Wednesday, June 29, 2011

never give up!

Dua puluh delapan Juni, tiga puluh enam tahun yang lalu, di bukit Turgo, sekelompok mahasiswa Psikologi UGM yang hobi jalan-jalan, camping, dan bernyanyi di samping api unggun, memutuskan untuk memberi nama pada semangat yang menyatukan mereka untuk terus bermain dan belajar di alam. Mereka menamakan semangat itu Palapsi, Pecinta Alam Psikologi.

Hari ini, tiga puluh enam tahun kemudian, Palapsi berkembang menjadi sesuatu yang jauh dari yang pernah mereka bayangkan. Kelompok kecil remaja awalnya diniatkan untuk sekedar melepas penat di alam, kini berubah menjadi sebuah organisasi besar yang pernah menorehkan prestasi disana-sini. Kelompok yang kegiatannya adalah camping di Turgo dan Tawangmangu, berubah menjadi komunitas semi-profesional yang pernah melakukan ekspedisi ke luar negeri. Sebuah bara semangat kecil berubah menjadi laksana api unggun, terus membakar dan terus membesar.

***

Bulan-bulan pertama kuliah di UGM, saya menjalani kehidupan sebagai mahasiswa yang sama sekali tidak menarik, monoton: kampus-rental PS-rental film-warnet-kost, dan hampir selalu seperti itu. Barulah ketika pertengahan semester dua, saya diajak untuk melakukan kegiatan bersama Palapsi oleh seorang teman. Latihan orientasi medan bersama tim gunung di Turgo. Operasional pertama saya di Palapsi! Bukit Turgo, tempat dimana Palapsi memulai semuanya, begitu pula saya. Maka seperti orang yang baru pertama kali berkegiatan di alam lainnya, waktu itu juga saya mengalami euforia, minta difoto dengan background Merapi yang kebetulan sedang cerah. Gunung sakral yang beberapa bulan kemudian saya benar-benar ada di puncaknya, tentu saja bersama Palapsi.

Dari situ saya diajak mencoba caving. Pengalaman caving pertama saya seharusnya bisa membuat orang dengan fobia ketinggian seperti saya kapok untuk melakukannya lagi: tergantung pada tali kernmantel karena salah satu alat SRT saya tidak mengalami malfungsi selama sekitar setengah jam diatas ketinggian 20 meter (dulu saya menganggapnya itu sekitar 40 atau 50 meter saking takutnya). Tapi yang terjadi justru saya malah masuk semakin ke dalam, ke dalam goa, dan juga ke dalam Palapsi.

Selama hampir tiga tahun saya aktif sebagai anggota tim caving Palapsi, saya telah mengalami berbagai pengalaman yang ratusan kali lebih berharga untuk dikenang ketimbang main PS ataupun menonton film di kost. Dari mulai mendengar suara gamelan di dalam goa bekas pembantaian PKI di tengah malam, menyusuri goa-goa di hutan Nusakambangan selama lima hari, menemukan bangkai kambing yang terperosok dan sempat membuat heboh warga sekampung karena kami menyangka itu adalah mayat bayi, berada di dalam goa terpanjang se-Asia Tenggara selama dua hari tiga malam, sampai perasaan mencekam karena melihat tali kami hampir putus tergerus banjir dari luar. Semua itu sungguh tidak bisa digambarkan dengan sempurna, bahkan dengan foto terindah sekalipun.

Dan bukan hanya dalam caving, di dalam Palapsi sendiri saya telah mendapat amat banyak pengetahuan yang tak akan pernah saya dapat di bangku kuliah. Ilmu dari mulai manajemen organisasi sampai skoring psikotest, dari mulai mengemukakan pendapat secara asertif sampai membuat permainan outbound, dari mulai membuat api dari kayu yang basah sampai bermain truff, dari mulai memasak sampai menulis. Semuanya itu adalah mata kuliah paling menyenangkan yang pernah saya jalani.

Entahlah, saya kadang berpikir kenapa saya bisa betah berada di sebuah organisasi. Selama di Bandung, dari SD sampai SMA, saya selalu menjauhi hal-hal semacam ini. Organisasi, geng, perkumpulan, komunitas, apalah itu. Saya selalu merasa tidak nyaman jika berada di tengah orang banyak. Tapi semenjak kenal Palapsi, saya justru merasa tidak nyaman jika sehari saja tidak datang ke sekretariat. Lalu saya sadari jika ini bukan sekedar organisasi, Palapsi adalah keluarga saya, tempat dimana saya bisa melepas topeng dan benar-benar menjadi diri saya sendiri, tempat dimana saya bisa belajar apa saja dari siapa saja setiap harinya. Jika dulu saya sempat ragu untuk meninggalkan Bandung karena dia adalah zona nyaman saya, maka Palapsi telah membuat Jogja menjadi zona super nyaman saya.

Sudah lebih dari dua tahun saya menjadi pengurus di Palapsi, sudah banyak sekali peran yang saya lakukan disana. Dua hari lagi kepengurusan baru dilantik, dan saya otomatis tidak lagi menjadi pengurus. Saya akan menjadi senior yang hanya bisa menikmati Palapsi secara terbatas. Saya tidak akan lagi mengalami rapat-rapat yang panjang, evaluasi yang penuh dengan ketegangan, ataupun semangat menggebu khas anak muda untuk melakukan berbagai kegiatan, entah sebagai pemuas hasrat untuk berprestasi ataupun untuk pembuktian, pembuktian pada siapa pun bahwa Palapsi masih, dan akan tetap ada. Yah saya akan merindukan itu semua.

Selamat ulang tahun untuk Palapsi, selamat bermain dan belajar untuk teman-teman baru, avignam jagad samagram, semoga selamat alam semesta beserta isinya. Never give up!

Tuesday, June 7, 2011

death and all of his friends

Meskipun cerita-cerita fiksi yang saya tulis biasanya berbicara tentang tragedi dan kematian, dan meskipun nickname saya ada kata "mati"-nya, tapi sungguh saya sangat takut dengan kematian, saya takut mati. Entahlah, mungkin bukan matinya yang saya takutkan, tapi cara bagaimana saya akan mati yang selalu menghantui saya.

Kemarin saya menjenguk seorang teman yang habis melakukan operasi usus buntu di rumah sakit. Dia terbaring lemah di tempat tidur, tidak boleh bergerak terlalu banyak, selain karena itu akan memperlama penyembuhannya, juga karena tubuhnya terasa lemas sehingga untuk menggerak-gerakkan tangan saja sepertinya sulit sekali. Sebuah tabung berisi cairan yang selalu ada di rumah sakit tergantung di sampingnya dan terhubung ke tangannya melalui jarum infus. Dibawah tempat tidurnya tergantung sebuah tabung lain yang berisi urinenya yang terhubung dengan dirinya melalui selang kecil.

Terbaring di rumah sakit, opname, salah satu hal yang saya berharap tidak akan pernah saya alami. Saya seumur-umur belum pernah dirawat di rumah sakit, dan tidak akan pernah mau. Saya takut jarum suntik, dan membayangkannya menempel terus menerus di pergelangan tangan saya selalu membuat saya bergidik. Maka jika saya boleh memilih, saya tidak mau mati dalam keadaan terbaring begitu lama di rumah sakit dengan jarum-jarum yang menancap pada badan saya. Demi internet, membayangkannya saat ini sungguh membuat ngilu! Ouch! Berarti konsekuensinya adalah saya harus mulai menjalankan pola hidup sehat mulai sekarang. Dan berhubung belakangan ini dada saya sering terasa sakit dan panas, saya juga sepertinya harus segera berhenti merokok. Semoga tidak hanya berakhir sebagai wacana.

Sekali lagi, jika saya boleh memilih, saya akan memilih cara mati yang efisien dan efektif, mati yang begitu cepat sehingga saya tidak akan merasakan sakit. Seperti misalnya mati saat tidur, ketika bangun saya sudah berada di tempat lain (entahlah, akhirat mungkin, jika memang benar ada) misalnya, nah itu cukup menyenangkan untuk dibayangkan. Salah satu cara mati yang paling saya takutkan adalah mati tenggelam. Coba bayangkan kamu meronta-ronta dalam air karena tidak bisa bernafas, tapi kamu masih sadar dan menyadari kamu akan mati, dan waktu tiba-tiba menjadi sangat lambat. Kamu benar-benar merasakan penderitaan dengan segenap kesadaran ketika tubuhmu semakin lemah tanpa asupan oksigen, semakin lemah, semakin lemah, semakin sakit. Ah sial, mengerikan sekali!

Dan sebenarnya bukan hanya kematian saya sendiri yang sering menghantui saya, tapi juga kematian orang-orang sekitar saya. Menurut saya kehilangan karena kematian adalah kehilangan yang paling substansial, ketika orang terdekatmu pergi dalam arti sebenarnya, benar-benar pergi, bukan sekedar pergi untuk waktu yang lama tapi suatu hari pasti akan kembali. Belakangan ini saya sering bermimpi tentang kematian orang-orang sekitar saya, dan tentu saja itu semua berakhir sebagai mimpi buruk.

Ada satu hal menarik yang saya amati ketika ada orang yang mati. Ketika seseorang mati, segala perbuatan dan ucapannya beberapa waktu sebelum kematiaannya selalu disangkutkan dengan kematiaannya itu, orang-orang biasanya menyebutnya sebagai "pertanda". Dan jika saya dalam beberapa hari ke depan kebetulan mati, saya yakin tulisan ini akan disebut sebagai "pertanda", padahal saya sama sekali tidak memiliki firasat akan mati dekat-dekat ini. Ah biasalah, namanya juga manusia, selalu berusaha mencari makna, dan jika mereka tidak menemukannya, mereka akan membuatnya sendiri dan menyematkannya kepada segala hal yang mereka lihat.