Monday, April 22, 2013

My Top 6 Woody Allen Films

Perkenalan pertama saya dengan Woody Allen adalah ketika beberapa tahun yang lalu mas-mas penjaga Universal (rental film) merekomendasikan Cassandra's Dream waktu saya nanya, "judul apa yang paling pas buat mulai ngonsumsi film-filmnya Woody Allen?" Rekomendasi yang salah, karena menurut saya film itu jelek banget, bikin saya kapok buat nonton filmnya yang lain.

Baru beberapa tahun kemudian saya ditakdirkan untuk nonton filmnya yang "benar", Midnight in Paris, di acara nonton bareng di perpustakaan seorang kawan. Setelah malam itu saya bertekad untuk berburu film-filmnya yang lain. Sebuah tekad yang tak pernah saya sesali, karena sekarang saya benar-benar jatuh cinta pada Woody Allen.

Dari sekitar 40-an judul film (atau sekitar 70-an judul jika serial TV dan film TV ikut dihitung) yang ditulis dan/atau disutradarainya, saat ini baru ada 25 judul yang saya centang di akun icheckmovies saya. Maka sebenarnya kurang pas jika saya membuat daftar semacam ini, karena saya belum menonton semuanya. Tapi berhubung saya selo, inilah 6 film Woody Allen terbaik menurut saya (sejauh ini):

6. Oedipus Wrecks, dalam New York Stories (1989)
New York Stories adalah proyek film keroyokan yang dibuat oleh Francis Ford Coppola, Martin Scorsese, dan Woody Allen. Oedipus Wrecks, segmen yang ditulis dan disutradarai oleh Woody Allen adalah film pertama yang benar-benar membuat saya jatuh cinta padanya, sekaligus mengenalkan saya pada karakter neurotic yang selalu diperankan oleh Woody Allen sendiri yang muncul pada sebagian besar filmnya. Ceritanya tentang Sheldon, laki-laki neurotic yang suatu hari pergi ke pertunjukan sulap bersama ibu dan pacarnya. Si ibu diminta masuk ke dalam kotak ajaib oleh si pesulap di atas panggung, kemudian hilang secara misterius. Bahkan si pesulap pun tidak tahu ke mana perginya. Besoknya si ibu muncul sebagai bayangan raksasa di langit. Yang pertama muncul dalam kepala saya ketika melihat adegan itu adalah, "WTF? Cerita apaan nih?" Tapi lama-lama saya mulai menikmatinya, tertawa sepanjang film, dan tersenyum puas di akhir cerita. Besoknya saya nonton ulang, dan yakin kalau Woody Allen tu jenius.

5. Husbands and Wives (1992)
Banyak film yang membuat orang menjadi apatis terhadap hubungan romantis setelah menontonnya, tapi saya yakin tidak ada yang efeknya sebesar film ini. Dunia Husbands and Wives berputar di antara dua pasangan yang berteman sangat dekat, Gabe-Judy dan Jack-Sally. Di suatu hari yang cerah, tanpa tedeng aling-aling, Jack dan Sally tiba-tiba memutuskan untuk berpisah. Sebuah keputusan yang mengguncang dunia milik mereka berempat, karena berbagai masalah yang selama ini dipendam dengan rapi tiba-tiba keluar secara serempak. Ditambah dengan hadirnya tokoh-tokoh yang membuat pertanyaan-pertanyaan semacam "apakah aku bahagia menikah dengannya?" semakin sering berdengung di kepala. Dari tema dan cerita yang sederhana ini Woody Allen seolah ingin berkata bahwa kegelisahan yang dirasakan oleh pasangan ketika menjalani kehidupan pasca-pernikahan adalah hal yang wajar, atau bahkan sebuah keniscayaan. Kenapa saya memasukkan film pesimistis ini ke dalam daftar ini? Sederhana, karena mungkin ini adalah film paling jujur yang pernah saya tonton.

4. Match Point (2005)
Woody Allen pernah ditanya, dari semua film yang pernah dia buat, mana yang paling disukainya. The Purple Rose of Cairo, Bullets Over Broadway, dan Vicky Cristina Barcelona adalah beberapa di antaranya. Tapi konon, dari semuanya yang paling dia suka adalah Match Point. Film ini adalah satu dari sebagian kecil film Woody Allen yang bernuansa gelap, serius, sekaligus satir di waktu yang sama. Keserakahan dan ketidakpuasan (atau meminjam istilah Woody Allen: chronic dissatisfaction) yang membayangi kepala manusia menjadi tema yang kuat di sini. Bercerita tentang seorang petenis profesional yang hijrah ke London, menjadi pelatih pribadi, kemudian jatuh cinta pada tunangan temannya sendiri. Di awal film, ada analogi tentang bola tenis yang tepat menyentuh net ketika dipukul. Apakah bola itu kemudian akan jatuh ke sisi lawan atau malah kembali ke sisi si pemukul sangat bergantung pada keberuntungan. Di akhir film, analogi itu diterjemahkan dengan begitu apik! Film ini punya cerita dan dialog yang kuat. Akting para pemainnya juga bagus, terutama Scarlett Johansson. Tapi tetap saja, menurut saya bagian terbaik dari film ini adalah endingnya, sebuah twist yang merupakan muara dari segala kekacauan dan konflik dari tokoh-tokoh di dalamnya.

3. Sweet and Lowdown (1999)
Saya suka banget aktingnya Sean Penn di sini. Bahkan secara pribadi, saya menganggap aktingnya di I Am Sam yang fantastis itu masih kalah membekas dibanding aktingnya di sini. Sean Penn berperan sebagai Emmet Ray, seorang gitaris legendaris yang hidup pada tahun 1930-an. Emmet Ray menganggap dirinya adalah gitaris terhebat nomor dua di dunia. Nomor satunya adalah seorang gipsi dari Prancis bernama Django Reinhardt (ini tokoh nyata), orang yang mampu membuat Emmet pingsan setiap kali melihatnya bermain gitar. Emmet tidak pernah mau terikat dengan wanita atau hal-hal duniawi lainnya karena menurutnya seniman tidak membutuhkan itu semua. Hal itu yang membuat dirinya menjadi sosok yang arogan, angkuh, dan nyaris tidak memiliki emosi. Tapi perlahan Emmet merasakan perlahan ada yang berubah dalam dirinya setelah dia menjalin hubungan yang intens dengan Hattie, seorang perempuan bisu dengan kecerdasan yang cukup rendah. Yang menarik adalah, dengan skill bermain gitarnya yang tak pernah diragukan oleh siapa pun, Emmet menyadari ada satu yang kurang pada musiknya: kehadiran emosi. Entah mengapa, sosok Emmet Ray mengingatkan saya pada karakter Ian Curtis di film Control.

2. Zelig (1983)
Jika ada film yang membuat saya menyesal kenapa tidak menontonnya saat masih kuliah, itu adalah Zelig!. Dalam sebuah wawancara, Woody Allen pernah melabeli dirinya sebagai "Militant Freudian Atheist", dan film ini menegaskan pernyataan itu. Woody Allen adalah seorang Freudian sejati! Film ini adalah sebuah "dokumenter" tentang tokoh fiktif bernama Leonard Zelig (Woody Allen), seorang laki-laki misterius yang dijuluki sebagai 'manusia bunglon' karena kemampuannya untuk beradaptasi secara instan dengan lingkungannya, termasuk secara fisik. Jika berada di tengah musisi jazz berkulit hitam, dia akan berubah menjadi negro yang jago bermain saksofon. Jika berada di tengah sekumpulan Yahudi bertubuh tambun, dia akan segera berubah menjadi rabbi obesitas. Film ini menjadi menarik ketika hadir tokoh bernama Dr. Eudora Nesbitt, seorang psikiater yang tertarik untuk meneliti kasus si manusia bunglon. Dr. Eudora menggunakan teknik-teknik psikoanalisa dalam psikoterapinya. Melibatkan alam bawah sadar, hipnotis, asosiasi bebas, dll. Sungguh sebuah kuliah psikologi paling menyenangkan yang pernah saya tonton. Jika suatu hari saya jadi dosen psikologi, saya akan bilang begini kepada mahasiswa saya: "Lupakan A Beautiful Mind, lupakan Identity, lupakan Running with Scissors, mulai sekarang kalian saya wajibkan nonton Zelig!"

1. Stardust Memories (1980)
Ini adalah salah satu film favorit saya sepanjang masa! Yang bisa mengalahkan pesonanya di mata saya mungkin hanya Star Wars. Woody Allen selalu bilang bahwa dia sangat mengidolakan Federico Fellini, sutradara jenius asal Itali yang membuat , film yang susah banget saya cerna walau sudah nonton berkali-kali. Stardust Memories bercerita tentang Sandy Bates (yang diperankan oleh... Woody Allen. Siapa lagi?), seorang sutradara yang tidak mau lagi membuat film komedi setelah teman baiknya meninggal. Kematian temannya itu bukan hanya membuatnya sangat down, tapi juga menjadi titik balik dalam hidupnya di mana dia mempertanyakan kembali arti hidupnya dan semua film yang telah dia buat. Berhubung Woody Allen sendiri bilang film ini bisa dibilang semacam tribute kepada , ada banyak referensi dari film itu yang bakal kita temui di sini. Hitam-putih, tokoh utama seorang sutradara, dan visualisasi mimpi serta cuplikan-cuplikan film absurd si sutradara yang kerap dimunculkan adalah beberapa di antaranya. Meskipun Woody Allen dengan rendah hati bilang Stardust Memories tu 4, atau dengan kata lain, tidak sampai setengahnya jika dibandingkan dengan 8½, di mata saya film ini berada di level sempurna.

Friday, April 19, 2013

bus malam

“Anda mau ke mana?” tanya kondektur.
“Ke barat.”
“Tapi bus ini tidak menuju barat.”
“Ya sudah, ke timur saja.”
“Tidak ke timur juga.”
“Utara?”
“Tidak.”
“Selatan?”
Sang kondektur menggeleng.
“Lalu ke mana?” tanyaku.
“Ke atas.”
“Ke atas?”
“Ya, ke atas.”
“Ke arah bukit?”
“Bukan, lebih tinggi lagi."
"Puncak gunung?"
"Jauh lebih tinggi lagi."
"Ke mana sih? Bulan?"
"Ya, tidak jauh lah dari situ."
"Terserah deh. Saya ikut ke mana saja."
"Sudah punya tiket?"
"Belum, tadi saya tidak sempat beli. Bayar di sini saja ya? Berapa harganya?"
"Tidak pakai uang, Tuan."
"Lantas?"
Sang kondektur tersenyum sambil menunjuk dadanya. Pintu tertutup secara otomatis, perlahan bus mulai merangkak. Seketika aku merasa hatiku begitu... damai. Eh bukan, bukan damai, kosong lebih tepatnya.
"Selamat menikmati perjalanan, Tuan..."

Monday, April 8, 2013

Negeri Berdebu III: Epilog?

Sebenarnya masih sangat banyak yang ingin saya ceritakan tentang tanah Arab, tetapi tiba-tiba saya kehilangan mood untuk menuliskannya. Maka untuk menutup rangkaian tulisan tentang Negeri Berdebu yang prematur ini, biarkan foto-foto ini saja yang menggantikan saya bercerita. Salam.


















*Beberapa dari foto di atas juga ada di sini.