orang-orang di jalanan Tokyo. Sosok yang belakangan diketahui bernama Merde itu akhirnya ditangkap oleh pasukan khusus karena perbuatan terakhirnya sangat keterlaluan: melempari jalanan Tokyo dengan granat-granat sisa perang yang dia temukan di bawah tanah. Berhubung bahasa yang digunakan oleh Merde sangat aneh (konon hanya dimengerti oleh lima orang saja di dunia), tidak ada seorangpun yang mau menjadi pengacaranya, hingga akhirnya datang seorang pengacara dari Prancis bernama Maitre Voland yang bisa berbicara dalam bahasa yang sama dengannya. Di pengadilan, Merde mengatakan banyak hal yang melibatkan Tuhan, keadilan, kemuakan akan manusia, dan hal-hal aneh lainnya. Yang paling mencolok dalam segmen ini adalah akting dari Denis Lavant dan Jean-Francois Balmer yang memerankan Merde dan Maitre. Saking impresifnya akting mereka berdua, semua orang lain dalam segmen ini hanya terlihat seperti figuran saja.

Segmen ketiga berjudul "Shaking Tokyo", disutradarai oleh Joon-ho Bong. Secara konsep cerita, segmen inilah yang paling saya sukai, bercerita tentang seorang hikikimori, istilah yang digunakan di Jepang untuk seseorang yang memutuskan untuk menarik diri dari kemudian mengisolasi dirinya sendiri dari dunia luar, tapi biasanya masih dikirim uang oleh orang tua mereka secara rutin. Seorang hikikimori menyimpan persediaan makanan yang sangat banyak dalam kamarnya, ketika persediaan itu habis, atau dia membutuhkan jasa pengangkut sampah atau laundry, dia akan menelpon seseorang untuk mengantarkan belanjaan dan hal-hal lainnya, kemudian dia akan membayar mereka tanpa berbicara dan melakukan kontak mata. Ya, kontak mata. Tokoh dalam film ini telah menghindari kontak mata selama sepuluh tahun, sebelum akhirnya dia melakukannya ketika dia memesan pizza, karena yang mengantarkannya adalah seorang perempuan. Ketika itu tiba-tiba terjadi gempa dan si perempuan pengantar pizza pingsan tepat di pintunya. Bingung karena telah sepuluh tahun tidak berinteraksi secara langsung dengan manusia, si hikikimori ini akhirnya menemukan bahwa di lengan si wanita terdapat tombol-tombol dengan kata tertentu di bawahnya, seperti "love", "hysteria", "anger", dan "coma". Dia menekan salah satu tombol tersebut dan hidupnya berubah untuk selamanya setelah itu.

Secara keseluruhan, saya menikmati "Tokyo!" dengan cara yang sederhana, saya tidak berusaha untuk memahami apa pesan-pesan dari setiap segmen yang hendak disampaikan oleh sutradaranya. Saya menolak untuk terjebak dalam usaha untuk memahami pesan-pesan filosofis yang ada dalam film ini sehingga mengalahkan kepuasan saya dalam menikmati segi estetisnya. Karena saya percaya sebuah karya, entah film, tulisan, maupun musik seharusnya sudah steril dari campur tangan penciptanya ketika sampai ke tangan konsumen, biarkan konsumen yang menginterpretasikannya sendiri dengan caranya sendiri. Yah begitulah, selamat menonton!

Tuesday, February 28, 2012

get lost: Kulon Progo (dan kulonnya)

Berhubung Kulon Progo adalah wilayah di DIY yang paling jarang saya datangi, maka hari Minggu kemarin saya memutuskan untuk menjelajahinya bersama orang yang paling mau saya ajak kemana-mana. Sebenarnya bukan hanya Kulon Progo, tapi terus ke barat sampai menyentuh wilayah timur Purworejo.

Dari mulai melewati jalan yang menuju dua bukit dengan sawah di kanan-kirinya seperti gambaran seragam anak kecil, memasuki goa yang menyimpan legenda tentang pertempuran antara Mahesosuro-Lembusuro dan Sugriwo-Subali, terpesona melaju di antara hutan pinus sampai tidak sadar ternyata hanya melewati jalan memutar berkilo-kilo, mampir di warung vintage yang hanya menagih dua ribu rupiah untuk dua gelas teh panas dan dua bungkus kacang goreng, sampai berhenti di pinggir jalan hanya untuk memandangi jajaran perbukitan Menoreh yang tertutupi kabut samar yang tampak seperti dunia dalam film Eropa abad pertengahan.

Yah berhubung belum punya cukup sumber daya untuk get lost di luar negeri, get lost di daerah sendiri yang belum pernah dikunjungi juga oke lah..

Wednesday, February 22, 2012

the world is not a battlefield, it's a playground

Hari itu Jogja sedang keterlaluan panasnya. Sudah jam tiga sore, tapi sengatan dari atas masih mampu membuat orang paling sabar sekalipun mengumpat dalam hati. Saya sedang duduk di salah satu kursi di halaman Mirota Batik, menunggu seseorang, ketika datang seorang anak perempuan berambut merah (entah warna asli, diwarnai, atau karena keseringan berjemur) sambil menyodorkan amplop ke orang-orang di sekitar tempat tersebut. Saya mengambil amplop yang disodorkan olehnya. Tujuan saya sebenarnya adalah hanya ingin melihat kali ini apalagi yang ditulis oleh para pencari 'sumbangan' dengan memanfaatkan anak kecil di atas amplop lecek seharga 250 rupiah.

"Mohon bantuan dari kakak-kakak untuk biaya sekolah", begitu tulisannya. Jelas tulisan orang dewasa. Klise. Saya pikir saya akan menemukan tulisan yang lebih menarik dalam kegiatan eksploitatif tersebut. Begitu saya akan memasukkan beberapa receh ke dalam amplop tersebut, tidak disangka si anak duduk di sebelah saya kemudian bersandar di tangan saya. Saya tunda pengembalian propertinya dan memulai percakapan.

"Kamu namanya siapa?"
"Ayu kak.."
"Ayu siapa? Ayu Ting Ting?" (iya saya tahu, ini memang cheesy)
"Bukan kak, Ayu Palupi."
"Ooh. Kelas berapa Ayu?"
"Kelas nol kecil kak."
"Kok ga sekolah?"
"Kan udah pulang kaak." jawabnya sambil menggelayuti lengan saya dan bersandar semakin erat.
"Ibu mana?"
"Itu di sana lagi nungguin" katanya dengan nada suara yang mendadak melemah sambil menundukkan kepala.
"Kamu kok ga tidur?"
"Ga suka tidur aku kak, enakan main."
"Loh kok ga main?"
"Ini kan lagi main.."
"Ooh ini main ya. Ayu, ini uangnya kalo udah banyak mau diapain?"
"Ya mau dibeliin macem-macem kak, alat sekolah, pensil, buku." 
"Buat sekolah apa buat ibu?"
"Ya buat sekolah. Aku tu suka nggambar kak, tapi itu loh bukunya abis, jadi ga pernah nggambar lagi."
"Ooh seneng nggambar. Nih buat beli buku gambar.." kata saya seraya mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celana.

Dengan cekatan tangan kecilnya menyambar uang di tangan saya.
"Eh eh tunggu dulu. Emang kamu tahu itu berapa?"
"Tahu, tiga ribu kak. Makasih ya kak. Buat beli buku.."

Sedetik kemudian Ayu kecil berlalu dengan langkah-langkahnya yang setengah melompat sambil bersenandung kecil. Dia kembali bermain.

Friday, February 3, 2012

ode untuk pendekar dandelion

No one laughs at God in a hospital
No one laughs at God in a war
No one’s laughing at God
When they’re starving or freezing or so very poor
No one’s laughing at God
When they’ve lost all they’ve got
And they don’t know what for

(Regina Spektor-Laughing With)

Kamu tahu apa hal yang paling absurd sekaligus paling sederhana di dunia? Kematian. Ada banyak sekali misteri di dunia ini yang sanggup membuat manusia tak berhenti berpikir selama berjuta kala sampai membuat mereka botak, namun hanya kematianlah yang paling membingungkan di antara semuanya. Tidak pernah ada yang tahu apa yang terjadi ketika kita mati, bahkan meskipun telah berulang kali dijelaskan dalam buku-buku berbagai bahasa yang diyakini merupakan Sang Pencipta Masa. Tetap saja tidak pernah ada yang kembali dari kematian untuk menceritakan kepada kita ada apa sebenarnya di balik sana.

Tapi coba pikir lagi, kematian sebenarnya sangat sederhana. Jaraknya dengan kita lebih tipis dari sehelai tisu yang digunakan oleh ibu dan kakakmu tempo hari untuk mengelap mata mereka yang basah. Tampaknya setelah berjuta tahun berlalu setelah kerusuhan di kahyangan itu, Barata Kala masih belum puas untuk melahap jiwa-jiwa manusia. Dan tampaknya dia memang didisain untuk tidak pernah puas, karena dunia tanpa kematian tampaknya bisa lebih mengerikan dari kematian itu sendiri.

Begitulah dik, kematian ternyata tidak lucu. Berbeda dengan kematian-kematian dalam kartun atau dalam lelucon-lelucon 9GAG yang selalu bisa kutertawakan, pesan singkat yang masuk ke ponselku tempo hari sanggup membuatku duduk mematung selama beberapa saat. Aku tidak tahu apa namanya perasaan yang tiba-tiba menyergapku kemarin, yang jelas bukan perasaan geli karena lucu. Sungguh, itu sama sekali tidak lucu. Sekali lagi, kematian ternyata tidak lucu.

Aku sempat mendengar banyak sekali cerita tentangmu ketika kita masih berada dalam satu rombongan kehidupan di sebuah planet bernama Bumi. Katanya kamu ibarat dandelion, yang selalu bisa menghibur orang-orang sekitarmu serupa dandelion yang beterbangan dengan indahnya ketika tertiup angin, atau ketika ditiup secara manual oleh anak-anak kecil yang bermain tanpa peduli panas. Mungkin dandelion tidak cukup untuk menggambarkanmu, maafkan aku jika begitu, hanya saja aku belum bisa menemukan kata yang cocok saat ini untuk memanggilmu.

Aku jarang mendoakan orang yang pergi, tapi kali ini kudoakan semoga kamu selamat dalam perjalananmu menembus langit. Semoga di sana benar-benar indah, seperti yang sering digambarkan padamu menjelang tidur. Bukan sekedar tempat kosong yang membosankan, tapi jika pun iya, kamu punya kekuatan untuk terbang berhamburan sekali lagi seperti dandelion dan menyulap tempat itu menjadi ladang bunga. Dan jika ternyata di sana ternyata adalah penampungan jiwa-jiwa yang telah mangkat yang keadaannya tidak lebih baik dari kamp pengungsian, kamu bisa menghibur mereka dengan tarianmu. Atau apalah, yang jelas kamu bisa melakukan banyak hal baik di sana.

Semoga tulisan ini terurai aksara demi aksara --entah bagaimana caranya-- sehingga sampai ke padamu.
Untukmu, seseorang yang belum sempat kukenal.

Saturday, January 21, 2012

nice day for a sulk

Jika kita perhatikan, sebenarnya segala yang terjadi pada hidup kita adalah pengulangan, semuanya merupakan repetisi dari apa yang pernah kita alami sebelumnya. Sebutlah sebuah kejadian, entah yang bermakna positif mau pun negatif, jika kita mau jujur, kejadian semacam itu pernah kita alami sebelumnya, hanya saja dengan kemasan yang berbeda. Itulah sebabnya kita tidak pernah merasa asing dengan emosi yang muncul setiap kali tubuh merespon kejadian yang terjadi pada kita. Semua perasaan senang, sedih, marah, kecewa, takjub, dan jenis-jenis perasaan lain yang telah maupun belum diberi nama oleh manusia itu pernah kita rasakan sebelumnya, dan praktis akan terus kita rasakan sampai tubuh kita tak mampu lagi merespon sebuah stimulus.

Dengan demikian para motivator di tivi yang selalu mengatakan bahwa "hidup selalu baru setiap harinya" tidak sepenuhnya benar dengan apa yang dikatakannya. Sebenarnya hidup tidak berubah, tetapi kitalah yang lupa. Ya benar, lupa. Salah satu anugerah terbesar yang dimiliki manusia adalah lupa. Dengan melupakan, kita bisa berulangkali melakukan sesuatu yang telah jelas akan berujung pada sesuatu yang tidak menguntungkan bagi kita. Sebaliknya, dengan lupa kita juga akan selalu bisa merasakan perasaan positif tanpa bosan meskipun berulangkali telah kita rasakan sebelumnya. Dengan lupa, hidup terlihat baru di mata kita setiap kali kita membukanya di pagi hari.

Saturday, January 14, 2012

the awkward truth

"It’s just murder, man. All of God's creatures do it, some form or another. I mean, you look in the forest, you got species killing other species. Our species is killing all the species including the forest, and we just call it 'industry', not murder."
-Mickey Knox, Natural Born Killers

Wednesday, January 11, 2012

oxymoron

you do it to yourself, you do
and that's what really hurts
is that you do it to yourself
just you, you and no one else
you do it to yourself
you do it to yourself

(Radiohead-Just)

Mimpi saya semalam --dini hari lebih tepatnya-- sangat aneh. Setingnya adalah kamar saya yang benar-benar detil dan mirip dengan yang asli. Ceritanya saya terbangun karena mendengar suara benda terjatuh, dan ternyata suara itu berasal dari salah satu rak buku saya dimana terdapat Al-Qur'an dan Bibel dalam satu deret. Kedua buku itu terjatuh dengan sendirinya dan membuat buku-buku di sekitarnya ikut berhamburan ke lantai. Saya tidak berani bergerak dan membuka mata sebelum akhirnya saya benar-benar terbangun di dunia nyata dan melihat buku-buku dalam rak tersebut masih berada rapi pada tempatnya.

Saya sempat yakin peristiwa barusan benar-benar terjadi sebelum saya sadar bahwa di rak tersebut tidak ada Al-Qur'an, tetapi buku "Kisah Para Nabi dalam Al-Qur'an" yang bersebelahan dengan Bibel berukuran mini.

***

"South Park" dan "Family Guy", dua kartun favorit saya, seperti tipikal produk Amerika populer lainnya, sangat senang menjadikan agama dan Tuhan (maupun tuhan) sebagai bahan lelucon. Masing-masing pernah membuat episode tentang gambaran masa depan dimana manusia hidup tanpa agama. Keduanya menggambarkan keadaan yang sama: masa depan yang indah, damai, dan semua orang bahagia karena tidak mengenal agama. Tentu saja, seperti lelucon-lelucon mereka yang lain, dan juga seperti lelucon-lelucon dalam hidup yang seringkali mewujud tidak dalam bentuk lelucon, pasti ada yang bisa ditertawakan di balik sarkasme yang hanya bisa terasa lucu jika kita telah siap untuk menertawakannya.

Yang paling lucu dari episode-episode tersebut adalah kenyataan bahwa manusia akan tetap berperang dengan atau pun tanpa agama.

***

Tadi siang saya membaca berita yang sangat aneh. Sekitar dua ribu penduduk di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat diberitakan belum memeluk agama "resmi" yang ada di Indonesia. Hal tersebut membuat heboh para pejabat di sana. Kepala Kementerian Agama menghimbau agar mereka memeluk salah satu dari enam agama yang telah disediakan di Indonesia. Salah satu anggota DPR mengatakan bahwa polisi dan bupati harus turun tangan dalam masalah ini karena jika ada warga yang belum menganut agama "resmi", maka mereka tidak layak menjadi warga Indonesia.

Saya jadi ingat dengan anekdot tentang jari dan bulan. Tuhan digambarkan sebagai bulan, sedangkan agama adalah jari yang menunjuk ke arah bulan. Keindahan sebenarnya adalah bulan itu, tetapi kebanyakan orang justru lebih tertarik dengan jari yang menunjuk tersebut dengan cara memakaikan perhiasan kepadanya, menyucikannya, bahkan mungkin menyembahnya.

Saya sih lebih tertarik melihat bulan, jari adalah penunjuk arah. Jika suatu ketika saya lupa di mana letak bulan, saya tinggal melihat ke mana arah jari menunjuk, dan tidak melulu pada satu jari saja, karena semua jari menunjuk ke arah yang sama. Tetapi bukan berarti jari cuma berfungsi sebagai penunjuk arah. Kadang ketika langit mendung dan bulan tidak terlihat, saya merasa aman dengan melihat jari yang terus menunjuk, karena itu menunjukkan bahwa bulan selalu berada di sana, bahkan dalam keadaan langit tergelap sekali pun.