Tuesday, August 15, 2017

singkap

Tiga tahun lalu, Florence Sihombing, seorang mahasiswi di Jogja ditimpa masalah. Bukan hanya mesti berurusan dengan hukum, ia juga menjadi target perundungan dan pengancaman dari orang-orang, baik di dunia nyata maupun maya. Hidupnya tak lagi sama. Semua itu disebabkan oleh beberapa kata makian kepada Jogja (dan orang Jogja) yang ia lontarkan di Path, yang lantas menimbulkan reaksi negatif dari beberapa orang.

Di luar segala perdebatan apakah yang dilakukannya itu salah atau tidak, apakah ia pantas dihukum atau tidak, dan apakah reaksi orang-orang yang mengadukannya ke polisi tepat atau tidak, menurut saya, Florence hanya melakukan sebuah kesalahan namun amat fatal, yaitu menuliskan kekesalannya di ranah publik: internet.

Saya sangat menyukai Jogja, dan sukar memahami jika ada orang yang bersikap sebaliknya. Namun, semua orang berhak beropini, termasuk Florence. Dan ia bukanlah satu-satunya orang di muka bumi yang tidak menyukai Jogja.

Selama tinggal di sana, saya kenal beberapa orang yang juga memiliki pandangan negatif terhadap Jogja (atau orang-orangnya). Ada yang menganggap ritme kehidupan di Jogja terlalu lambat dan membosankan, ada yang mengeluhkan minimnya fasilitas hiburan dan transportasi, ada pula yang menyebut orang Jogja sebagai orang yang munafik dan senang membicarakan orang lain di belakang.

Beberapa orang yang saya kenal itu, mungkin memiliki sikap yang sama dengan Florence dan memiliki stok kata makian yang sama, tapi mereka tidak melakukannya di internet. Mereka melakukannya di ranah privat, di warung burjo atau kamar kost, di depan orang-orang yang bisa memahami konteks makian mereka. Jika ada yang tidak terima, paling hanya berakhir dengan adu mulut barang semenit dua menit. Setelah itu, selesai.

Sejak mulai digunakan secara masif pada tahun 2000-an, internet, utamanya media sosial, memang mengaburkan batas antara ranah privat dan ranah publik. Orang tak lagi mampu menahan diri untuk memberikan informasi yang bersifat privat kepada orang banyak. Tak mampu, atau mungkin bingung, atau bahkan mungkin tak peduli lagi terhadap batasan-batasan itu.

Maka, segala asumsi yang mengatakan bahwa internet telah mengubah manusia hari ini menjadi lebih intoleran, senang melahap berita bohong, kurang memiliki rasa peduli, gemar merundung, dan segudang label buruk lainnya, bagi saya omong-kosong. Hal-hal buruk itu sudah ada sejak dulu kala, setua umur peradaban manusia itu sendiri. Kita tidak pernah benar-benar berubah, internet hanya membuat sisi kelam diri kita lebih mudah dilihat.