Saturday, February 23, 2013

everything is illuminated

Beberapa hari yang lalu saya dan dua orang teman melakukan perjalanan impulsif ke Pantai Pandansari, satu-satunya pantai di Bantul yang memiliki mercusuar. Setelah berhasil melewati sederetan gejala fobia ketinggian yang muncul lagi setelah sekian lama saya tidak melakukan penelusuran goa vertikal, akhirnya saya berhasil menyusul kedua teman saya itu ke puncak mercusuar.

Puncaknya menyerupai balkon yang melingkar. Pembatas yang menjaga kami dari sesuatu yang tidak diinginkan hanyalah pagar setinggi pundak yang hanya memiliki satu baris besi di tengahnya. Pemandangan dari atas luar biasa. Tebing Parangndog dan Pantai Parangtritis di ujung timur, garis pantai tanpa ujung di timur, lautan luas dengan ombak yang besar di selatan, serta rimbun pepohonan dan siluet Merapi di utara. Kami baru turun setelah langit mulai gelap.

Sesampainya di bawah, kedua teman saya itu menumpang sholat Ashar yang sudah kelewat telat di rumah salah satu penjaga mercusuar yang sedang menyapu halaman. Sambil menunggu mereka, saya ngobrol sedikit dengan bapak penjaga tersebut sambil leyeh-leyeh di bawah pohon cemara yang teduh. Belakangan saya tahu si bapak bernama Pak Cipto.

Boleh minta ceritain sedikit tentang mercusuar ini, Pak?
Boleh, Mas. Jadi begini, meskipun berada di pantai Pandansari, sebetulnya mercusuar ini nama resminya adalah Mercusuar Samas, karena dulu rencananya memang akan dibangun di Pantai Samas. Tapi karena di sana ada lokasi pelacuran dan ditakutkan malah memberikan dampak yang tidak baik pada keberlangsungan mercusuar ini, akhirnya dibangun di sini.

Ini mercusuar ada dari zaman Belanda ya, Pak?
Enggak, Mas. Ini baru dibangun pemerintah tahun 1998.

Wah sok tahu saya. Hehe. Sudah berapa lama kerja di sini, Pak?
Lumayan lama, Mas. Saya dari tahun 2006 di sini. Sebelumnya ditempatkan di Cilacap.

Kalo tugas Bapak di sini ngapain aja, Pak?
Saya kebagian jadi penjaga mercusuar, Mas. Ya gini-gini aja, nyapu halaman, ngebakarin daun, ngunci pintu mercusuar, dan lain-lain. Di sini total ada lima petugas. Ada kepala kantor, ada penjaga mercusuar, juga ada teknisi. Teknisi tu tugasnya merawat dan memperbaiki kalo ada kerusakan di lampu mercusuar.

Betah kerja di sini, Pak?
Betah gak betah sih, Mas. Saya gak betahnya itu kalo inget anak istri di Semarang. Tapi ya mau gimana lagi, saya kerja untuk mereka juga.

Kenapa keluarganya gak dibawa ke sini aja Pak?
Tadinya sih mau begitu, Mas. Tapi anak saya masih sekolah, dan di sini gak ada sekolah Mas. Ada sih, tapi jauh banget.

Ohh gitu... Oh iya, pernah ada cerita seru apa di sini, Pak?
Yang seru gima maksudnya?

Ya yang seru, yang aneh-aneh gitu, Pak.
Ah, nanti Mas-nya takut lagi.

Biarin, Pak. Udah mau pulang ini hehehe.
Hehe. Jadi dulu tu pernah ada anak indigo masuk ke mercusuar, terus dia bilang sama saya, "Om, saya lihat ada kaki perempuan jalan-jalan di dalem, tapi gak ada badannya." Saya tanya, "kok tahu kalo itu kaki perempuan?" Dia jawab, "soalnya pake sepatu perempuan, Om." Tapi kalo saya malah belum pernah lihat selama di sini.

"Dia" takut kali sama Bapak. Hehe.
Ya mungkin ya. Haha. Saya malah pernah lihat yang aneh-aneh di laut, Mas. Jadi saya ceritanya malem-malem lagi bosen, terus jalan-jalan sendirian di pantai. Eh saya lihat ada lingkaran di laut, mirip kelapa gitu tapi bercahaya. Waktu saya senterin benda itu kabur, hilang ke tengah laut. Saya juga gak tahu itu makhluk apa. Tapi kan Gusti Allah tu selain menciptakan manusia juga menciptakan jin dan makhluk halus lainnya to, Mas?

Katanya sih gitu, Pak. Saya juga gak tahu. Eh, itu teman saya sudah selesai sholat, Pak. Kami pamit dulu ya.
Iya, Mas. Terima kasih sudah ke sini. Nanti saya add Facebook Mas. Di sini hiburannya sedikit, Mas, makanya saya sukanya ya itu, internet-an, Facebook-an. Lumayan Mas, nambah temen, nambah sodara.

Lalu kami pun meninggalkan pantai, memperhatikan mercusuar dari kejauhan. Cahayanya yang terang berkedip-kedip dapat terlihat dari laut sampai jarak 20 mil. Memberi petunjuk arah kepada nelayan dan peringatan kepada kapal-kapal besar untuk tidak terlalu dekat dengan daratan. Berkedip-kedip. Terus berkedip-kedip.

Monday, February 18, 2013

keracunan moral

Apakah manusia makhluk amoral? Tidak, kita adalah makhluk bermoral. Kita dibesarkan dengan nilai-nilai moral yang ditanamkan dari segala penjuru mata angin. Kita dididik untuk mencari pesan moral yang diselipkan dalam setiap kisah yang dituturkan. Kita disiapkan untuk menjadi prajurit-prajurit penegak moralitas sejak kecil.

Dengan segala nilai moral yang terus membayangi di atas kepala, lama-lama kita menjadi bingung akan diapakan semua itu. Akan dilampiaskan ke mana segala nilai moral yang merindang di dalam kepala, hati, serta otot kita.

Hasilnya adalah kita menjadi makhluk yang rajin mengutip ayat-ayat yang konon suci untuk menyerang orang lain. Kita gemar mengait-kaitkan segala sesuatu dengan berbagai macam teori konspirasi dan secara tidak langsung memupuk kecurigaan dalam kepala kita. Kita tidak pernah alpa menghujat kelompok lain tapi mati-matian mengubur dosa kelompok kita sendiri di atas pembenaran-pembenaran langitan. Kita tanpa ragu membanjiri bumi dengan darah mereka yang memiliki standar moral yang berbeda dengan kita.

Kita terlalu banyak mengonsumsi moral. Kita mengalami overdosis. Kita keracunan.

Friday, February 1, 2013

tujuh hari menuju semesta

Mobil Elf sewaan yang kami tumpangi berjuang keras melewati sederetan tanjakan dan turunan curam berbatu dengan bekas longsoran di kanan-kiri. Para penumpang di dalamnya terpontang-panting ke sana kemari, berusaha menahan mual dan menjaga kepala agar tidak terantuk jendela.

Saya dan tiga belas volunteer lain dari komunitas Book for Mountain sedang dalam perjalanan menuju dua desa di bagian selatan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Bukan perjalanan yang sekejap. Sebelas jam dalam kereta ekonomi Jogja-Jakarta, disambung dua jam kereta Jakarta-Rangkasbitung, berdesakan dalam angkot menuju terminal, dan diakhiri dengan lima jam perjalanan dalam Elf sewaan yang didapat melalui tawar-menawar yang menegangkan dengan belasan calo terminal.

Kami membawa sebuah misi: membangun perpustakaan dan mengajar murid sekolah dasar di sana selama seminggu. Misi yang diniatkan sebagai sebuah bentuk pengabdian dengan cara memberi, tapi pada kenyataannya kamilah yang mendapatkan jauh lebih banyak hal di sana.

***

Kami berempat belas dibagi menjadi dua tim dan ditempatkan di dua desa yang berbeda: Desa Mekarsari di Kecamatan Cibeber dan Desa Girimukti di Kecamatan Cilograng. Kedua kecamatan ini sama-sama berada di posisi yang unik: tersembunyi di balik bukit-bukit dan jurang rawan longsor yang dingin tetapi hanya berjarak satu setengah jam dari laut selatan.

Saya ditempatkan di Girimukti, sebuah desa yang masih dilengkapi dengan peraturan adat yang kuat dalam mengatur keseharian mereka.

Masyarakat di Desa Girimukti dilarang untuk memasang genteng di atas rumah mereka. Sebagai gantinya mereka memakai rumbia atau seng. Mereka juga percaya bahwa burung elang adalah makhluk yang sakral, sehingga tidak boleh menunjuk dengan jari jika kebetulan melihat mereka terbang di langit. Jika ada orang yang tidak sengaja menunjuk ke arah elang yang sedang terbang, orang itu harus menggigit jarinya sendiri hingga berdarah.

Dari semua peraturan yang ada, yang paling khas dari Desa Girimukti adalah peraturan yang mengatur tentang tanaman padi. Masyarakat Desa Girimukti hanya boleh menanam padi satu kali dalam setahun. Ketika sedang melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan beras, seperti mencuci beras atau memasak nasi, mereka diwajibkan untuk melakukannya dalam posisi duduk. Mereka juga dilarang untuk menjual beras kepada orang lain. Jika peraturan-peraturan itu dilanggar, dipercaya mereka akan mendapat musibah yang "tidak main-main".

Lalu, seperti apakah anak-anak yang merupakan produk nyata dari kehidupan desa seperti ini? Konservatif? Kaku? Sulit menyerap ilmu baru? Sama sekali tidak! Di Girimukti, saya tak henti dibuat terpana oleh kecerdasan alami anak-anak desa. Seolah alam semesta telah menyisipkan ilmu pengetahuan dalam tiap udara yang mereka hirup, atau dalam tiap tetes air Sungai Cisawarna yang mengaliri desa mereka.

Ada Dewi dan Gin Gin, anak kelas 5 yang bisa memerankan tokoh dalam sebuah naskah drama dengan sangat apik dalam sekali latihan. Ada Heykal yang usianya bahkan belum genap 5 tahun tapi sudah hafal perkalian. Ada Eni yang memiliki bakat alami seorang penulis fiksi. Lalu ada Chandra, bocah paling nakal di sekolah yang hobinya bikin onar dan mengganggu anak perempuan tapi pernah dikirim ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan matematika se-Asia.

Bisa dibayangkan betapa anehnya fenomena itu mengingat sekolah mereka yang berisi lebih dari 150 murid hanya memiliki dua guru tetap dan tiga guru bantu yang kedatangannya lebih tidak bisa diprediksi dibanding cuaca belakangan ini.

***

Di Desa Girimukti nyaris tidak ada sinyal ponsel sama sekali. Untuk mendapatkan sinyal kami harus mendaki bukit yang paling tinggi atau berkendara menyusuri hutan ke kota kecamatan terdekat. Selama seminggu di sana praktis ponsel saya kehilangan fungsinya. Satu hal yang tentu saja menyebalkan untuk bagian dari generasi yang telah sangat menggantungkan hidupnya pada teknologi seperti saya.

Anak-anak di sana juga jauh lebih steril dari perbudakan teknologi dibanding anak-anak kota. Mereka lebih mengenal melompat dari jembatan ke sungai yang mengalir deras sepulang sekolah atau perang-perangan menggunakan sarung yang telah diikat ujungnya sepulang mengaji ketimbang duduk menghadap berbagai jenis layar monitor.

Meskipun keluarga mereka tidak kaya, meskipun setelah lulus sekolah kemungkinan besar mereka akan mengikuti jejak kakak-kakak mereka untuk menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta atau penambang emas ilegal di Bogor, meskipun tingkat perceraian orangtua mereka sangat tinggi sehingga nyaris setengah dari mereka tidak lagi memiliki keluarga yang utuh, kebahagiaan jelas sekali terpancar dari mata mereka. Kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan semu ala masyarakat kota yang dapat setiap saat digantikan oleh emoticon.

***

Saat ini saya sudah kembali ke kota. Saya kembali dikelilingi oleh teknologi dan segala perkakas penyempurna hidup. Ponsel saya sudah kembali terisi sinyal, yang artinya saya kembali bisa berkomunikasi via udara. Sambungan internet telah kembali saya jamah, artinya saya kembali bisa mengakses dunia tanpa batas berisi milyaran informasi. Ironisnya, saya malah merasa kebahagiaan dan kedamaian hati saya tertinggal di desa yang magical itu. Desa yang minim fasilitas tetapi mengajarkan saya untuk menjadi manusia seutuhnya, bukan menjadi alien kesepian yang saling mengasingkan di tengah megahnya peradaban modern.


*Judul postingan saya pinjam dari salah satu judul lagu Melancholic Bitch.