Thursday, November 9, 2017

tentang sebuah ruangan di dalam kepala yang kelak akan lapuk dan berdebu dan pelan-pelan ditinggal pergi penghuninya


Menjadi orangtua membuat saya semakin tersadar bahwa proses pendewasaan dan aliran usia sungguh tak bisa dibendung. Kesimpulan itu tentu saja saya dapat dari hasil pengamatan terhadap pertumbuhan anak saya. Ia bertumbuh pesat, baik secara fisik maupun psikis.

Kemarin sore, saat ia sedang asyik menikmati teh hangat yang sebenarnya dibikinkan untuk saya oleh ibunya, saya menatap lekat wajahnya. Mukanya tak lagi sama. Meski secara garis besar masih berbentuk wajah bayi, tapi sedikit demi sedikit mulai muncul garis-garis tanda kedewasaan. Tanda bahwa ia, sama seperti saya dan ibunya, juga bertambah tua. Tubuhnya juga semakin tinggi dan gerakan motoriknya semakin mantap.

Bocah yang rasanya minggu kemarin belum diciptakan itu, kini juga sudah bisa melakukan banyak hal yang sepertinya makin banyak saja kian hari.

Jika menginginkan sesuatu, sekarang ia sudah bisa mengutarakannya secara verbal: "Ibu, Nana mau bobok," jika ia sudah suntuk main atau sekadar ingin menyusu. Atau "Bapak, Nana mau tabak," jika tiba-tiba saja muncul hasratnya untuk melahap martabak keju susu kesukaannya.

Saat di mobil, ia juga sudah bisa request lagu apa yang ingin didengarnya dari audio player. Jika ia bilang "bidubidam" artinya ingin lagu Du Di Dam dari Eno Lerian. "Nananana" berarti Ode Buat Kota-nya Bangkutaman. Sedangkan, kalau yang meluncur dari mulutnya adalah "taayaaaang", sudah pasti ia ingin dengar Sayang yang dibawakan oleh NDX A.K.A.

Saya dan ibunya sering kali hanya berpandangan dan menahan tawa saat ia melakukan hal-hal ajaib. Seperti saat ia bilang "ga papa ... ga papa..." seolah ingin menenangkan kami waktu terdengar suara kucing berantem di luar rumah, padahal sudah jelas yang ketakutan adalah dia sendiri. Atau sama-sama terharu dan bersyukur dalam hati waktu ia suka tiba-tiba saja memeluk kami dari belakang.

Pengamatan-pengamatan itu membawa suatu pertanyaan: jika dalam kurun waktu dua tahun anak saya telah bertumbuh pesat dan mempelajari banyak hal, pertumbuhan apa saja yang telah saya lalui dan pembelajaran seperti apa yang saya peroleh dalam waktu yang sama? Selain kompetensi yang berhubungan dengan titel baru sebagai seorang bapak, saya kira tak banyak.

Kemampuan menulis saya begini-begini saja. Wawasan saya tentang dunia juga tak banyak berubah. Jika alasan dari hal-hal itu adalah sesimpel karena intensitas membaca buku, menonton film, atau berdiskusi saya memang jauh berkurang dibanding dahulu, tentu tidak membuat saya terlalu khawatir. Kuantitas hal-hal semacam itu bisa dipompa kapan saja.

Yang saya khawatirkan adalah bagaimana jika saya berhenti bertumbuh. Bahwa saya sudah selesai, bahwa otak saya sudah tak lagi mampu menampung pengetahuan baru dan tubuh saya menolak mempelajari kemampuan anyar.

Saya yakin, pada satu titik, manusia akan berhenti bertumbuh. Ia akan menghabiskan sisa hidupnya dengan stok pengetahuannya saat itu, sebelum kemudian seluruh pengetahuan itu pun memudar, mengalami degradasi, dan akhirnya hanya menyisakan ruang hampa di dalam tubuh yang semakin renta.

Namun, pasca menyelami mata anak saya, mau tak mau optimisme tumbuh lagi. Saya belum sampai di titik itu. Ini hanya fase jenuh yang mesti terus disuntik dengan berbagai kegelisahan yang produktif. Tentu saya akan mencapai titik itu, dan juga anak saya kelak. Namun, saat ini, jalannya masih sangat panjang, pilihannya masih sangat banyak.

Saya akan mengawalnya, menggandeng tangannya, menggendongnya di pundak, dengan sebaik-sebaiknya.

Tuesday, October 31, 2017

Bromo, September 2017

Lomo LCA - Fuji C200

Jakarta, September 2017

Lomo LCA - Kodak ColorPlus 200

Tuesday, August 15, 2017

singkap

Tiga tahun lalu, Florence Sihombing, seorang mahasiswi di Jogja ditimpa masalah. Bukan hanya mesti berurusan dengan hukum, ia juga menjadi target perundungan dan pengancaman dari orang-orang, baik di dunia nyata maupun maya. Hidupnya tak lagi sama. Semua itu disebabkan oleh beberapa kata makian kepada Jogja (dan orang Jogja) yang ia lontarkan di Path, yang lantas menimbulkan reaksi negatif dari beberapa orang.

Di luar segala perdebatan apakah yang dilakukannya itu salah atau tidak, apakah ia pantas dihukum atau tidak, dan apakah reaksi orang-orang yang mengadukannya ke polisi tepat atau tidak, menurut saya, Florence hanya melakukan sebuah kesalahan namun amat fatal, yaitu menuliskan kekesalannya di ranah publik: internet.

Saya sangat menyukai Jogja, dan sukar memahami jika ada orang yang bersikap sebaliknya. Namun, semua orang berhak beropini, termasuk Florence. Dan ia bukanlah satu-satunya orang di muka bumi yang tidak menyukai Jogja.

Selama tinggal di sana, saya kenal beberapa orang yang juga memiliki pandangan negatif terhadap Jogja (atau orang-orangnya). Ada yang menganggap ritme kehidupan di Jogja terlalu lambat dan membosankan, ada yang mengeluhkan minimnya fasilitas hiburan dan transportasi, ada pula yang menyebut orang Jogja sebagai orang yang munafik dan senang membicarakan orang lain di belakang.

Beberapa orang yang saya kenal itu, mungkin memiliki sikap yang sama dengan Florence dan memiliki stok kata makian yang sama, tapi mereka tidak melakukannya di internet. Mereka melakukannya di ranah privat, di warung burjo atau kamar kost, di depan orang-orang yang bisa memahami konteks makian mereka. Jika ada yang tidak terima, paling hanya berakhir dengan adu mulut barang semenit dua menit. Setelah itu, selesai.

Sejak mulai digunakan secara masif pada tahun 2000-an, internet, utamanya media sosial, memang mengaburkan batas antara ranah privat dan ranah publik. Orang tak lagi mampu menahan diri untuk memberikan informasi yang bersifat privat kepada orang banyak. Tak mampu, atau mungkin bingung, atau bahkan mungkin tak peduli lagi terhadap batasan-batasan itu.

Maka, segala asumsi yang mengatakan bahwa internet telah mengubah manusia hari ini menjadi lebih intoleran, senang melahap berita bohong, kurang memiliki rasa peduli, gemar merundung, dan segudang label buruk lainnya, bagi saya omong-kosong. Hal-hal buruk itu sudah ada sejak dulu kala, setua umur peradaban manusia itu sendiri. Kita tidak pernah benar-benar berubah, internet hanya membuat sisi kelam diri kita lebih mudah dilihat.

Wednesday, July 19, 2017

libur lebaran dalam kamera saku

Saat bepergian jauh, termasuk saat mudik, biasanya saya membawa dua kamera: digital (Fuji X100S) dan analog (Nikon F55 dengan minimal dua lensa). Foto untuk momen-momen spontan dan hal keseharian lebih banyak diambil pakai analog. Sedangkan digital khusus untuk merekam video dan foto-foto yang memerlukan kualitas tinggi sekaligus akses lebih cepat untuk diolah, misalnya foto keluarga.

Dengan begitu, 'oleh-oleh memori' yang saya bawa sangat banyak. Sekembalinya dari perjalanan, terutama saat foto-foto dari film selesai dicuci, rasanya senang dan puas sekali membuka folder berisi rekaman perjalanan yang komplit dan mengenyangkan itu.

Namun, itu melelahkan. Menggunakan dua kamera seringkali malah membuat saya lebih disibukkan dengan kegiatan memotret ketimbang menikmati liburan. Belum lagi kamera ponsel yang juga kerap saya gunakan untuk motret macam-macam. Lengkap sudah.

Maka, mudik lebaran ke Jogja kemarin saya bertekad untuk membawa satu kamera saja. Saya ingin lebih banyak menikmati liburan. Saya memutuskan untuk membawa kamera analog, karena toh untuk foto-foto yang perlu waktu cepat untuk digunakan, kamera ponsel saya cukup bisa diandalkan. Untuk video, meski banyak kualitas yang dikorbankan, hasil kamera ponsel tidak begitu buruk untuk sekadar ditonton bersama anak.

Namun, selain tidak ingin bawa dua kamera, saya juga malas membawa tas kamera yang gemuk itu. Artinya, saya tidak bisa bawa SLR Nikon saya. Saya harus pakai kamera saku yang muat dimasukkan ke dalam tas selempang kecil. Akhirnya, saya bujuk salah satu teman kantor untuk merelakan Olympus Mju Zoom 140-nya untuk saya bawa mudik selama 2 minggu. Alhamdulilah, dia mau. Saya belum pernah pakai Olympus Mju-II yang menghebohkan itu, jadi tidak bisa membandingkannya dengan ini. Yang jelas, Mju Zoom 140 ini cukup memuaskan. Berikut hasilnya.

Fuji Neopan 100 (expired 2010)

Kodak Colorplus 200

Agfa Vista 200

Fuji C200

Monday, June 5, 2017

ledakan

Tadi malam beberapa anak menyalakan petasan di sekitar rumah. Saya yang sudah setengah tidur kembali bangun mendengar kebisingan itu. Suara letupan-letupan petasan bercampur dengan tawa usil dan derap kaki mereka saat berlari karena dimarahi salah satu tetangga. Saya memang terbangun, tapi saya tidak marah. Tidak sama sekali. Saya paham, membakar petasan di bulan Ramadhan, bagaimanapun berisiknya, adalah tindakan normal yang dilakukan anak-anak kecil di mana pun di Indonesia. Persis seperti yang saya lakukan semasa kecil.

Saat Ramadhan, hampir separuh dari uang jajan saya dan kawan-kawan habis untuk dibelikan petasan. Mulai dari petasan korek yang menjadi amunisi sejuta umat karena harganya yang murah, petasan roket, petasan bola, petasan banting, hingga yang mahal (kami patungan untuk membelinya): kembang api, yang mengharuskan kami meminta tolong orang dewasa untuk menyalakan dan memeganginya.

Kadang kami juga iseng mencoba petasan-petasan berbentuk aneh seperti petasan tawon atau petasan ayam yang ternyata tidak seru. Barang-barang itu tentu tidak dijual di dekat tempat tinggal kami. Perlu upaya ekstra untuk mendapatkan mereka. Kami harus membelinya di Pasar Antri. Kadang menggunakan angkot, kadang berjalan kaki.

Petasan-petasan itu kami bakar tak kenal waktu. Pagi, siang, malam. Kapan pun kami mau. Dimarahi oleh orangtua dan tetangga adalah suatu keniscayaan. Tapi, siapa pula yang peduli pada dunia ketika kita punya dunia sendiri, bukan?

Pada hari libur, setelah mencatat materi kuliah subuh yang luar biasa membosankan, yang kami lakukan semata karena disuruh oleh guru agama di sekolah itu, kami akan berjalan kaki menuju area gerbang tol Baros yang menjadi tempat pembakaran petasan massal. Entah siapa yang pertama memulai, pada hari libur tempat itu selalu penuh oleh orang-orang dari berbagai kampung yang datang untuk tujuan yang sama: membakar petasan atau menonton orang membakar petasan.

Selain sesekali berpartisipasi melempar petasan korek yang telah disulut, kami juga selalu terhibur dengan pertunjukan gratis di situ. Beberapa orang dewasa mengadu kebolehan dalam membakar petasan. Mereka menyalakan petasan korek dan membiarkannya meledak di tangan sendiri. Orang-orang akan bersorak melihat mereka.

Di antara atraksi-atraksi itu, ada satu orang yang masih saya ingat sampai sekarang karena kegilaannya. Alih-alih di tangan, ia menaruh petasan korek yang telah disulut di bibirnya. Seperti orang merokok. Saat meledak, saya melihat beberapa helai kumisnya terbakar. Di balik kumis yang terbakar itu, seulas senyum kemenangan terbentuk dengan sempurna.

Saat sudah bosan membakar petasan dengan cara yang begitu-begitu saja, kami membawa petasan-petasan itu ke sawah di belakang kampung. Kami mencari kodok-kodok yang tidak terlalu besar di sela-sela tanaman padi. Para kodok itu kemudian kami ikat tubuhnya di petasan roket yang sudah kami tancapkan di tanah. Kami sulut sumbunya, dan sekian detik kemudian kami bersorak menyaksikan isi tubuh mereka terburai di udara bersama ledakan petasan. Kodok-kodok itu menjadi martir dari keisengan kami. Semoga mereka masuk surga.

Sebenarnya, kenapa orang menyukai petasan, atau kembang api, atau ledakan apapun? Kenapa orang rela mengeluarkan uang untuk membeli sesuatu yang kemudian ia bakar dan ledakkan? Kenapa kembang api di tahun baru menjadi atraksi yang ditunggu-tunggu? Kenapa mobil atau gedung yang meledak di film menjadi daya tarik bagi penonton?

Beberapa peneliti dari Kansas University mengatakan bahwa manusia memiliki ketertarikan pada kembang api atau ledakan pada umumnya karena nilai bahaya yang terkandung di dalamnya. Kita memang aneh. Di satu sisi kita takut akan hal-hal yang mengandung bahaya, namun di sisi lain kita penasaran ingin merengkuhnya.

Mungkin para peneliti itu benar, atau mungkin jawabannya bisa ditarik lagi ke masa jauh sebelum ini. Masa di mana manusia masih tinggal di gua-gua dan terkesima dengan bintang, bulan, meteor, dan cahaya-cahaya di angkasa. Pada petir yang menyambar pohon dan memicu api. Perasaan berdebar dan takjub itu, mungkin masih menyisakan residu pada manusia modern, dan muncul saat kita melihat ledakan kembang api.

Atau, bisa jadi lebih jauh lagi. Pada dentuman besar di awal kehidupan. Kita tertarik pada ledakan karena kita, secara harfiah, adalah hasil dari ledakan yang terjadi pada waktu yang sulit dibayangkan saking lamanya. Ingatan akan dentuman besar bisa jadi bergentayangan di alam bawah sadar dan muncul sewaktu kita melihat kembang api atau ledakan bom nuklir di film.

Maka, bisa jadi para pelaku peledakan di Timur Tengah, di Lodon, di Jakarta, atau di tempat mana pun di muka bumi, bersedia memburaikan isi perut mereka di tengah orang banyak menggunakan bom bukan hanya didasari oleh motif-motif besar seperti ideologi atau janji surgawi, tapi sesederhana karena mereka ingin kembali bersatu dengan semesta lewat cara yang sama dengan siklus awal kehidupan: ledakan. Siapa tahu.