Saturday, December 31, 2011

epilog tahun kelinci

Jogja, 17 Desember 2011, 22.00

Saya berada di balkon lantai tiga sebuah kamar hotel di daerah padat wisatawan Malioboro. Hujan masih belum juga reda, tetapi riuh turis serta tukang becak yang menawarkan jasanya juga tak reda. Hasrat untuk berlibur dari rutinitas harian para turis dan kebutuhan akan beberapa rupiah dari para tukang becak yang siap mengantar mereka kemana saja sepertinya merupakan perpaduan yang lebih kuat dari keinginan untuk menghangatkan diri di dalam bangunan. Seperti yang saya lakukan saat ini, walau pun sebenarnya tidak begitu hangat juga, dengan berbatang-batang rokok menthol yang saya sesap dan segelas teh panas sisa siang tadi yang tentu saja tidak lagi panas, tapi tetap lebih nyaman dibanding berada di bawah sana, setidaknya menurut saya.

Tempat tinggi semacam ini selalu menghantarkan sensasi yang komplikatif untuk saya. Menyenangkan karena bisa melihat banyak hal dan bisa mendengar banyak suara dari bawah, membuat saya seperti pengamat yang bisa memperhatikan semua hal tapi tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Di sisi lain menimbulkan perasaan hampa yang sesak, seolah seluruh dunia sedang berpesta di bawah sana dan kamu tidak diundang. Meski pun ini malam dan juga hujan, langit terlihat cukup terang. Cahaya buatan yang terpancar dari pemukiman padat penduduk di seberang sana cukup menjadi polusi cahaya yang ampuh untuk menyamarkan warna asli malam. Langit di selatan tampak lebih terang lagi. Sekaten di alun-alun adalah penyebabnya.

Saya baru saja kembali dari perjalanan menembus hujan deras mengelilingi Jogja bersama keluarga saya. Ada dua hal menarik yang saya lihat dari balik kaca mobil yang berembun dalam perjalanan tadi. Pertama adalah seorang perempuan yang duduk di kursi roda, sedang berusaha menyeberang jalan dibantu oleh seorang lelaki, entah saudaranya, adiknya, suaminya, atau mungkin orang yang kebetulan lewat. Perempuan itu memakai ponco, sementara si lelaki basah oleh hujan karena tidak memakai apa pun untuk melindungi tubuhnya selain pakaiannya. Si lelaki tampak kesulitan dan ragu-ragu ketika mendorong kursi si perempuan karena mungkin hujan yang deras membuatnya kesulitan melihat. Maka sementara keluarga saya sedang menertawakan dua orang perempuan yang asyik berfoto di area KM 0 padahal hujan sedang deras-derasnya, mata saya tidak bisa lepas dari lelaki dan perempuan berponco di kursi roda itu di sisi lain.

Kemudian ketika berhenti di lampu merah lain, saya melihat seorang kakek tua yang berjalan sangat tertatih, sangat pelan menyibak tirai lebat bernama hujan. Dia membawa tongkat yang berbunyi "cring, cring" setiap kali dia menghentakkannya ke tanah. Kakek itu buta. Berjalan sendirian di pinggir jalan yang padat kendaraan (dia bahkan tidak berjalan di atas trotoar), tanpa ada satu pun orang yang peduli padanya. Hanya sebentar saya memperhatikannya karena lampu kembali hijau.

Meski pun otak saya merekam dua kejadian tersebut dengan durasi yang tidak lama, namun keduanya terus berputar di kepala saya malam ini, seperti sebuah film pendek yang diputar di program multimedia yang alih-alih memiliki tombol "stop", dia memiliki tombol "repeat" yang telah diklik oleh seseorang, atau sesuatu. Sialnya meski pun adegan itu terus berputar dan mengganggu ketenangan saya, saya tahu tidak ada sesuatu pun yang bisa saya perbuat tentangnya. Saya semakin terganggu karena rasa kasihan biasanya hanya akan berujung pada kebencian dan kemarahan jika saya tidak melakukan apa pun untuk menawarnya. Hal inilah yang seringkali membuat saya memutuskan untuk mengabaikan hal-hal yang terjadi di sekitar saya yang tidak memiliki hubungan secara langsung dengan saya. Inilah yang membuat saya sering terkesan apatis terhadap orang lain padahal saya sendiri juga akan tersiksa jika memikirkannya.

Kadang kita merasa lebih baik saat membicarakan ketidakberuntungan orang lain bersama teman-teman kita. Seolah dengan membicarakan dengan penuh empati tentang kemiskinan atau kelaparan atau pembunuhan atau apa pun itu di belahan bumi mana pun akan membuat hidup mereka semua menjadi lebih baik, sementara kita membicarakannya di hidup kita masing-masing yang nyaman. Kadang kita juga merasa lebih baik saat kita mendoakan mereka. Ketika Merapi meletus tahun kemarin, saya paling benci dengan slogan "pray for Indonesia" yang diobral di berbagai media. Saya percaya Tuhan dan saya percaya dengan kekuatan doa, tapi ada kalanya ketika manusia membutuhkan sesuatu yang nyata, bukan sekedar doa. Ada kalanya ketika ungkapan "dua tangan yang bekerja lebih baik daripada seribu tangan yang berdoa" betul-betul bermakna harfiah. Maka saya tidak melakukan apa pun malam ini, tidak membicarakannya dengan siapa pun, tidak juga memanjatkan doa.

***

Bandung, 31 Desember 2011, 23.45

Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya selalu benci dengan tahun baru, terutama suara petasan atau kembang api atau apalah itu yang bikin sakit telinga. Setelah gagal untuk tidur padahal saya sudah berusaha membenamkan diri di bawah bantal dan meminum sebutir CTM agar lelap, dan karena untuk melanjutkan membaca "The Pilgrimage" yang tak kunjung saya khatamkan padahal telah sebulan sejak seorang teman meminjamkannya pada saya itu tidak mungkin di tengah gempuran ledakan seperti ini, maka saya memutuskan untuk menyelesaikan tulisan yang sebelumnya hanya tersimpan di draft ini.

Saya sudah memutuskan, malam ini saya akan sedikit berdamai dengan perayaan tahun baru dengan menganggap kebisingan demi kebisingan dari terompet dan kembang api itu adalah hadiah untuk orang-orang yang selama ini terlalu takut untuk saya pikirkan dan terlalu malu untuk saya doakan. Hal-hal yang saya benci tersebut juga sebenarnya merupakan kemewahan yang tidak sederhana untuk mereka. Maka saya akan menurunkan ego saya dan menikmati langit yang kembali tersamarkan warna aslinya oleh semburat warna-warni sepersekian detik. Mungkin sehabis ini saya juga akan berdoa. Semoga selamat alam semesta beserta isinya. Amin.

Monday, December 26, 2011

discombobulate

Ceritanya dulu ketika saya SD, uang lebaran saya masih tersisa cukup banyak. Saat itu Tamiya sudah tidak begitu keren lagi, maka daripada saya bingung akan menggunakannya untuk apa, saya ikut kakak saya ke Palasari (semacam pasar buku di Bandung), niat saya adalah membeli buku, buku apa saja. Di sana saya melihat sebuah buku yang sebenarnya sudah tidak asing lagi, buku tentang detektif yang sering diceritakan dalam komik Conan, Sherlock Holmes. Kemudian saya menukar seluruh sisa uang lebaran saya dengan buku itu. Judulnya "Kumpulan Kasus Sherlock Holmes". Buku pertama yang saya beli dengan uang saya.

Setelah itu, seluruh judul dari karangan Sir Arthur Conan Doyle itu telah saya miliki. Novel yang sebenarnya tidak cocok dibaca oleh seorang anak SD, dan sebetulnya ceritanya baru saya pahami ketika kuliah saya membaca ulang buku-buku tersebut. Tapi tetap saja, kekaguman terhadap sosok Holmes itu telah mengendap di alam bawah sadar saya. Ketika saya SMP, ketika sedang booming-boomingnya Counter Strike, saya selalu memakai nickname "Holmes" ketika bermain, dan teman-teman saya selalu keliru dengan menganggap saya menyukai Katie Holmes. Bahkan Sherlock Holmes sebenarnya adalah salah satu alasan saya kuliah di psikologi. Ketika saya bercita-cita menjadi detektif, dan menyadari tidak ada fakultas di Indonesia yang mengajari orang menjadi detektif, maka saya berganti cita-cita, profesi yang sedikit mirip: psikolog.

Karena itulah, ketika dua tahun yang lalu saya mendengar Sherlock Holmes akan dibuat film dan disutradarai oleh Guy Ritchie, saya langsung over-excited karena saya juga pecinta semua film Guy Ritchie (kecuali "Swept Away"). Meski pun sebenarnya agak mengecewakan karena hampir tidak ada karakter dalam film tersebut yang beraksen Inggris, tapi Sherlock Holmes versi Guy Ritchie benar-benar menghibur dan memuaskan saya dengan mengkonversi karakter asli Holmes dalam novel yang serius, dingin, sarkas, dan sedikit humoris menjadi Holmes yang cerdas tapi amat sangat konyol. Sangat Guy Ritchie.

Kemudian tahun ini Guy Ritchie membuat sekuelnya, "A Game of Shadows". Setelah berbulan-bulan menunggu, kemarin akhirnya saya berhasil nonton film itu setelah siangnya berdiri dalam antrian penonton yang panjangnya melebihi antrian pembeli tiket di stasiun Lempuyangan setelah PT KAI menerapkan peraturan tidak boleh ada penumpang berdiri di kereta ekonomi. Guy Ritchie terlihat lebih banyak bereksperimen dalam sekuel ini, dari mulai efek sampai pergerakan kamera yang kesemuanya sangat kental dengan ciri khas Guy Ritchie. Sayangnya Guy Ritchie sempat agak terlalu menikmati eksperimennya sehingga sedikit kebablasan dalam beberapa hal yang membuat kenikmatan menonton menjadi sedikit berkurang.

Soal musik, saya sangat menyayangkan mengapa Hans Zimmer selaku composer dalam dua film Sherlock Holmes tersebut terkesan sangat tidak kreatif dengan menggunakan kembali hampir semua score dalam film pertama di film kedua ini. Pemeran Prof. Moriarty juga tidak begitu memikat saya, gestur, ekspresi, serta cara berbicaranya terkesan seperti penjahat pada umumnya. Saya berpikir betapa film ini akan sangat sempurna jika yang memerankan Moriarty adalah Anthony Hopkins. Tapi secara keseluruhan, "A Game of Shadows" terasa lebih menyenangkan dan mengenyangkan untuk saya dibanding yang pertama. Ini terasa lebih..epic!

Tapi meskipun saya menyukai kedua film tersebut, sejujurnya saya lebih menyukai Guy Ritchie ketika dia menyutradari "Lock, Stock", "Revolver" atau "Snatch", karena dalam film-film tersebut Guy Ritchie bisa menjadi lebih jujur. Dalam seri Sherlock Holmes, Guy Ritchie terlihat menjadi sangat Hollywood dan mengikuti pasar. Satu hal yang sangat saya benci dalam film action adalah karakter utamanya selalu menjadi menangan. Contoh dalam "A Game of Shadows" adalah ketika Holmes, Watson, dan teman-teman gipsinya berlarian di hutan karena dikejar oleh serdadu Jerman. Peluru-peluru yang ditembakkan oleh para serdadu itu tidak ada yang mengenai karakter-karakter penting dalam cerita, tetapi ketika salah satu jagoan menembak ke belakang, tembakannya selalu tepat sasaran.

Hal semacam inilah yang dilakukan juga oleh Christopher Nolan dalam "Inception", meski pun film itu menurut saya amat bagus, saya lebih menyukai Nolan ketika dia membuat "Following", "Memento", atau "Insomnia". Nolan terasa lebih jujur dan terasa lebih Nolan ketika membuat film-film tersebut dan ketika membuat "Inception", mau tidak mau ada hal-hal yang mesti dia tinggalkan demi memenuhi selera pasar dan kebutuhan industri. Hmm tiba-tiba saya malah jadi kepikiran, bagaimana jika Guy Ritchie dan Nolan suatu hari memutuskan untuk bertukar posisi, Guy Ritchie melanjutkan seri Batman, dan Nolan melanjutkan seri Sherlock Holmes. Saya pasti akan orgasme, pasti.

Wednesday, December 21, 2011

touché!

"where do you want to go, my heart?"
"anywhere, anywhere, out of this world."
-Charles Baudelaire

Ketika SMA, saya punya teman yang pemikirannya 'berbeda' dari siapa pun yang berada dalam radius lingkungan sekolah saya. Mungkin dia semacam Syekh Siti Jenar atau Gus Dur yang pemikirannya lebih maju dari zamannya sehingga seringkali lingkungan sosial tidak memahaminya untuk kemudian menjadi antipati terhadapnya. Saya dan beberapa teman yang memang semenjak awal selalu menganggap sekolah kami sangatlah menyebalkan dilihat dari segi mana pun, kemudian menjadi berteman akrab dengannya. Kami membicarakan segala hal yang sepertinya tidak akan dipahami oleh semua orang, tentang riuhnya politik, tentang zine-zine tua yang isinya selalu relevan untuk dibaca kapan pun, tentang band-band underground yang liriknya kacangan tapi jujur, tentang buku seorang pemuja setan, tentang alkohol, tentang Tuhan.

Kemudian pernah suatu hari sekolah kami mengadakan pensi, satu-satunya pensi yang pernah dibuat oleh SMA selama saya sekolah. Setelah bosan mendengar band-band yang begitu saja, saya dan teman saya itu memutuskan untuk menarik diri dari kerumunan dan duduk di satu pojokan yang sepi dari siapa pun. Kami ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya dia mengatakan hal yang menarik:
"Kamu pernah ngerasain kesepian gak, Bi?"
"Pernah lah.."
"Kesepian yang bener-bener sepi?"
"Maksudnya gimana?"
"Jadi gini, kamu tahu kan kalo alam semesta tu luas, luas banget, ga ada ujungnya malah. Nah kita manusia tu cuman titik keciiiil banget dari sesuatu yang luas banget ini. Bahkan planet yang kita tinggalin tu aja gak ada artinya dibandingin alam semesta. Jadi kalo Bumi kiamat pun sebenernya gak ada pengaruhnya buat alam semesta itu sendiri, kalo ada ya kecil aja. Nah apalagi kita manusia, kalo kita mati tu sama sekali gak ada pengaruhnya buat semua ini. Tiap aku mikir betapa kecilnya manusia tu aku selalu ngerasa kosong, sepi. Itu kesepian makro namanya, Bi.."
Kesepian makro, hal yang mungkin sangat familiar dan sering saya alami tetapi saya tidak tahu istilahnya. Bertahun-tahun saya akrab dengan istilah itu, dan perlahan menanamkannya ke dalam otak saya sebagai hal yang seharusnya, bahwa kita memang tidak penting, bahwa manusia memang tidak berarti apa-apa.

Lalu beberapa waktu yang lalu ketika saya kembali merasakan perasaan seperti itu lagi, saya mengirim SMS kepada teman saya itu yang sesungguhnya telah lama sekali kami tidak bertemu dan berkomunikasi. Pesan singkat "kesepian makro." yang kemudian dibalas:
"no one will ever mean anything significant, so fuck being something for the big concept. i am being something by my own standard."
Tidak saya balas. Saya cuma tersenyum. Betapa Forrest Gump lagi-lagi benar, dunia adalah sekotak coklat berbagai rasa, kita akan tahu rasanya hanya jika kita mau memakannya.

Tuesday, December 13, 2011

silence is the hardest thing for us to unveil

If the sunset is high above
calling us to catch the light up
the heat of our heart, warms like the weather
so we keep walking hand in hand

grass in front of us
won’t barry the road we passed like before
wind blowin’ softly
caressing our empty heart
so we’ll never be lonely anymore

a word can hold the secret of the universe
and silence is the hardest thing for us to unveil 

(Pure Saturday-Spoken)

Monday, December 12, 2011

bacalah kudai!

"perpustakaan adalah rumah sakit bagi pikiran."
-Anonim
Pesimis. Itulah yang sempat dirasakan oleh saya dan teman-teman KKN ketika awal Agustus kemarin akan membuat taman bacaan di salah satu desa di Pagaralam. Tanggapan warga dan pemuda di sana yang cukup dingin ditambah kesadaran membaca warga yang sangat rendah adalah penyebabnya. Program pembuatan taman bacaan (atau saya lebih suka menyebutnya "perpustakaan" walau pun teman saya menolaknya karena menurutnya ini terlalu kecil untuk disebut perpustakaan, padahal menurut saya perpustakaan itu tidak ada hubungannya dengan ukuran) tersebut telah direncanakan jauh-jauh hari di Jogja. Kami telah mengumpulkan sumbangan buku dari berbagai sumber yang bisa kami mintai, dari mulai sesama mahasiswa sampai perpustakaan kota. Kemudian terkumpullah sekitar 500 eksemplar buku dari berbagai spesies dan nama.

Setelah itu kami harus menyortir lagi buku-buku mana saja yang sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam perpustakaan tersebut kelak. Setelah itu ada klasifikasi. Kami belajar menggunakan klasifikasi Dewey yang lucunya baru saja saya baca tentang itu di "Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken"-nya Jostein Gaarder beberapa waktu sebelumnya. Yang cukup sulit adalah menentukan tempat dimana perpustakaan ini akan berada. Ada warga yang menawarkan tanah kosong di samping rumahnya untuk digunakan, tetapi kami tidak memiliki uang untuk membangun bangunan baru. Ada tawaran untuk menggunakan halaman belakang masjid, tetapi jika hujan akan kebasahan. Akhirnya ada warga yang menawarkan kolong rumahnya sebagai tempat berlabuh buku-buku tersebut (warga Pagaralam tinggal di rumah panggung, jadi kolong rumahnya biasa digunakan untuk gudang atau kandang anjing).

Pembersihan total bekas gudang tersebut kami lakukan selama berhari-hari, dari mulai memindahkan barang-barang yang debunya banyak minta ampun, menambal lubang di sana-sini, mengecat ulang, sampai menggambari tembok dengan tokoh "Shaun The Sheep" yang setelah jadi malah mirip monster laba-laba. Segera setelah peresmian perpustakaan yang kami beri nama Bacalah Kudai (artinya adalah "bacalah dulu" dalam bahasa Besemah) tersebut dilakukan, berhamburanlah para manusia dari mulai anak-anak sampai orangtuanya untuk mengambil buku, buku apa saja. Segala keraguan kami terhapuslah sudah, warga jadi senang membaca. Sungguh pemandangan yang indah, melihat para warga memegang buku sambil duduk bersandar di dinding bergambar monster laba-laba dan pelangi yang tidak simetris.

Hingga KKN selesai pun, ternyata Bacalah Kudai tetap berjalan dengan diurus oleh pemuda karang taruna. Bahkan tempo hari kami dikabari oleh ketua RW bahwa di sana para warga sedang bergotong royong membangun TK di sekitar perpustakaan, semua berawal dari kegiatan di perpustakaan yang semakin beragam dan progresif. Maka saya tetapkan membuat perpustakaan di desa sebagai salah satu hal terkeren yang pernah saya lakukan. Dan karena ini menyenangkan, saya harus melakukannya lagi kapan-kapan.

Wednesday, December 7, 2011

away we go: lagi-lagi tentang perjalanan, dan lagi-lagi tentang pulang

Saya adalah seorang pemuja film, segala jenis film, dari barat sampai timur, dari utara sampai selatan. Jika diibaratkan makanan, buku adalah makanan penuh gizi yang harus dikunyah pelan-pelan, diresapi, dihayati, ditelan sedikit-sedikit dengan penuh hati-hati, dan setelahnya harus ditunggu agar gizi-gizi yang terkandung di dalamnya terserap sempurna ke dalam otak kita; sementara film adalah makanan yang mengandung nilai gizi yang sama tetapi dapat dikonsumsi secara cepat dengan sekali telan, mungkin semacam beragam jenis buah, sayur, daging, serta karbohidrat yang dicampur menjadi satu, dijus, kemudian dapat dihabiskan dalam beberapa detik, dan setelahnya otak kita sama-sama mendapat asupan gizi yang berguna.

Tetapi sayangnya tidak semua film yang saya tonton memiliki rasa yang pas untuk "lidah" saya. Film terakhir yang saya tonton yang menurut saya bagus adalah Pintu Terlarang-nya Joko Anwar, dan itu sudah hampir dua bulan yang lalu. Maka sebelum saya berubah menjadi retarded karena setiap hari dibombardir oleh episode demi episode South Park dan Family Guy yang memaksa untuk menanggalkan segala bentuk penggunaan intelegensi serta rasionalitas untuk bisa menikmatinya, saya memutuskan untuk pergi ke Moviebox dan mengajak *ehm apa itu istilahnya? "pacar"? yah itulah* dan memilih salah satu judul film secara acak untuk ditonton saat itu juga, dan terpilihlah Away We Go.

Disutradari oleh Sam Mendes, orang yang membuat Road to Perdition (film yang cukup berpengaruh untuk saya beberapa tahun yang lalu), Away We Go memiliki plot yang sederhana dan kompleks di saat yang sama. Sepasang kekasih bernama Burt dan Verona yang sedang hamil tua (kekasih, bukan suami-istri, karena Verona tidak pernah memahami mengapa orang harus menikah) melakukan perjalanan keliling Amerika untuk bersenang-senang setelah orang tua Burt yang selama ini tinggal di dekat mereka pindah ke Belgia.

Dalam perjalanannya, mereka bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang kelak akan mengubah hidup mereka. Memang tipikal film perjalanan, dimana si tokoh akan belajar dari perjalanannya untuk kemudian menemukan bahwa harta karun terbesar mereka selama ini sebenarnya terletak tak jauh dari mereka. Tapi Sam Mendes berhasil dalam mengemas aspek-aspek romantis, cerdas, lucu, menghibur, serta melegakan secara utuh ke dalam sebuah film Amerika yang menurut saya sama sekali tidak terasa Holywood, malah mirip film-film Eropa. Yang jelas Away We Go mutlak memberikan saya kepuasaan menonton dan otomatis masuk ke dalam daftar film bergizi yang saya konsumsi tahun ini.

Berhubung saya tidak terlalu suka mereview sesuatu apalagi film, karena review itu seringnya malah menjadi racun yang membuat kepuasan menonton menjadi berkurang karena pikiran kita telah dipenuhi oleh ekspektasi-ekspektasi yang berasal dari pikiran orang lain, maka tulisan ini saya akhiri di sini saja. Ini memang bukan film serius, tapi juga bukan film kacangan. Agak tidak direkomendasikan untuk ditonton sendirian, dan sangat direkomendasikan untuk ditonton berdua bersama *ehm apa itu tadi istilahnya? "pasangan"? yah apalah itu* yang sama-sama tidak percaya dengan konsep pernikahan. Selamat menonton, selamat berjalan, selamat pulang.