Sunday, July 24, 2011

"color my life with the chaos of trouble"

Ada dua jenis orang yang paling sial di dunia ini: pertama, orang yang tidak memiliki pilihan; kedua, orang yang mempunyai terlalu banyak pilihan. Orang yang tidak memiliki pilihan akan terus berjalan dalam rel yang stagnan, monoton, tidak bervariasi, seolah hidupnya telah dirancang untuk menjadi membosankan oleh Sang Sutradara.

Sedangkan orang yang memiliki terlalu banyak pilihan akan terlena dengan pemandangan-pemandangan indah di kejauhan, tanpa pernah sadar sebenarnya dia hanya berputar-putar saja di tempat karena tidak pernah memutuskan untuk bergerak kemana. Dan suatu hari ketika pemandangan-pemandangan itu hilang ditelan kabut, dia akan sadar bahwa dia belum kemana-mana.

Saya tidak tahu apakah saya termasuk jenis yang pertama atau yang kedua, karena sepertinya malah saya sendiri yang menciptakan kabut dalam perjalanan-perjalanan saya.

Saturday, July 23, 2011

curhat#7

sudah terlalu lama saya tinggal di dunia kolektif, saat ini saya benar-benar butuh waktu untuk berdua saja dengan diri saya sendiri.

Friday, July 22, 2011

Pagar Alam: a beginning

KKN, salah satu proses yang mesti dilewati oleh mahasiswa sebelum mencapai tahap berikutnya: skripsi, kemudian graduasi. Program yang dirancang khusus sebagai wadah untuk mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah didapatnya selama di kelas kepada masyarakat. Dua bulan yang disediakan untuk membangunkan para mahasiswa dari ranjang yang nyaman dan melemparkan mereka ke kehidupan nyata. Tentu saja itu idealnya, pada kenyataannya, seringkali KKN berakhir sebagai paket wisata yang menyenangkan bagi para mahasiswa, dibiayai oleh universitas dengan sedikit polesan rencana program disana-sini.

Sebagai salah satu mahasiswa sebuah universitas yang katanya nomor satu di Jogjakarta, saat ini saya juga sedang mengalami proses KKN, proses yang tertunda setahun karena beberapa alasa. Dari awal saya sudah berniat tidak akan KKN di Pulau Jawa, karena saya pikir KKN bisa menjadi semacam ekspedisi kecil-kecilan untuk saya keluar Jawa. Kemudian berbagai tawaran datang, dari mulai Gorontalo, Bangka Belitung, Minahasa, Bali, Lombok, sampai Raja Ampat. Namun akhirnya pilihan jatuh pada Pagar Alam, sebuah tempat yang bahkan namanya saja belum pernah saya dengar sebelumnya. 

Pagar Alam, sebuah kota kecil di Sumatera Selatan. Dulunya tergabung dalam Kabupaten Lahat, dan baru sekitar sepuluh tahun menjadi kota sendiri. Sebelum berangkat tentu saja saya bertanya pada Google dan Wikipedia tentang kota ini, dan dari data-data yang saya dapat, tidak banyak hal menarik yang tersedia di kota ini, yang terekspos di internet hanyalah kebun teh, air terjun, dan sebuah sungai untuk arung jeram. Kalaupun ada yang berbeda disini, adalah situs-situs megalitikum yang tersebar di seluruh kota. Namun karena terbatasnya kemungkinan kesenangan yang bisa saya dapatkan disanalah yang membuat saya tertarik. Berbeda dengan Bali atau Lombok misalnya, yang jelas-jelas saya akan bisa menikmati dan dimanjakan oleh banyak hal disana, di Pagar Alam saya harus mencari dan menciptakan kesenangan-kesenangan saya sendiri dari sumber kesenangan yang terbatas, dan itu terasa lebih menarik untuk saya.

Ini adalah perjalanan pertama saya keluar Jawa. Saya memang pernah ke Bali, tapi Bali terlalu dekat untuk dibilang “keluar Jawa” menurut saya. Maka antusiasme saya semakin meningkat menjelang hari keberangkatan. Dan akhirnya hari itu datang. Hari ketika saya akhirnya naik ke dalam bus reot bernama “Sinar Dempo” yang akan terus berjalan selama kurang lebih dua hari mengantarkan saya ke Sumatera, kemudian menyeberangi selat Sunda dan melihat tulisan “Lampung” dari kejauhan, beristirahat di sebuah rumah makan yang menyajikan masakan Padang terenak yang pernah saya makan, melihat kehidupan di kanan-kiri sepanjang perjalanan yang terasa berbeda auranya dengan kehidupan Jawa, saya berkata dalam hati, “inilah dia, Sumatera, tanah yang berbeda dengan tanah yang selama dua puluh dua tahun kupijak.”

Ada dua hal yang sama sekali meleset dari perkiraan saya tentang kota ini. Pertama soal udara dingin, dan kedua soal perangai penduduknya.

Berdasarkan data yang diberikan oleh teman saya yang sebelumnya melakukan survey ke Pagar Alam, kota ini sangat dingin, mungkin sedingin Dieng, sehingga kami diingatkan untuk membawa baju hangat atau jaket banyak-banyak. Saya yang memang tidak pernah nyaman dengan udara dingin mengantisipasinya dengan membawa dua buah jaket dan satu buah sweater. Tapi ternyata ketika saya turun dari bus pada jam dua pagi hari kota ini, sama sekali tidak sedingin itu. Memang dingin, tapi dingin yang wajar daerah kaki gunung, paling-paling hanya sedingin Jalan Kaliurang KM 10. 

Kemudian soal perangai penduduknya. Sebelumnya di Jogja, hampir semua teman saya yang berasal dari Sumatera memberitahu saya bahwa Pagar Alam adalah kota dengan penduduk yang beringas, kasar, senggol bacok, dan berbagai atribut tidak menyenangkan lainnya. Saya sampai membayangkan kota itu seperti Gotham City minus manusia kelelawar yang berkeliaran di malam hari. Tapi lagi-lagi kesan memang harus dirasakan sendiri, bukan hasil transfer dari orang lain. Penduduk disini ramah, walaupun memang terkesan kaku jika dibandingkan dengan orang Jawa. Mulai dari Pak RW-nya yang suara dan aksennya sangat mirip dengan pengisi suara Kakeknya Upin-Ipin, sampai para pemudanya yang gemar main voli dan jadi keranjingan UNO semenjak kami mengajak mereka bermain. Soal perangai mereka yang dicap buruk oleh kebanyakan orang, saya mendapat penjelasan dari salah satu pemuda disini:

“Kami orang Pagar Alam akan baik pada orang jika mereka baik pada kami, tapi kami bisa menjadi lebih buruk pada mereka jika mereka berbuat buruk pada kami. Orang-orang dari sini banyak yang menjadi preman di Palembang sana, mungkin karena itulah kami dicap sebagai orang-orang yang kasar.”

Tegur Wangi Baru, desa yang saya tempati, terletak di kaki Gunung Dempo, gunung tertinggi di Sumatera Selatan, merupakan sebuah desa persilangan antara dunia tradisional dan dunia modern. Di satu sisi sebagian besar warga masih mandi dan mencuci di pancuran, berburu babi hutan, percaya bahwa patung-patung batu megalithik yang banyak terdapat di kota ini adalah manusia yang diubah jadi batu oleh tokoh legenda Sumatera Selatan, Si Pahit Lidah. Di sisi lain mereka memutar lagu Justin Bieber keras-keras setiap pertandingan voli di sore hari, mengakses internet lewat ponsel mereka, dan menonton drama Korea melalui parabola yang terpasang di sebagian besar rumah mereka. Desa ini seperti remaja tanggung yang sudah terlalu banyak tahu untuk disebut anak kecil, dan terlalu muda untuk disebut dewasa.

Saya tidak pernah menyukai kopi hitam sebelumnya, tapi kopi Pagar Alam benar-benar enak. Disini saya malah menjadi kecanduan kopi, semenjak setiap hari kami disuguhi kopi oleh siapapun yang kami kunjungi. Disini perkebunan kopi merupakan salah satu komoditas utama masyarakat. Siapa pun bisa membuat bubuk kopi disini. Dari mulai menanam, memanen, menggoreng, hingga menumbuk hampir semua dilakukan sendiri.  Kopi luwak yang sekarang menjadi barang mahal itu dulunya sama sekali tidak ada harganya untuk mereka. Apa yang mereka sebut sebagai “tahi musang” itu hanyalah benda yang hanya sewaktu-waktu mereka pungut untuk kemudian dipakai sebagai obat, dan lebih banyak berakhir sebagai sampah. Barulah beberapa tahun ke belakang ada harga yang disematkan kepada kotoran itu.

Sudah hampir tiga minggu saya berada disini, dan meskipun sudah banyak hal baru yang saya dapat disini, meskipun sudah cukup banyak hal menyenangkan yang saya alami, tetap saja saya belum menemukan sesuatu yang betul-betul bisa saya sebut sebagai ‘kesenangan’. Benar kata Umar Kayam, orang kota akan selalu mendambakan suasana desa dan orang desa akan selalu iri dengan gemerlap kota. Dan ketika orang kota pergi ke desa, atau orang desa pergi ke kota, mereka akan sama-sama merindukan tempat asal mereka.

Gunung Dempo
Jembatan bambu

Sore hari
Cughup (air terjun) Tujuh Kenangan

Kotoran luwak yang baru dijemur
Gambar di nisan, diperkirakan dari zaman Majapahit
Rumah batu, dari zaman megalithikum
Arca "Manusia Dililit Ular", dari zaman megalithikum

Sunday, July 10, 2011

sekat di antara hujan

Like a flower waiting to bloom
Like a light bulb in a dark room
I’m just sitting here waiting for you
To come home and turn me on
Hujan sudah reda sejam yang lalu, tapi selimut dingin yang dibawanya masih terasa sampai sekarang. Hujan, seperti juga manusia, akan meninggalkan jejak di manapun mereka singgah. Jejak yang tidak selalu sama masa berlaku dan efeknya. Karena seperti manusia, hujan juga senantiasa dimaknai lain oleh setiap orang yang mereka singgahi. Begitu juga sore ini, meskipun sudah lewat sejam, aku masih merasakan hujan di kepalaku. Walaupun sudah lewat setahun, aku masih merasakan kehadirannya dalam hatiku. Dia yang selalu senang mengajakku berlari diantara riak, dia yang selalu senang menatapku dari balik rintik.

Ini adalah enam puluh menit yang panjang. Masih tergenang di kepalaku setiap tetes hujan yang menandai detik-detik kerinduan. Mata, hidung, telinga, pipi, kening, ujung pundak hingga telapak kaki telah bersepakat dengan otak untuk memunculkan kembali gambar tentang dia. Ya, kali ini hujan membawaku ke alam rindu. Rindu yang didekap sepi, bagai tungku tanpa api. Ini jauh lebih buruk dari demam di musim kemarau. Matahari yang membuka terang setelah hujan dan sisa dingin yang diberikan oleh hujan, mengetuk keinginan untuk membalik waktu. Bagaimana semua begitu indah kala itu. Hujan, lihat apa yang telah kau perbuat kepadaku.

Bau tanah kemudian mengantarku ke bulan-bulan lalu. Saat sinar matahari menemani hati kita yang marah. Menemani teriakan kekesalan dan semua resah. Apa kamu ingat, saat semua jemari mu memaki wajahku? Menakutkan. Jejakmu hilang hanya dengan sebuah gerak jemari. Aku berlalu, melihat langit dan matahari seolah enggan pergi agar hujan tidak mendinginkan tubuhku yang gemetar ketakutan. Baiklah, itu sudah berlalu. Seperti dingin selimut ini yang juga akan segera berakhir seiring matahari mulai memperlihatkan keperkasaannya. Bagaimana pun aku tidak akan pernah berhenti merindukanmu, kecuali saat Tuhan menghapus hujan dari agenda kerja-Nya.

***
Like the desert waiting for the rain
Like a school kid waiting for the spring
I’m just sitting here waiting for you
To come home and turn me on
Hujan lagi, dan kenangan itu lagi. Aku masih saja belum menemukan jalan pulang. Tidak, bukan ‘belum menemukan’ sebenarnya, tapi aku masih terlalu takut untuk meniti kembali jalan itu. Setahun adalah waktu yang relatif, terlalu singkat untuk sebuah pelarian, dan terlalu lama untuk sebuah penantian.

Entah apa kabarnya sekarang. Entah apa yang dia rasakan sekarang. Entah apakah dia masih marah padaku, merindukanku, atau justru telah sama sekali melupakanku. Dia yang rambutnya selalu berkilau ketika kuajak berlari diantara riak, dia yang matanya selalu berbinar ketika kupandang dari balik rintik. Aku juga tidak tahu apa kabarnya kota kecil itu. Kota yang kutinggalkan setahun yang lalu, sepaket dengan dirinya.

Masih ada dalam surat-suratnya yang lusuh termakan waktu dan udara. Segala hal yang ia sukai dan apa yang selalu ia kagumi. Tentang wangi hujan, wangi tanah, dan tanganku yang besar. Apakah sekarang dia masih suka menanti hujan? Apakah dia menanti kembalinya aku menggenggam jemarinya yang kecil? Ah sepertinya kehidupannya sudah jauh lebih baik sekarang. Dia sekarang bisa menikmati hidupnya tanpa adanya emosi liar di siang hari. Membaca semua surat tanpa perlu khawatir ada yang ingin tahu. Dia sungguh bisa menikmati kopi paginya mulai saat ini, tanpa perlu peduli dengan siapa yang terlambat bangun hari itu.

Seperti biasa. Langit selalu menjadi lebih cerah setelah hujan. Angin selalu menjadi lebih sejuk. Dan dia selalu merasa lebih nyaman, setidaknya aku bisa memastikan itu.

Dan lihatlah aku sekarang, duduk menantang langit dengan tumpukan buku dan secangkir kopi yang beranjak dingin. Menghitung waktu dan membayangkan apa yang akan terjadi besok sudah bukan menjadi hal yang menyenangkan. Mimpi dan harapan yang termakan usia berubah usang dan terlupakan. Batu pun akan terkikis dalam penantian. Aku kembali menerawang sisa hujan, di  balkon, di atas lampu-lampu kota yang mencoba menenangkan manusia dalam balutan lelah, di atas atap-atap rumah yang melindungi para penghuninya dari ketakutan hari esok. Kemudian menghembuskan nafas panjang dan sedikit menitipkan rindu pada bulan yang mulai keluar dari perangainya. Untuk dia, paragraf yang pernah usai.

***
My Poor heart
It’s been so dark since you’ve  been gone
After all, you’re the one who turns me off
You’re the only one who can turn me back on
Sudah sejam hujan berlalu. Sudah setahun sebuah kisah terpaksa diakhiri. Sejam, setahun, sebuah relativitas absolut. Namun bagi dua orang ini, yang sama-sama menunggu dan sama-sama melarikan diri, yang terpisah ribuan kilometer, setiap detik terasa begitu menyayat, begitu lama, begitu mahir membuat hati meradang. Ah, andai mereka berdua sama-sama tahu bahwa mereka sama-sama masih menginginkan. Andai..
* lirik: Norah Jones-Turn Me On
** ditulis secara maraton bersama Dito dan Justin di tengah rutinitas KKN di Pagar Alam, Sumatera Selatan.