Sunday, December 20, 2015

Tabalong dalam Fuji MDL-9

Sekitar dua bulan yang lalu, via online, saya beli Fuji MDL-9, kamera analog buatan Fujifilm. Saya beli karena selain sudah lama tidak motret pakai analog, harganya juga murah, tidak sampai 100 ribu plus ongkos kirim. Dengan harga segitu, kamera ini punya fitur yang menarik. Punya built-in flash dan mode panorama (yang sebenarnya bukan panorama betulan, tapi cropping langsung dari kameranya).

Kamera sudah, tinggal filmnya.

Setelah dua hari ngubek-ngubek Tanjung, akhirnya saya nemu film di sebuah studio foto lawas di samping pasar, yang sekarang lebih banyak berfungsi sebagai tempat fotokopi. Si bapak penjaga toko memandang heran waktu saya bilang mau beli film negatif. Ia mengeluarkan stok filmnya dari sebuah lemari kecil, di laci paling bawah.

"Betulan mau beli ini? Masih punya kameranya?"
"Betul, Pak. Alhamdulilah masih, Pak."

Ia menyerahkan kepada saya dua jenis film. Fuji Superia 200, film warna, yang kadaluarsa tahun 2009; dan Fuji Neopan SS, hitam-putih, kadaluarsa tahun 2007. "Pilih saja," katanya. Ia bingung memberi harga, karena ia sendiri sudah lupa dulu membeli barang itu berapa. Akhirnya disepakati 50 ribu rupiah untuk 3 rol film. Lumayan.

Di bawah ini beberapa hasil jepretannya, saya gunakan untuk sedikit bercerita tentang pekerjaan dan kota (kecamatan) tempat saya tinggal dua tahun terakhir.

***
Ini kantor saya, salah satu perusahaan tambang batubara di Kalimantan Selatan, tepatnya di Tabalong, kabupaten yang terletak di ujung utara provinsi. Ibukota kabupaten Tabalong bernama Tanjung. Kantor saya ini cukup jauh lokasinya dari Tanjung, sekitar 25 kilometer. Sudah di ujung provinsi, di ujung kabupaten pula.
Mes tempat saya tinggal. Satu-satunya mes karyawan yang berada satu kompleks dengan kantor, jadi setiap hari saya bisa bangun agak siang tanpa harus takut ketinggalan jemputan dan terlambat masuk kantor.
Persis di belakang mess, ada hutan yang cukup luas. Bermacam hewan penghuni hutan suka mampir ke mess, terutama monyet dan serangga.
Monyet-monyet liar ini rajin datang sore-sore, berharap kami lempari pisang, kue, atau makanan apa pun yang kami punya. Beberapa ekor bahkan ada yang berani manjat pagar dan bertengger di depan kamar.
Sembari melihat tingkah monyet-monyet liar itu, sepulang kerja, biasanya kami nongkrong di teras, dan melakukan dua hal paling ampuh untuk menghilangkan penat: bergosip dan bergunjing.
Kalau sudah bosan bergunjing, kami melakukan kegiatan yang sedikit lebih bermanfaat: main badminton.
Kalau setelah olahraga masih bosan juga, waktunya pergi ke Tanjung, pusat peradaban paling dekat yang bisa dicapai. Seperti saya bilang di atas, mess saya lokasinya agak jauh dari Tanjung. Tidak ada kendaraan umum. Sepeda motor adalah kunci.
Ini Mal Bauntung, salah satu pusat perbelanjaan di Tanjung. Di lantai satu, orang jualan sembako, sayur, dan ikan. Di lantai dua, ada lapak DVD bajakan, perabot dapur, dan lapak ponsel. Ya, sebenarnya itu lebih cocok disebut pasar ketimbang mal.
Ini adalah ikon Tanjung. Monumen Tanjung Puri, atau lebih dikenal dengan nama Tugu Obor Tanjung. Sebenarnya ia punya api abadi di puncaknya, tapi kebetulan sedang direnovasi ketika saya ambil foto ini.
Tabalong Islamic Center, bisa disebut ikon Tanjung juga. Selain masjid, di kompleks ini ada gedung pertemuan, ruangan-ruangan multifungsi, dan kompleks manasik dengan miniatur Ka'bah di tengahnya.
Warukin, salah satu bandara di Kalimantan Selatan. Dulu khusus dipakai karyawan tambang dengan rute Tanjung-Banjarmasin, menggunakan pesawat Twin Otter yang disediakan perusahaan. Sekarang sudah dibuka untuk umum, dan kabarnya akan dibuka rute Tanjung-Surabaya. Mudah-mudahan bukan hoax.
Ini salah satu pom bensin di Tabalong. Sangat inovatif. Tidak hanya menjual bensin, tapi juga ikan.
Sudah muter-muter di Tanjung, tapi masih bosan juga? Ya sudah, pulang ke mes, tarik selimut, tidur.

Saturday, December 5, 2015

Kirana

Pada awalnya adalah kekosongan. Kemudian, sebuah titik yang maha padat, maha berat, dan maha panas meledak. Berdentum, menggelegar, menceraiberaikan dirinya ke segala arah. Ke depan, belakang, atas, bawah, kanan, kiri, terus menjalar memenuhi kekosongan dirinya sendiri, hingga ia tak lagi kosong. Ia menjadi ruang, menjadi ada, menjadi semesta.

Dalam kurun waktu yang maha panjang, materi dari hasil dari ledakan itu berkumpul, bergumul, bergesekan, bertubrukan, dan berpelukan satu sama lain. Mereka bergabung, membentuk sekelompok bintang muda yang tersebar di seluruh galaksi. Bintang-bintang itu kemudian kembali memadat, memanas, dan meledak. Debu dari ledakan bintang itu tersebar kembali ke seluruh arah, bergabung dengan debu-debu dari ledakan jutaan bintang lain. Menjelma siklus, mereka meledak, bergabung, meledak, bergabung, meledak, memperluas ruang semesta menjadi tak terhingga.

Apakah semesta hanya terdiri dari bintang? Tidak, debu-debu bintang yang saling berfusi itu juga menjelma menjadi berbagai entitas lain. Maka terciptalah planet, terciptalah air, terciptalah oksigen, terciptalah batu, besi, bakteri, atom, pohon, gajah, lubang hitam, gunung, pelangi, dinosaurus, komet, rerumputan, dan ikan-ikan. Maka terciptalah sepasang Homo Sapiens yang konon bernama Adam dan Hawa. Maka terciptalah ibumu, maka terciptalah aku, maka terciptalah kamu.

Kau, Kirana Lintang Utara, manusia mungil yang baru saja bergabung dalam sebuah drama kolosal bernama kehidupan. Sebuah drama yang lakon utamanya adalah manusia, makhluk paripurna hasil jutaan tahun proses evolusi di planet Bumi. Satu-satunya makhluk yang mampu menamai dan memaknai segala sesuatu. Selama menjalankan peranmu dalam petualangan menamai dan memaknai ini, ingatlah sebuah pesan yang tertulis dalam berbagai kitab suci: berbuat baiklah pada kerabatmu.

Sederhana, namun kau harus ingat sesuatu. Kau tidak hanya berkerabat dengan keluargamu, tetanggamu, atau saudara sebangsamu. Kau tidak hanya berkerabat dengan sesama manusia. Kau berkerabat dengan udara, pohon mangga, kera, dan andromeda. Kau berkerabat dengan sungai, tanah, hujan, dan bunga teratai. Kau berkerabat dengan planet Mars, lava, gula, dan garam. Kau berkerabat dengan apa pun yang berada di seluruh semesta. Bahkan kau berkerabat dengan Polaris, sebuah bintang yang berada di langit utara, yang menjadi inspirasi bagi namamu. Karena kau, aku, dan mereka semua terbuat dari materi yang sama.

Kita adalah debu-debu bintang, debu-debu angkasa yang melayang-layang dan menari bersama.