Wednesday, February 23, 2011

face your fear, live your dream

Malam ini terasa berbeda. Entah karena seharian ini tidak hujan dan cuaca menjadi lebih panas dari biasanya atau karena besok aku akan mulai menggunakan kedua sayapku ini sebagaimana mestinya. Sebuah keputusan yang tidak mudah, mengingat prematurnya bentuk sayapku ini dibanding kegagahan sayap-sayap bangsaku yang lain. Teman-temanku yang lain telah lebih dulu mengepakkan sayap mereka dan pergi ke timur sebelum musim dingin. Saat ini hanya tersisa segelintir dari kami yang entah terlalu berani atau terlalu bodoh sehingga masih bertahan di hutan ini. Yang jelas alasanku bukan itu, aku sungguh ingin terbang bersama teman-temanku dari kemarin. Tapi seperti yang kubilang, semua pesimis merasa sayapku ini dapat mengepak dengan sempurna.

Tapi aku harus membuat sebuah keputusan. Aku tidak mau terus tinggal disini dan mati dicabik musim dingin.
Terbang, sesuatu yang sangat utopis untukku. Ah tapi apa itu utopis? Bukankah sejarah planet ini didominasi oleh kisah mereka yang berani mendobrak tembok utopis itu? Bukankah nenek moyang kita adalah mereka yang dengan berani keluar dari lautan yang nyaman dengan mempertaruhkan hidup mereka untuk hidup di darat? Hidup di darat itu utopis untuk mereka, tapi toh mereka berhasil. Bukankah bangsa Sumeria adalah bangsa yang dengan berani memutuskan untuk hidup di tempat bertemunya sungai Eufrat dan lautan ribuan tahun yang lalu? Tinggal di tempat berlumpur semacam itu adalah hal yang utopis di zaman dimana batu menjadi salah satu kebutuhan primer saat itu. Tapi toh mereka akhirnya berhasil, dan menjadi bangsa yang andilnya besar dalam membentuk peradaban dunia.

Begitu pula denganku. Terbang adalah sesuatu yang sangat utopis untuk organisme dengan sayap prematur sepertiku. Sama utopisnya dengan para manusia yang merindukan kedamaian bisa menyusup dalam setiap oksigen yang mereka hirup. Ah tapi lalu aku teringat dengan kata-kata seorang temanku, kata-kata yang membuatku semakin yakin bahwa utopis hanyalah tembok yang tidak perlu aku takuti, sebuah tembok yang aku hanya perlu menemukan celah untuk merobohkannya,
"Utopis itu semestinya pandangan mereka yang non-ideologis terhadap cita-cita mereka yang ideologis. Mereka yang ideologis memandang cita-cita besarnya itu nampak jelas, walau masih jauh dan jalannya berat. Seperti aku, kamu, dan mereka semua yang punya cita-cita besar terhadap dunia"

Ya sepertinya aku siap untuk besok, lebih dari siap malah. Aku akan terbang, dan suatu hari kedamaian akan menyusup kedalam setiap oksigen yang kita hirup. Aku yakin.

Wednesday, February 2, 2011

kontemplasi

“i said: 'kiss me, you’re beautiful - these are truly the last days'
you grabbed my hand and we fell into it like a daydream or a fever”
-Godspeed You! Black Emperor
"Kita hidup dalam dunia yang penuh sesak, bung. Dunia yang mau tidak mau kita harus memberi jalan pada mereka yang akan lewat, yang suka tidak suka kita harus menggeser duduk kita bagi mereka yang juga ingin duduk."
"Ya aku tahu..Apa itu istilahnya, makhluk sosial?"
"Tidak bung, tidak. Bukan itu, setidaknya ini bukan sekedar tentang itu, ini tentang sesuatu yang kita sama-sama miliki, tapi kita tak pernah menyadarinya. Malah lebih parah lagi, kita sering membiarkannya dicuri orang"
"Kalau kita tidak merasa memiliki sesuatu, kemudian sesuatu itu diambil, itu namanya bukan dicuri, toh dengan tidak merasa memiliki kita tidak akan merasa kehilangan apapun."

***

Kata penduduk desa, di puncak gunung itu hidup seekor elang. Bukan elang biasa, tapi elang bermata emas, besarnya tiga kali lebih besar dari elang biasa, dan berbulu putih. Sebelumnya kupikir elang bermata emas itu adalah semacam mitos, karena belum pernah ada yang melihatnya secara jelas, apalagi mendokumentasikannya. Entah sejak kapan penduduk desa ini mulai menganggap ada makhluk semacam itu diatas sana. Tapi ini yang perlu digarisbawahi, ini yang menarik. Penduduk desa tidak menganggap elang itu semacam dewa atau hal yang lebih tinggi dari mereka, tidak juga mereka menganggap elang itu sebagai siluman atau jadi-jadian atau semacamnya. Mereka menganggap elang itu hanyalah bagian dari alam, mereka menganggap elang itu kedudukannya sama seperti hewan-hewan lain di sekitar desa itu.

Tapi jika kau tanya aku, aku menganggap elang itu dewa, malaikat, Tuhan atau apapun itu istilahnya. Karena ketika semalam aku bertemu dengannya, dia memberiku sepasang sayap ini.

***

Berbeda dengan musim dingin sebelumnya, musim dingin kali ini terasa lebih hangat untuknya. Dia telah selesai membuat sebuah boneka salju yang tidak berbentuk boneka salju; berantakan dan lebih mirip seonggok semen. Tapi toh dia merasa puas, karena itu adalah boneka salju pertama yang dia buat setelah tangan kanannya diamputasi setahun yang lalu.
"Kamu tahu kenapa kami para manusia senang membuat boneka salju?" tanyanya
"..."
"Karena kami takut, kami takut sendirian. Makanya kami menciptakan diri kami dalam semua hal. Dalam film kartun, dalam patung, dalam lukisan, dalam boneka salju. Supaya kami bisa melihat diri kami kemanapun kami pergi."
"..."
"Dan bicara tentang boneka salju. Aku jadi teringat kata-kata seorang penulis wanita dari Indonesia dalam salah satu bukunya. Hmm kira-kira isinya begini: jika kamu ingin menjadi berbeda ditengah sebuah gurun, janganlah menjadi pasir, atau kaktus, atau oase, tapi jadilah salju, karena embun pagi tak akan kalahkan dinginmu, angin malam akan menggigil ketika melewatimu, dan setiap senti gurun akan terinspirasi kerena kau berani beku dalam neraka, kau berani putih meski sendiri, karena kau berbeda.."
"..."
"Ah sudahlah, sepertinya kau tak akan mengerti, aku masuk rumah dulu ya. Sepertinya segelas coklat panas akan menyenangkan. Dadah."
"...apakah para manusia itu tidak tahu bahwa semua makhluk di alam semesta ini begitu iri pada mereka dan terobsesi untuk menjadi seperti mereka?"

Tuesday, February 1, 2011

aufklärung

"ketika kamu meminta keimanan pada-Nya, apakah Dia akan memberimu keimanan atau kesempatan untuk beriman?"
Semua ini berawal dari sesuatu yang datang kepada saya sekitar 3 minggu yang lalu. Sesuatu, sebut saja sebuah masalah. Masalah yang cukup besar dalam ukuran saya. Kemudian seperti yang sudah diduga: saya merengek-rengek pada Tuhan untuk membantu saya menyelesaikan itu. Saya kembali sholat, saya kembali berdoa. Terdengar menyedihkan ya? Tipikal manusia sok skeptis dan sok kritis terhadap kebenaran agama dan eksistensi Tuhan tapi begitu membutuhkan bantuanNya ketika mendapat masalah.

Tapi saat itu semakin sering saya sholat dan berdoa justru saya semakin tersiksa. Saya tersiksa karena saya sama sekali tidak merasakan apa-apa dalam momen-momen saya berinteraksi dengan Tuhan. Bahkan bukan merasa kosong, saya merasa kering, sangat kering. Dan sungguh ironis, saya justru semakin takut dengan masalah yang sedang saya hadapi. Ditambah saat itu saya juga sebenarnya masih skeptis dengan semua hal yang bersifat rohaniah. Dalam kata lain: saya masih belum yakin apakah Tuhan benar-benar ada atau tidak.

Kemudian tibalah pada suatu malam dimana saya sedang membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang spiritualis, buku yang telah sejak lama saya beli tapi baru kali itu saya benar-benar tertampar oleh isinya. Entah buku itu berfungsi sebagai trigger atau apa, yang jelas saat itu saya benar-benar merasa --maaf jika selanjutnya istilah atau kata-kata saya terdengar seperti seorang hipokrit-- tercerahkan. Saya merasakan sebuah perasaan yang begitu janggal: begitu membahagiakan, begitu mengharukan. Saya bahkan sampai ingin menangis saking bahagianya malam itu. Kemudian saya melakukan sholat paling nikmat yang pernah saya rasakan seumur hidup, saya merasakan kehadiranNya. Saya bahkan lupa sama sekali terhadap masalah saya saat itu.
"kau terus mencariKu dalam buku-bukumu, kau terus membicarakan dan memperdebatkanKu dengan teman-temanmu. kapan kau akan berhenti mencari dan mulai melihat?"
Lalu beberapa hari setelahnya saya melakukan perjalanan ke Bali. Sebuah perjalanan yang beberapa teman menyebutnya "perjalanan spiritual" bagi saya. Saya hanya tersenyum ketika mereka mengatakan itu. Karena jujur saja, Bali memang memiliki aura yang sangat berbeda dibanding semua tempat yang pernah saya datangi, setidaknya itulah yang saya rasakan ketika pertama kali kesana setahun yang lalu --dan tempo hari pun saya masih merasakan hal yang sama--.

Dan mirip dengan kisah Dewa Wisnu yang bermanifestasi ke dalam 10 bentuk (awatara), saya merasakan Tuhan bermanifestasi ke dalam berbagai bentuk makhlukNya
  • Saya membaca Tuhan yang bermanifestasi dalam buku Wizard of Oz dalam perjalanan 13 jam saya di kereta Sri Tanjung menuju Banyuwangi,
  • Saya melihat Tuhan yang bermanifestasi dalam Pura Gunung Kawi yang diukir dengan sangat hati-hati pada batu-batu curam ratusan tahun lalu,
  • Saya mendengar Tuhan yang bermanifestasi dalam ucapan seorang tukang eskrim yang kami temui di Mesjid Al-Muhajirin Kintamani, "Saya juga dari Jawa Mas, baru 5 hari tinggal disini. Tadi saya jalan dari bawah, kirain mesjidnya deket, ternyata jauh juga ya Mas, 6 kilo heheh", atau dari pertanyaan seorang teman baru asal Bali yang beragama Hindu, "sebenarnya jihad tu apa sih, Bi?"
  • Saya menghirup Tuhan yang bermanifestasi dalam harum teratai yang mengelilingi Taman Ayun,
  • Saya meraba Tuhan yang bermanifestasi dalam rekahan dan tonjolan tebing di Pantai Padang-Padang,
  • Saya merasakan Tuhan bermanifestasi ke dalam bentuk yang paling sederhana dan paling kompleks dari ciptaanNya.
Tetapi tentu saja, dibalik suasana euforik ini, ada kekhawatiran yang terkadang muncul: benarkah ini benar-benar Dia? Benarkah ini bukan sekedar produk dari ketidaksadaran kolektif akan citra Tuhan seperti yang dikatakan oleh Jung? Benarkah ini bukan sekedar efek dari totemisme seperti yang dikatakan oleh Freud? Dan lebih parah lagi, apakah ini bukan gejala skizofrenik? Saya harap bukan. Dan jika pun iya, saya senang, karena kali ini saya mempunyai sesuatu untuk diyakini. Dan jika ini adalah sebuah fase, saya harap fase ini tidak terlalu cepat berakhir. Amin.
"Do the people think that they will be left to say, "We believe" and they will not be tried?"
"But We have certainly tried those before them, and God will surely make evident those who are truthful, and He will surely make evident the liars." (Al-Ankabut 2-3)