Thursday, April 28, 2011

curhat#6

hidup saya terasa ringan belakangan ini. 
entah karena soundtrack 24 Hour Party People yang saya putar berkali-kali, film-film bagus yang datang pada saya, menemukan cara baru dalam memodifikasi gaya tulisan saya yang saya pikir selama ini begitu-begitu saja, atau saya hanya semakin terbiasa dengan semua ini.
hmm kemungkinan terakhir terasa paling logis..

Wednesday, April 27, 2011

malam yang datang terlalu cepat

Ini adalah sebuah cerpen eksperimental, ditulis bergantian bersama teman saya, Septin, selama semalaman ditambah sedikit pagi.
Ya, memang terinspirasi dari proses pembuatan kumpulan cerpen terbarunya Djenar Maesa Ayu yang dia tulis bergantian bersama 14 orang.
Dan ya, sepertinya memang banyak cacat, kami serahkan penilaian pada langit.

Malam datang terlalu cepat, setidaknya itulah yang dirasakan oleh lelaki itu. Rembulan yang kebetulan sedang purnama, dan lampu jalan yang kebetulan menyala di depannya, membuat pemandangan yang ganjil dan indah. Tapi bagi lelaki itu semua ini hanya ganjil, tanpa indah.

Ada seorang perempuan yang berdiri dibawah lampu, entah sedang apa, entah sedang menunggu siapa, entah sedang menghitung berapa banyak sebuah apa.

"Apakah kamu juga merasa malam ini datang begitu cepat?" tanya si lelaki, pada perempuan yang sesungguhnya tidak pernah dia kenal itu.

Alih-alih menjawab, perempuan itu semakin merapatkan jaket cokelatnya, erat membalut tubuh. Malam bisa kian kejam dengan desiran angin yang menggigit. Persis seperti gigi yang mengulum es.

Ia tak menggeleng. Hanya menatap. Tak menjawab. Hanya mendesah.

"Cepat atau lambat... adakah yang lebih ditakutkan manusia daripada waktu yang berputar, eh? Seperti kamu sekarang. Seakan-akan manusia memang hidup hanya demi waktu yang berputar. Huft."

Perempuan itu menendang batu, bak waktu.

"Untuk apa lagi kita hidup jika bukan untuk terus berperan dalam memutar roda raksasa pemutar waktu? Kita terus ber-regenerasi, kita terus berubah, kita terus berjuang mati-matian menolak tua, tapi tetap sang waktulah yang menang, dan sialnya kita hanya bisa diam melihat dia mengkhianati kita. Ah lupakan. Omong-omong, jam berapa sekarang?" kata si lelaki.

"Aku tak memakai jam--dan tak ingin memakainya. Jika semua hal dalam hidup ditentukan dengan deadline... usiamu dalam kandungan, waktu yang diharapkan cemas kedua orangtuamu hingga menapak langkah pertama, bahkan menjelang nyawamu terenggut, huh, aku memilih untuk mengabaikan waktu sebisaku. Maaf. Aku tak tahu jam berapa sekarang. Omong-omong, kenapa kau memanggilku kesini?"

Perempuan itu memilih ayunan bercat merah terkelupas, menjejakkan kakinya dan mulai berayun. Kembali, mengusir waktu. Menunggu lelaki itu berucap, entah apa.

Sementara bulan semakin membulat dan lampu jalan semakin meredup, lelaki itu mengambil duduk diatas tumpukan ban bekas, mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam tasnya, menyalakan sebatang, menghisapnya dalam-dalam, sebelum kemudian mengeluarkan asap yang sengaja dibentuknya menjadi lingkaran, menghadiahi malam ini satu lagi lingkaran sempurna, pikirnya.

"Aku tidak mengatakannya dalam surat ya? Ah iya, maaf, lagi-lagi masalah loncatan kognisi ini. Maaf, seharusnya aku juga mengatakan kapan tepatnya kamu harus datang kesini, bukan hanya 'saat lampu menyala' yang bisa kapan saja. Tapi mengingat kamu tidak pernah melihat jam, aku jadi tidak terlalu merasa bersalah. Sebelumnya, aku bisa memanggilmu dengan apa?"

Perempuan itu mendengus. Lelaki ini!

"Apa sih, arti panggilan? Begitu kan, kata Shakespeare? Kamu bisa memanggilku apa saja. Autisme berjalan, kepulan asap rokok, kotoran kuda. Terserah kamu. Kupikir, setidaknya kamu harus cukup mengenalku hingga memaksaku meninggalkan selimut di dalam kebekuan seperti ini, kan?"

Perempuan itu menatap lelaki itu dengan tajam. Ia tak suka hembusan rokok yang menjelma bak tameng di sekeliling lelaki itu. Seakan ia bisa memonopoli emosi, menopengi sedikit getar ragu dalam intonasi. Padahal, siapa yang tahu jika lelaki ini rapuh di dalam, dengan sebatang rokok mengepulkan asap panjang pendek? Rokok--adalah cara lain menjadi jantan yang sukses dipropaganda media. Cih.

"Haha, lelucon pembuka yang bagus untuk malam keparat ini. Berbicara soal nama, aku malah ingat sebuah dialog satir dalam Pulp Fiction:
'What is your name?'
'Butch.'
'What does it mean?'
'I'm American, honey. Our names don't mean shit.'
Ini bukan Amerika, tapi aku juga percaya nama tidak berperan begitu besar sehingga kita tidak perlu membawanya kemana-mana. Kamu juga bisa memanggilku sesuka hatimu wahai Kepulan Asap Rokok."

Lelaki itu mematikan rokoknya. Bukan, bukan karena dia tidak ingin menyumbangkan polusi lebih banyak lagi untuk udara, tapi semata karena dadanya semakin terasa sakit semenjak semalam.

"Kamu ingat ini?" katanya kemudian sambil mengeluarkan benda lain dari dalam tasnya, sebuah buku.

Kali ini alis perempuan itu terangkat tinggi-tinggi.

"Tarot?" lirihnya antara heran dan geli.

Dari semua buku di muka bumi, lelaki ini menggiringnya di tengah kepekatan malam demi sebuah buku yang berawalan abjad ke duapuluh?

"Ya, tarot. Sebentar, mungkin ini akan terdengar aneh. Aku akan menceritakan semuanya. Dua minggu yang lalu aku bermimpi aneh selama lima hari berturut-turut."

"Ada seorang pria tua yang selalu datang, tidak pernah absen. Dalam mimpiku dia memberikan kartu ke-delapan dari Major Arcana, 'Kematian', selama empat hari berturut-turut. Di hari kelima aku bertanya apa artinya kartu itu, lalu dia memberikan kartu lain, kali ini kartu bergambar seorang perempuan, dia bilang perempuan itu adalah reinkarnasi dari peramal terhebat sepanjang sejarah. Dia bilang perempuan ini aka menjelaskannya untukku."

"Lalu besoknya aku melihat perempuan dalam kartu di mimpiku dalam dunia nyata, aku melihatnya keluar dari rumahnya yang ternyata tidak jauh dari rumahku. Perempuan itu adalah kamu! Itulah mengapa sore itu kamu menemui surat dariku dibawah pintumu."

Perempuan itu tersenyum samar. Dingin yang semula dirasakan kian menusuk kini hanya bagaikan sapaan singkat angin lalu. Pembicaraan ini kian menarik, batinnya.

"Nostradamus pasti akan berpikir panjang sebelum memilih ku sebagai reinkarnan nya, bukan? Aku beritahu satu hal, aku mendapatkan kartu nomor enam dari peramal gadungan di ujung jalan. Malam berikutnya, sepertimu, tarot yang kuperoleh berubah terbalik. Tidakkah itu menarik?"

Tak ada sahutan dari lelaki di hadapannya. Jeda sekian lama, hingga tinggal suara malam dan kisikan daun yang membelah kebisingan dalam pikiran lelaki itu.

Sebenarnya bukan tidak ada sahutan, tetapi lelaki itu menyahut dalam hati, sehingga yang bisa mendengarnya mungkin hanya virus-virus dan bakteri yang terintegrasi dalam tubuhnya.

"Sial, tahu apa aku tentang tarot? Dan apa pula maksudnya kartu nomor enam dan kebalikannya?"

Lelaki itu kembali menyalakan rokok. Bukan, bukan karena dia sedang ingin menyumbangkan polusi lebih banyak lagi untuk udara, tapi karena malam itu begitu dingin. Dan kalaupun aku mati, setidaknya aku mati dibunuh oleh sahabatku, pikirnya.

"Fiuuh, bukankah ini lucu, betapa waktu dan takdir telah mempermainkan kita? Pertama mimpi-mimpi itu, kemudian malam yang datang terlalu cepat, dan cerita yang sama darimu, semua ini seperti script sebuah sitkom yang sarkas. Bedanya, disini penontonnya hanya kita berdua, sehingga membuatnya menjadi begitu sepi."

Perempuan itu merasa kasihan pada lelaki itu. Ia bangkit dari ayunan, dan tersenyum padanya. Teramat manis, menyisakan lesung pipi yang dalam terhadap lamunan si lelaki. Menjawab samar,

"Yah, karena kamu bahkan tidak tahu apa yang hendak kamu katakan... mungkin, aku ingin kembali ke peradabanku yang hangat. Dengan secangkir kopi pahit nan panas."

Terdengar desahan panjang.

"Padahal, aku tahu dengan pasti arah pembicaraan ini." lanjutnya.

Perempuan itu mengecup sekilas pipi si lelaki yang dingin oleh kabut, namun kasar oleh bekas rambut-rambut pendek yang tak rapi tercukur. Yang tanpa sadar diamini hangat oleh hati lelaki itu.

Lelaki itu hanya membalas dengan senyum sekilas. Dia masih saja duduk disana sementara si perempuan berjalan kembali ke rumahnya yang hangat. Diambilnya benda lain dalam tasnya, sahabatnya yang lain: kertas dan pena. Dia mulai membuat garis diatas kertas, entah tulisan, entah gambar, entah diagram, entah.

Ada senyum yang tipis namun menyiratkan kemenangan dari wajahnya.

"Dia tidak tahu sebenarnya masih ada mimpi di hari keenam. Mimpi yang membuat semua ini terasa masuk akal sekarang. Mimpi yang aku yakin tidak datang begitu saja dari bawah sadarku. Perempuan itu, ah.." katanya pada virus-virus dan bakteri dalam tubuhnya sambil terus menggoreskan pena.

Lelaki itu terlalu sibuk dengan pena dan kertas tipisnya, hingga tak menyadari bahwa perempuan itu berbalik sesaat,

"Hei, Kabut Malam! Namaku Rhe." lagi-lagi dengan senyum teramat manis, bak candu.

Cukup pelan, sangat pelan. Namun desis angin telah berbaik hati menyampaikannya ke gendang telinga lelaki itu. Senyum samar, berbalas tipis di ujung bibir si lelaki.

"Kau begitu kejam padaku, ah malam..."

Saturday, April 23, 2011

F for French Films

Hari ini saya dibombardir oleh film-film Prancis. Sebenarnya hanya tiga, tapi saya bukan tipe orang yang betah menonton lebih dari satu film dalam sehari, makanya saya berpikir ini adalah sebuah pencapaian yang lumayan. Pertama, karena waktu yang dibutuhkan untuk menonton sebuah film itu cukup lama, dan saya berpikir lebih baik saya melakukan hal lain daripada menonton film lebih dari satu kali sehari, yang sialnya seringkali waktu saya terpakai untuk hal-hal yang sama sekali tidak penting seperti berbaring tanpa melakukan apa-apa sambil mendengarkan musik selama berjam-jam, kan lebih baik jika saya menonton film saja. Kedua, karena biasanya setelah menonton sebuah film kognisi saya akan terpengaruh oleh film tersebut, dan membutuhkan waktu untuk menetralkannya kembali sebelum siap untuk dikontaminasi oleh film lain.

Film pertama adalah The Science of Sleep, hasil colongan dari warnet kemarin malam. Disutradarai oleh Michel Gondry, orang yang bertanggung jawab pada jatuh cintanya saya pada Eternal Sunshine of The Spotless Mind, film-nya sebelum ini. Jujur saja ekspektasi saya sangat tinggi pada film ini, selain karena judulnya yang secara implisit langsung mengarah pada dualisme realita-nonrealita ala Eternal Sunshine, juga karena cover-nya yang terlampau manis --mengendarai kuda berdua di atas awan? apa itu namanya kalau bukan manis?--, dan tentu saja karena sutradaranya Gondry! Dan ekspektasi saya ternyata tidak berlebihan, saya langsung menempatkan film ini ke dalam daftar 5 film terkeren versi saya hanya dalam 5 menit pertama.

Ceritanya sih biasa saja, seorang laki-laki yang terbiasa membolak-balik mimpi dan realitanya sejak umur 6 tahun jatuh cinta pada tetangga sebelah apartemennya. Tapi sinematografinya, wow! Walaupun warnanya masih kalah oleh Eternal Sunshine, tapi caranya menggambarkan mimpi sangat sangat keren! Berbeda dengan Inception yang menggambarkan mimpi dengan terlalu serius dan real, film ini menggambarkan mimpi dengan spontan, absurd, dan tentu saja lebih dreamy. Another awesome bizzare movie.

Film kedua saya tonton di XXI, Festival Sinema Prancis 2011. Acara gratis ini menyedot banyak sekali orang. Selain oleh mereka yang memang suka sama film Prancis, maupun oleh orang-orang yang datang karena tertarik dengan kata "gratis"-nya, seperti saya. Iya lah, kapan lagi bisa nonton di bioskop tanpa ngeluarin duit selain buat parkir? Saya datang setengah jam sebelum film dimulai dan ternyata kursinya sudah penuh, untung saja teman saya si Coco nge-take kursi untuk saya di sebelahnya.

Judulnya Les Enfants De Timpelbach, film komedi keluarga. Sebuah desa kecil di Prancis bernama Timpelbach (yang digambarkan dengan amat keren, dengan kastil, gunung, sungai, dan padang rumputnya yang membuat saya berkali-kali misuh saking kagumnya) anak-anaknya sangat nakal sehingga membuat orang tua mereka membuat sebuah rencana untuk menghukum mereka: meninggalkan desa selama sehari dan membiarkan para anak mengurus dirinya sendiri.


Tapi ada sebuah masalah sehingga membuat para orang tua tidak kembali ke desa selama berhari-hari. Hal ini mengakibatkan terpecahnya para anak kecil ke dalam dua kubu: kubu anak-anak baik yang mengurus dirinya dengan cara-cara yang baik sambil menunggu orang tua mereka kembali, dan kubu anak-anak nakal yang mengasingkan diri ke sebuah bar di pinggir desa dan menghabiskan waktu dengan bermain kartu, minum bir, dan menghisap cerutu. Kubu ini menolak kedatangan kembali orang tua mereka karena mereka membenci otoritas orang dewasa dan berpikir bisa mengurus diri mereka sendiri. Film ini mengingatkan saya pada Pippi Langstrump, yang juga berpikir bahwa anak kecil seharusnya bisa hidup tanpa perintah dari orang dewasa. Konsep anarki dalam cerita anak-anak, eh?


Film ketiga, emm jujur saja saya tidak tertarik untuk membahasnya. Masih dari Festival Sinema Prancis, judulnya Un Poison Violent. Tidak ada yang menempel di kepala saya tentang film ini, entah karena memang filmnya yang jelek atau saya yang tidak mengerti, tetapi toh si Coco yang duduk di sebelah saya pun mengaku tidak mengerti apa intinya. Jadi, tonton sendiri saja ya.. Oh iya saya ingat! Ternyata ada yang membekas dari film ini, dan itu adalah lagu terakhir yang digunakan untuk closing credits. Creep-nya Radiohead dibawakan dalam versi choir anak-anak gereja, dan itu sangat damn great!

Wednesday, April 20, 2011

super thanks :)

Mia: Don't you hate that?
Vincent: What?
Mia: Uncomfortable silences. Why do we feel it's necessary to talk about bullshit in order to be comfortable?
Vincent: I don't know. That's a good question.
Mia: That's when you know you've found somebody special. When you can just shut the fuck up for a minute and comfortably enjoy the silence.
-Pulp Fiction

Saturday, April 16, 2011

a word can hold the secret of the universe

Selain mempunyai angka statistik yang tinggi untuk kasus bunuh diri, Gunung Kidul juga memiliki ratusan (bahkan mungkin ribuan) goa yang tersebar di seluruh wilayah. Salah satunya adalah Goa Bendo, terletak di Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu. Di goa multi-pitch yang memiliki total kedalaman 40 meter inilah beberapa tahun yang lalu saya dan beberapa teman membuat heboh warga kampung karena mengaku menemukan mayat bayi, yang ternyata setelah dilihat lebih jelas adalah bangkai anak kambing yang jatuh terperosok.

Hari ini saya kembali melakukan eksplorasi disana bersama empat orang teman. Saya yang harusnya berada di urutan ketiga ketika naik meminta izin untuk naik duluan karena suatu hal: saya kebelet kencing. Saya tidak mau kencing di dalam goa bukan karena slogan khas pecinta alam itu, leave nothing but footprint. Bukan, karena saya yakin manusia tidak pernah bisa tidak meninggalkan apa-apa selain jejak kaki ketika melakukan eksplorasi.

Katakanlah karbondioksida yang dikeluarkan ketika bernafas, itu saja sudah cukup untuk mengintervensi lingkungan alami goa, belum lagi sampah-sampah yang sengaja maupun tidak kadang tertinggal begitu saja di dalam. Maka jelas saya bukan seorang naturalis, bagaimana bisa menjadi naturalis jika saya sendiri yakin bahwa justru kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pecinta alam malah berpotensi merusak alam itu sendiri.

Saya rela naik sendirian karena Goa Bendo adalah goa yang sempit dan tidak mempunyai aliran air di dalamnya, saya tidak mau membuat teman-teman saya yang masih di bawah tersiksa dengan bau pesing jika saya kencing di dalam. Maka begitulah, akhirnya saya berada di mulut goa, sendirian, menunggu teman-teman saya yang lain yang saya perkirakan masih akan lama sebelum mereka sampai kesini.

Saat itu sudah sore, langit mulai remang. Karena saya bingung mau melakukan apa sembari menunggu, akhirnya saya berbaring, beralaskan ponco berbantalkan helm. Baju yang penuh lumpur, tanah yang basah di bawah saya. Saya berbaring membelakangi mulut goa, menghadap ke langit. Terlihat beberapa ekor kelelawar yang keluar kemudian masuk lagi ke dalam goa, entah mereka merasa kepagian untuk mencari makan atau ada sesuatu yang ketinggalan di dalam.

Saya memejamkan mata, berusaha berkonsentrasi terhadap segala jenis suara di tempat yang jauh dari peradaban itu. Suara nyamuk di telinga saya, suara kelelawar, suara jangkrik, suara tokek, suara langkah hewan --entah apa itu, kadal mungkin-- di rerumputan, suara daun yang bergesekkan, suara kodok, suara sore, suara alam. Oh dengarlah, siapa bilang alam itu sunyi? Siapa bilang semesta itu senyap? Alam semesta adalah orkestra dengan nada yang rumit tapi indah, dan ego manusia kadang hanya menyumbangkan nada fals terhadapnya.

Monday, April 11, 2011

curhat#5

apakah gerakan mereka yang semakin tidak beraturan ataukah saya yang terlalu konservatif sehingga lupa bahwa kemauan zaman memang harus selalu dituruti? atau keduanya? ini seperti sebuah parade oksimoronik tanpa akhir.

Friday, April 8, 2011

lightspeed me!

Belakangan ini saya merasa segala sesuatu berjalan dengan begitu cepat. Waktu, manusia, semuanya. Saya merasa seperti sedang mengendarai Millenium Falcon dan memasuki lightspeed. Semuanya beterbangan, blurry.

1. Waktu
Ini sudah delapan semester saya berada di kampus. Beberapa teman sudah ada yang wisuda, dan banyak lainnya akan menyusul Mei besok. Sedangkan skripsi saya saja baru sampai tahap niat dan perancanaan, itu pun realisasinya baru beberapa bulan lagi. Tidak terasa, lulus, kemudian bekerja. Seperti pembicaraan tempo hari bersama seorang teman sambil makan lotek,
"Kemarin aku baru nonton film-film tentang korporasi, dari mulai Up in the Air sampai Wallstreet, semuanya mengerikan!"
"Kamu tahu apa yang lebih mengerikan? Sebentar lagi kita akan memasuki dunia itu, dunia kerja, sucks!" jawab saya.

2. Manusia
Saya mengenal banyak orang baru dalam hidup saya selama kira-kira setahun terakhir ini. Orang-orang dari berbagai "dunia", yang tak jarang saling bertolak belakang satu sama lain. Mereka semua sedikit banyak meninggalkan makna dalam hidup saya. Tapi ini mungkin adalah hukum keseimbangan, saya juga kehilangan tidak sedikit orang. Saya merasa kehilangan mereka yang juga telah mewarnai hidup saya, mereka yang beberapa diantaranya adalah teman-teman terbaik yang pernah saya miliki. Kehilangan secara harfiah dan simbolik. Beberapa teman saya berubah menjadi orang yang tidak saya kenal. Apakah saya sedih? Ya. Tapi hey bukankah saya juga berubah? Mungkin saya juga bukan lagi saya yang pernah mereka kenal. Apakah mereka sedih? Saya tidak tahu.

Yah perubahan. Salah satu instrumen yang mau tidak mau harus kita mainkan ketika kita telah memutuskan untuk membuat sebuah konser raksasa bernama kehidupan. Seperti yang dikatakan oleh Johann Wolfgang von Goethe, "Life belongs to the living, and he who lives must be prepared for changes."