Saturday, March 30, 2013

Negeri Berdebu II: Sisi Gelap

"Assalamu'alaikum, brother..."
Saya mencari asal suara itu di antara para peziarah yang sedang melakukan ritual Sya'i.

"Assalamu alaikum, brother..."
Saya menoleh ke belakang. Seorang lelaki berusia 30-an tersenyum kepada saya. Seorang gadis kecil dengan raut sedih berdiri di sampingnya. Ternyata betul, sapaan itu ditujukan kepada saya.

"Walaikum salam."
"Do you speak English?" tanyanya.
"Yes, a little..."

Maka berceritalah dia. Lelaki itu adalah peziarah asal Pakistan. Dia pergi ke Mekkah bersama istri dan anak perempuannya yang kira-kira masih berumur 6 tahun. Dia bercerita bahwa uang mereka hilang dua hari yang lalu. Selama dua hari itu mereka harus meminta belas kasihan kepada peziarah lain untuk berbagi roti karena mereka tidak mampu membeli apa-apa.

Di ujung pembicaraan ia bertanya apakah saya memiliki uang yang bisa diberikan kepada mereka. Saya bilang saya tidak membawa uang, karena saat itu saya memang tidak bawa. Untuk apa membawa uang ketika sedang melakukan ritual berjalan dan berlari-lari kecil di antara dua bukit tempat dulu Hajar mencari air untuk Ismail ini? Saya bilang sebagai gantinya saya akan mendoakannya. Dia mengucapkan terima kasih, dan saya pun kembali berjalan ke bukit Marwah.

Saya tidak tahu cerita lelaki itu benar atau sekedar karangannya saja. Di Indonesia cerita sedih semacam itu kebanyakan hanya alat untuk mendapatkan uang dari mereka yang terlanjur terjebak rasa haru, jadi wajar jika saya menyimpan rasa curiga. Tetapi entah ceritanya benar atau tidak, semoga lelaki dan keluarganya itu hari ini berada dalam keadaan yang baik.

***

Seorang kolega ayah saya bercerita, tempo hari ketika sedang melakukan tawaf, dia merasa seperti dibantu malaikat yang membawanya terbang mendekati Hajar Aswad. Setelah puas menciumi batu yang konon jatuh dari surga itu, kolega ayah saya tersebut ditepuk pundaknya oleh "malaikat" yang tadi membantunya. Dia dimintai uang yang cukup besar. Ternyata yang membantunya bukanlah malaikat, melainkan joki.

Itu kisah nyata, dan memang banyak joki-joki semacam itu yang berkeliaran di sekitar Ka'bah. Mereka seolah berniat membantu para peziarah untuk mendekati dan mencium Hajar Aswad, tetapi setelahnya akan meminta bayaran yang besar. Jika yang terlanjur dibantu menolak membayar, para joki itu lantas akan mengancam dengan memasang raut wajah yang menyeramkan.

Selain perjokian, pencurian juga kerap terjadi di kalangan peziarah. Beberapa tahun yang lalu kakak saya sempat kebingungan di Mekkah karena dompet dan ponselnya dicuri. Kemarin tas yang dibawa ibu saya menyisakan lubang bekas guntingan di bagian bawah. Untung saja tidak ada barang yang hilang. Jika cerita si lelaki Pakistan di atas benar-benar terjadi, maka dia dan keluarganya kemungkinan merupakan korban dari salah satu pencuri yang berkeliaran dengan licin seperti tikus.

Ada lagi kisah tentang pedagang yang tidak jujur, pembawa unta yang suka memeras peziarah di Jabal Rahmah, supir taksi yang kerap mengerjai penumpangnya, dan lain-lain. Kisah-kisah penuh tragedi semacam itu banyak terselip di antara peziarah yang datang ke tanah suci untuk berserah diri. Berserah diri pada Yang Maha Menerima tentu saja, bukan berserah diri pada pencuri, penipu, dan pemeras.

Kemudian saya sadar. Tanah suci, atau apa pun yang memiliki kata suci di belakangnya, letaknya di atas Bumi, tempat segala kemungkinan bisa terjadi. Kesucian ditaburi oleh ketidaksucian-ketidaksucian yang berbaur nyaris lebur di dalamnya. Ketidaksucian bernama sisi gelap manusia.


Wednesday, March 27, 2013

Negeri Berdebu I: Kiblat

Salah satu pertanyaan yang paling sering saya dapat sepulang umroh adalah, "Gimana rasanya liat Ka'bah?" Saya selalu menjawab, "Nanti jawabannya kutulis aja..."

***

Beberapa waktu setelah memasuki Kota Mekkah, bus kami masuk ke dalam terowongan bawah tanah. Guide kami bilang kami sedang berada di bawah kompleks Masjidil Haram. Artinya kamu sudah hampir sampai. Tak lama kemudian bus keluar dari terowongan, berbelok menjauhi Masjidil Haram, dan berhenti tepat di depan hotel kami, sekitar 500 meter dari masjid.

Setelah menaruh barang dan istirahat sekedarnya di kamar, kami kembali turun dan bergegas menuju Masjidil Haram untuk melaksanakan ritual umroh. Saya melangkah ke luar hotel dengan hati-hati, pakaian ihrom yang saya kenakan membuat gerak sedikit terbatasi. Kacamata hitam segera saya pasang untuk melindungi mata dari matahari yang super terik, juga dari debu. Beberapa orang percaya debu yang beterbangan di tanah suci memiliki mukjizat untuk menyembuhkan, tapi saya tidak suka kelilipan.

Saya berjalan perlahan sambil menggandeng keponakan laki-laki saya. Sebentar lagi kami akan melihat Ka'bah. Saya suka dengan tempat-tempat yang dianggap suci, tempat-tempat yang memancarkan atmosfir yang menenangkan sekaligus menyenangkan. Karena itulah saya sangat excited untuk melihat Ka'bah. Bagi beberapa umat Muslim Ka'bah tidak hanya dipandang sebagai bangunan suci, tapi lebih dari itu, ia seperti memiliki "ruh" sendiri.

Tetapi semakin dekat jarak kami dengan Masjidil Haram, saya semakin kecewa. Bayangan saya akan Ka'bah selama ini adalah ia sebagai sebuah entitas suci yang berada di tempat yang tenang, damai, dan berjarak dari kebisingan kota. Citra tersebut ternyata sungguh berbeda dari kenyataannya. Masjidil Haram (dan Ka'bah yang ada di dalamnya) dikelilingi oleh simbol-simbol pembangunan yang sangat jauh dari kesan suci. Gedung-gedung, hotel, mall, alat-alat konstruksi, buldozer-buldozer yang mengupas gunung, para pekerja pembangunan terowongan. Angkuh, dingin, tergesa-gesa, dan bising. Sebuah antitesis sempurna dari kesucian.

Hingga pada akhirnya ketika kami sampai di teras Masjidil Haram, semangat saya untuk melihat Ka'bah hilang sudah. Saya berjalan dengan agak lesu memasuki King Abdul Aziz Gate, pintu utama Masjidil Haram. Samar-samar bangunan hitam itu terlihat oleh saya, tertutupi oleh orang-orang yang beraktivitas di dalam masjid meskipun hari masih pagi. Semakin jelas, semakin terlihat, hingga akhirnya saya menuruni tangga menuju pelataran Ka'bah dan berdiri tepat di depannya.

Untuk beberapa saat saya hanya berdiri terpaku. Jadi inilah benda yang dijadikan arah sholat umat Muslim dari seluruh dunia. Benda yang konon telah ditawafi oleh malaikat selama ribuan tahun sebelum Adam dibuang ke Bumi. Ukurannya lebih kecil dari yang saya kira, dan jujur saja, tidak semegah yang saya bayangkan. Orang-orang dengan berbagai rupa dan warna berjalan mengelilinya dengan khidmat. Sebagian bersujud di depannya. Sebagian lagi menangis sambil melafalkan doa. Yang lain duduk-duduk di tangga sambil memandangnya lekat. Saya membetulkan letak kacamata, dan tanpa alasan yang jelas, saya merasa mata saya basah.

***

Konon, Ismaƫl Ferroukhi, sutradara dari Le Grand Voyage, tidak menemukan kesulitan yang berarti ketika melakukan syuting untuk film itu di tengah-tengah peziarah yang tengah melakukan serangkaian ritual haji. Dia tidak harus repot-repot meminta para peziarah di sekelilingnya untuk tidak melihat ke arah kamera, karena mereka memang tidak melihatnya. Atau lebih tepatnya, tidak peduli. "Para peziarah itu seperti berada dalam dimensi lain," katanya dalam sebuah wawancara.

Gambaran itu cocok seperti apa yang lihat dan rasakan di sana. Orang-orang yang sedang bertawaf seperti tercerabut dari alam sadarnya. Pusaran manusia yang bergerak melawan arah jarum jam itu seolah tidak lagi bersifat sebagai kumpulan individu-individu, tetapi telah menjadi satu kesatuan yang solid, di mana masing-masing individu di dalamnya terdorong untuk melepaskan atribut ke-aku-an.

Di internet ada banyak sekali artikel-artikel yang membahas "kehebatan" Ka'bah. Dari yang menganggapnya sebagai pusat Bumi sampai yang membahas perihal Neil Armstrong yang melihat bayangannya dari Bulan. Saya tidak percaya dengan teori-teori semacam itu. Tapi saya percaya Ka'bah menyimpan energi yang sangat besar. Energi yang dibawa oleh jutaan peziarah dari seluruh dunia yang tak henti datang setiap tahunnya.

Berbagai macam energi dan emosi yang dibawa oleh para peziarah diserap oleh Ka'bah dan lingkungan fisik di sekitarnya. Energi yang datang dari rasa haru, gembira, pengharapan, serta penyerahan diri. Kumpulan energi yang "memabukkan" itu kemudian dipantulkan kembali ke arah peziarah yang mengelilinginya. Itulah kenapa para peziarah  seperti berada pada dimensi lain ketika berhadapan dengannya. Dan itulah kenapa saya pada akhirnya mengabaikan kesan yang saya dapat dari simbol-simbol peradaban yang berada di sekelilingnya dan hanya berfokus pada bangunan berbentuk kubus itu.

Bangunan yang menjelma lampu, dengan laron-laron berwujud manusia yang tak henti terbang mengelilinginya.

Monday, March 18, 2013

the awkward truth #7

"To love is to suffer. To avoid suffering one must not love. But then one suffers from not loving. Therefore, to love is to suffer; not to love is to suffer; to suffer is to suffer. To be happy is to love. To be happy, then, is to suffer, but suffering makes one unhappy. Therefore, to be unhappy, one must love or love to suffer or suffer from too much happiness."
-Sonja, Love and Death