Tuesday, December 6, 2016

ruwet sejak dalam pikiran

Dalam suatu perjalanan menggarap sebuah proyek bertahun-tahun lalu, saya ditempatkan sekamar dengan seorang rekanan sesama pekerja lepas. Lima menit setelah masuk kamar, ia langsung mengeluarkan laptop, menyalakannya, dan membuka YouTube. Ia memutar video ceramah keagamaan dengan pembicara yang berapi-api, sangat provokatif, dan sepertinya hanya bisa berbicara dengan berteriak.

"Ini ustad dari Sumatera Utara. Dulunya seorang pendeta. Sekarang sudah tobat, udah ga kafir lagi," katanya. Sama sekali bukan topik yang menarik untuk saya.

"Oh, ya?" jawab saya sekenanya. Jawaban yang salah. Mengira sahutan itu sebagai sebuah ketertarikan, ia langsung menata kursi di antara kasur kami dan memindahkan laptopnya ke situ. Membuat saya semakin terpapar video yang ia putar.

"Saya ngefans betul sama orang ini. Dia sering ngajak debat pemuka agama lain. Ngajak mereka ninggalin agama palsu mereka dan masuk Islam," lanjutnya. Pada titik ini, ingin sekali rasanya saya memasang earphone dan mendengar lagu dari ponsel ketimbang mendengar ceramah ustad yang ruwet itu. Tapi tak jadi, pasti dianggap tak sopan, dan urusan pekerjaan ini bisa berantakan.

Selanjutnya, ia memutar serangkaian video tentang jutaan masyarakat internasional yang, menurut video-video itu, mulai berbondong-bondong 'meninggalkan agama mereka yang penuh kegelapan dan kemaksiatan' dan masuk Islam. Saya makin merasa tak betah.

Sungguh, saya sama sekali tidak bermasalah jika ada orang memutuskan masuk Islam, atau agama apa pun itu sesuai kehendak mereka. Masalahnya, video-video yang ia putar itu sangat diragukan kebenarannya. Data yang disampaikan kentara ngawur, narasinya provokatif dan menyudutkan agama lain, plus editing gambarnya yang buruk sekali. Saya tidak suka dengan konten, dan terutama, sikap beragama yang direpresentasikan dalam video-video itu.

Di tengah-tengah siksaan audio-visual itu, teman sekamar saya ini bercerita dengan penuh semangat bahwa sebentar lagi kemenangan akan diraih. Kemenangan yang ia maksud adalah seluruh dunia memeluk Islam dan orang-orang kafir akan musnah. Tak akan ada lagi maksiat, alkohol, narkoba, pencurian, korupsi, atau pembunuhan. Saya hanya menanggapinya dengan anggukan kecil.

Malamnya, saat acara senggang, teman sekamar saya ini yang paling banyak menenggak alkohol dan menggoda para perempuan pemandu karaoke di antara rekan-rekan saya yang lain. Menilai moralitas orang lain adalah salah satu hal yang saya hindari. Namun, malam itu, dan di hari-hari belakangan ini, saya merasa bahwa dunia begitu penuh dengan kontradiksi.