Wednesday, March 5, 2014

Aruh Buntang, Sebuah Perayaan untuk Para Arwah

Hari itu, para dewa diundang untuk bersemayam di sebuah pohon kelapa di ujung desa. Seorang balian (dukun) yang memanggilnya lewat mantra-mantra. Dewa air, dewa api, dewa angin, dan dewa tanah dimohonkan untuk melindungi desa mereka dari badai, petir, gempa bumi, dan bencana alam lainnya. Pemanggilan dewa-dewa itu juga sebagai bentuk permintaan restu dalam mengadakan aruh buntang.

Aruh buntang adalah upacara kematian yang dilakukan oleh masyarakat Dayak Deah. Aruh (upacara) ini bertujuan untuk mengantarkan arwah orang yang sudah meninggal menuju kehidupan berikutnya. Upacara ini juga merupakan simbol bakti dan rasa hormat dari mereka yang masih hidup kepada leluhur yang sudah meninggal. Ritual pemanggilan dewa di atas merupakan fase awal dari pelaksanaan aruh buntang. Setelah para dewa dipanggil, pohon kelapa yang menjadi tempat semayam tersebut kemudian dikelilingi dengan sesajen yang telah diberi mantra. Setelah itu, barulah pelaksanaan aruh boleh dilakukan.

Aruh buntang tersebut dilakukan di halaman rumah Hasan, seorang warga Desa Pangelak, Kecamatan Upau, Kabupaten Tabalong, pada 27 Februari sampai 3 Maret 2014. Aruh ini terbilang unik, karena jika biasanya aruh buntang dilakukan untuk melepas arwah satu atau beberapa orang saja, kali ini aruh digelar untuk puluhan arwah sekaligus.

Seminggu sebelumnya, dilakukan pembongkaran 87 kuburan yang berada di sekitar wilayah Mampura, cukup jauh dari desa mereka. Makam-makam yang diperkirakan berumur ratusan tahun tersebut dipercaya sebagai makam leluhur masyarakat Dayak Deah.

Ali, salah satu orang yang dituakan di desa, mengatakan bahwa dulu Mampurai adalah tanah asli leluhur mereka. Suatu hari, di daerah itu terjadi sesuatu yang aneh, setiap hari ada orang yang mati tanpa diketahui penyebabnya. Karena tanah tersebut diduga mengandung kutukan, para leluhur itu kemudian pindah ke wilayah yang sekarang menjadi desa mereka.

Bagi masyarakat Dayak, kuburan adalah sebuah tempat persinggahan sementara bagi orang yang meninggal. Setelah dikubur, suatu hari kuburan itu harus dibongkar lagi, dan jasad orang yang meninggal tersebut dipindahkan ke sebuah peti yang ditempatkan di dalam bangunan khusus bernama sandung, atau pengelowokng dalam bahasa Dayak Deah. Jangka waktu dari penguburan sampai pembongkaran tergantung dari kesiapan keluarga yang ditinggalkan, karena biaya yang dibutuhkan tidak sedikit.

Karena itu, selama menunggu keluarga yang ditinggalkan mengumpulkan dana, jenazah dimakamkan terlebih dahulu seperti biasa. Saat dana sudah terkumpul, barulah makam dibongkar kembali untuk memindahkan isi makam tersebut yang biasanya sudah menjadi tengkorak.

Sehabis kuburan dibongkar, para arwah diyakini akan melayang ke rumah sang empunya hajat. Untuk itu, di tengah halaman rumah di mana aruh berlangsung didirikan sebuah altar. Terbuat dari sebilah bambu yang didirikan, kemudian pada bambu tersebut digantungkan kain, janur, dan berbagai dedaunan yang diatur sedemikan rupa. Pada altar itulah para arwah dipercaya bersemayam.

Sepanjang hari, keluarga dan warga yang hadir melakukan tarian mengelilingi altar tersebut. Tarian itu dimaksudkan untuk menghibur para arwah yang sedang mengamati kerabat mereka yang masih hidup. Setiap hari, makanan dan minuman juga disiapkan untuk para arwah. Jumlahnya sesuai dengan jumlah arwah yang mendiami altar tersebut. Dalam aruh ini, 87 set makanan dan minuman disiapkan setiap harinya untuk diletakkan di bawah altar.

Di samping rumah, terlihat dua ekor kerbau yang diikat menggunakan rotan. Orang Dayak Deah percaya, persembahan kerbau dapat mempermulus jalan bagi para arwah. Proses pengorbanan kerbau dalam aruh buntang adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu, karena kerbau-kerbau itu tidak disembelih seperti biasa, tetapi ditombak.

Di hari keempat, kerbau-kerbau itu diikat di sebuah tiang dengan tali yang cukup panjang. Beberapa orang pria mengelilinginya sambil memegang tombak. Setelah aba-aba diberikan, tombak-tombak itu ditusukkan bergantian kepada si kerbau yang berlari ke sana kemari hingga mati. Daging kerbau itu kemudian dimasak dan dibagikan kepada seluruh warga.

Pada hari kelima, yang merupakan hari terakhir, dilakukan ritual puncak dari prosesi aruh buntang, yaitu pendirian belontakng, sebuah totem khas masyarakat Dayak. Di bagian atas belontakng, dipahat sebentuk patung yang menyerupai orang yang sudah meninggal. Belontakng yang sudah terukir itu diangkat bersama-sama oleh beberapa orang, kemudian ujung bawahnya ditanam di halaman rumah Hasan.

Setelah didirikan, arwah-arwah yang tadinya berada di altar diyakini akan berpindah tempat ke belontakng. Belontakng adalah sesuatu yang disakralkan oleh orang Dayak, karena mereka percaya, arwah leluhur yang tinggal di dalamnya akan melindungi mereka dari mara bahaya. Pendirian belontakng sekaligus menjadi penanda berakhirnya aruh.

Pohon kelapa yang menjadi tempat persemayaman para dewa kembali didatangi, mantra dirapalkan untuk berterima kasih sekaligus mengembalikan mereka ke tempat asalnya. Semua api di desa yang digunakan untuk keperluan aruh, seperti memasak, lilin, dan lain-lain harus dimatikan. Setelah semua api mati, warga baru boleh menyalakan api kembali. Itu menandakan bahwa api yang mereka gunakan adalah api yang sudah kembali suci.

Saturday, March 1, 2014

the curse of being in love

Selain fitur-fitur yang biasa kugunakan di ponselku, ada satu fitur lagi yang sekarang sering kugunakan: perekam suara. Kamu tahu kan, salah satu pekerjaanku di sini adalah menulis untuk majalah internal perusahaan. Majalah ini berisi berbagai jenis tulisan, maka aku harus bertemu dan mewawancarai berbagai jenis manusia pula. Dari karyawan berprestasi sampai pemilik rumah makan, dari para pencari kerja sampai kepala adat suku Dayak. Perekam suara mutlak harus kugunakan, karena aku tidak bisa mencatat dengan cepat.

Aneh juga, sekarang aku merasa seperti wartawan, salah satu dari banyak cita-citaku dulu. Beberapa hari yang lalu, ketika sedang mencari file rekaman wawancaraku yang entah terselip di mana, aku masuk ke dalam folder yang jarang kubuka. Aku menemukan beberapa file suara di situ, yang salah satunya membuatku bingung. File tersebut berisi rekaman suara seseorang bernyanyi mengikuti lagu yang terdengar di belakangnya.

Tadinya kukira itu adalah file bawaan dari pabrik, sebagai contoh kualitas fitur perekam suara ponsel tersebut. Setelah kudengarkan lagi, sepertinya tidak mungkin, karena kualitas suara file itu tidak terlalu bagus. Baru beberapa saat kemudian aku sadar, itu adalah suaramu! Kudengarkan dengan seksama liriknya, dan setelah kucari di google, aku tahu itu adalah "The Curse of Being in Love" dari Sondre Lerche.

You can tell me anything
You are a true exception in my life
It sounded like she said she was in love
I then told her all the things that I had though I better keep inside
All of which revealed I was in love


Aku lalu menghubungimu, menanyakan kapan kamu merekam suaramu di ponselku, karena aku tidak ingat pernah dikirimi file itu olehmu. Awalnya kamu tidak mau membahasnya, tapi setelah kudesak, kamu mengaku bahwa merekam lagu itu dan mengirimkannya padaku di hari ulang tahunku tahun kemarin. Sungguh, aku tidak ingat, mungkin aku menerima file itu ketika setengah tidur, sehingga tidak sempat membukanya dan lupa keesokan harinya.

Cinta adalah kutukan, kata Sondre Lerche, dan juga katamu (itulah kenapa kamu menamai folder berisi foto-foto kita dengan judul lagu itu). Aku sepakat, karena cinta dan hubungan bersaudara dengan kepemilikan. Kepemilikan berarti kehilangan, dan kehilangan mengundang segala perasaan negatif.

It won't get better
It won't get better
Embrace the curse so it doesn't get worse


Kutukan ini semakin terasa ketika kita kini berjarak. Awalnya kita berjarak secara fisik, tapi tampaknya sekarang jarak itu merembet juga pada komunikasi kita. Dahulu, ketika berkomunikasi dengan orang yang berjarak, manusia hanya dapat menggunakan media visual, misalnya lewat surat atau kartu pos. Saat ini, manusia dapat berhubungan dengan manusia lain yang berjarak lewat media audio, visual, dan audio-visual. Audio, dengan telepon; visual, dengan teks-teks virtual atau gambar; dan audio-visual, dengan video call. Baru dua indera yang terpakai.

Aku membayangkan, di masa depan manusia akan menciptakan alat yang bisa memfasilitasi ketiga indera lainnya: peraba, penciuman, dan pencecap. Sehingga, ketika berhubungan dengan orang lain yang berjarak, manusia dapat menggunakan seluruh inderanya, meskipun secara virtual. Saat itu, aku bayangkan hubungan yang berjarak akan jauh lebih mudah untuk dilakukan. Manusia mungkin tidak perlu bertemu sama sekali untuk menjalin hubungan. Tapi saat itu pula, rasa akan tereduksi kualitasnya. Hubungan antar manusia akan terasa begitu hambar. Karena aku percaya, sebuah hubungan membutuhkan kedekatan secara fisik. Bagaimanapun juga kita adalah makhluk fisik yang masih harus tunduk pada hukum-hukum fisik.

It won't get better
It won't get better
Embrace the curse so it doesn't get worse


Maka, dengan jarak kita yang delapan ratus kilometer ini kita masih bisa merasakan rasa selain rasa hambar, kita mestinya bersyukur. Bukankah artinya kita masih membutuhkan kedekatan fisik? Bukankah itu membuktikan bahwa kita adalah manusia, yang tidak puas dengan hubungan virtual melalui kode-kode biner? Bukankah kata orang lebih baik merasa sakit daripada tidak merasa apa-apa sama sekali? Aku tahu yang terakhir itu klise, tapi aku mengamininya.

Pada akhirnya, bersabarlah, karena ini adalah kutukan yang harus kita tanggung.

Fact and fiction look alike 
When such a lightning strikes
But I believe that I can face

The curse of being in love