Wednesday, May 4, 2016

besok long weekend dan saya tidak tahu lagi harus mengerjakan apa di kantor

Kami jarang sekali membicarakan masa depan. Selain karena sama-sama percaya bahwa "the future is unwritten", membicarakan masa depan selalu membawa serta kemurungan tersendiri di hati kami. Kemurungan atas keniscayaan untuk kehilangan hari ini, kemurungan yang perlahan menjelma menjadi ketakutan. Tetapi "masa depan" yang selalu kami hindari itu pada kenyataannya semakin mendekat, bahkan terlalu dekat untuk kami namakan "masa depan".

Sebagian besar teman satu angkatan saya sudah lulus dan bekerja, beberapa teman dekat kami bahkan telah menyediakan diri untuk dilahap oleh raksasa bernama Jakarta (dan saya yakin jumlahnya akan semakin bertambah dalam waktu dekat ini), dua minggu yang lalu umur saya menjadi dua puluh tiga (umur yang sama di mana Ian Curtis meninggal), dan tahun ini saya (harus) lulus kuliah. Itu semua menandakan bahwa masa depan yang kami bayangkan telah menjadi masa kini bagi sebagian orang, yang dengan penuh kesadaran saya akui akan berlaku bagi saya.

Maka, masa depan yang mungkin hanya berjarak hitungan bulan dari hari ini pun menjadi topik perbincangan yang mandatory, mau tidak mau harus kami bicarakan juga.

"Aku besok enggak ingin menetap, ingin nomaden, kalo bisa mah keliling Indonesia," katanya.
"Aku mah malah ingin menetap, ingin punya rumah, terus bikin perpustakaan kecil atau seenggaknya ruang baca di dalemnya," jawab saya.

***

Tulisan di atas saya tulis empat tahun yang lalu. Tepatnya tanggal 23 Maret 2012. Itu salah satu dari enam puluh tulisan yang tak pernah saya selesaikan, dan berakhir sebagai penghuni ruang draft blog ini.

Tulisan itu belum selesai. Saya sudah lupa kelanjutan dialog yang saya lakukan bersama pacar (yang sekarang sudah menjadi istri) saya itu. Saya juga tidak ingat kapan dan di mana dialog itu terjadi. Ah, bahkan saya tidak tahu dulu itu intinya mau nulis apa.

Tapi, rasa sebal, kecemasan, dan mungkin ketakutan terhadap masa depan itu, saya masih ingat betul. Empat tahun setelah dialog itu, masa depan rupanya benar-benar datang. Kami lulus kuliah (ia bahkan lulus kuliah dua kali), saya dapat pekerjaan (yang untungnya bukan di Jakarta), menikah, sempat menjalani hubungan jarak jauh, punya seorang anak perempuan yang luar biasa menggemaskan, dan sekarang tinggal bersama di sebuah kota kecil di Kalimantan Selatan.

Masa depan ternyata tidak semengerikan itu. Meski memang beberapa hal tidak selalu sesuai dengan ekspektasi kami. Contohnya, ia tidak jadi nomaden dan belum sempat keliling Indonesia, dan saya belum punya rumah atau perpustakaan kecil. Tapi, setelah saya pikir lagi, "masa depan" adalah frasa yang tidak jelas. Ia menandakan suatu waktu sehabis sekarang, tapi tidak dengan tegas menunjukkan kapan.

Saat ini adalah masa depan bagi kami empat tahun yang lalu, tapi masa depan tidak berhenti hari ini. Akan selalu ada masa depan-masa depan lain yang mengikuti setelahnya. Siapa tahu, di masa depan, empat tahun lagi misalnya, semesta mengabulkan harapan-harapan kami. Perihal keliling Indonesia, perpustakaan, dan entah apa lagi.