Tuesday, May 31, 2011

the blues are still blue

"So, this is it?"
"Yea, this is it."
"It's a farewell?"
"Kind of."

Then i checked the calendar, and realized that life is surely just a comedy, a gigantic catastrophic black comedy.

Wednesday, May 25, 2011

love is a trap

Piring telah kosong, gelas hanya tinggal menyisakan air dari lelehan es batu yang tercampur dengan sedikit teh. Sudah hampir satu jam kami berada di sana, tapi belum tampak akan beranjak. Asbak yang tadinya saya niatkan hanya akan terjamah oleh satu-dua batang rokok setelah makan, kini telah terisi oleh tujuh puntung bekas, dan akan terus bertambah, karena pembicaraan ini mengalir semakin dalam.

Diawali dari kami yang berbagi kisah tentang masa-masa galau (sial! akhirnya saya harus menggunakan kata ini) yang kebetulan pernah sama-sama kami alami hampir dua tahun yang lalu. Masa-masa yang pernah membuat saya (dan mungkin juga dia) merasakan titik terendah dalam hidup. Titik di mana kehampaan tiba-tiba bernyawa, titik di mana kesendirian mendadak menjadi terasa pekat, titik di mana semua harapan dan kata-kata motivasi terdengar seperti omong kosong terhebat sepanjang masa. Sebuah titik yang sukses mengubah total konsepsi saya tentang hubungan romantis dan komitmen, membuat saya amat sinis akan hal-hal semacam itu bahkan sampai sekarang.

Setelah melewati fase itu, kami yang sebelumnya telah saling kenal tapi tak pernah 'kenal', menjadi semakin dekat sebagai teman baik. Dia adalah orang yang bisa saya ceritakan segala hal tentang diri saya tanpa saya harus repot memakai topeng, dan tidak banyak orang semacam itu dalam hidup saya. Dia adalah orang yang selalu mau mendengar segala isi kepala saya yang kadang saya sendiri tidak mengerti apa yang saya bicarakan, dan entah apakah dia mengerti atau tidak.
"Aku bayangin, suatu hari ketika kita udah sama-sama tua, pikiran kita tentang pernikahan udah sama-sama melunak, dan masing-masing dari kita ngerasa harus nikah, cerita kita bakal mirip sama My Best Friend's Wedding," kata saya sambil memainkan rokok.
"Maksudnya?"
"Misalnya nanti kamu bakal nikah sama seseorang yang baru kamu kenal, terus aku bakal mikir 'anjis, itu orang baru dateng ke kehidupanmu, tahu apa sih dia tentang kamu sampe kamu harus nikah sama dia?' sementara aku hanya temen kamu dan ga bisa ngapa-ngapain. Atau coba bayangin sebaliknya, bayangin kamu yang ngerasain kayak gitu. Sucks banget kan..."
"Hehe, iya ya..."
Saya kembali menyalakan rokok. Bungkusnya sekarang tinggal berisi satu batang.
"Aku selalu takut suka sama temen deketku, makanya aku pernah sengaja ngejauh dari kamu, berusaha nge-repress perasaan yang kemungkinan muncul."
"Terus hasilnya?" tanya saya.
"Malah ngerasa goblok, ngapain juga harus kayak gitu."
"Iya, emang goblok."
"Haha."
Diam agak lama, sebelum saya menyalakan rokok terakhir.
"Kamu tahu cinta platonik?" tanya saya.
"Apa itu?"
"Sebuah perasaan yang tulus, di mana ketertarikan bukan didasari oleh hasrat seksual atau hal-hal semacamnya. Seperti perasaan orangtua ke anaknya, adik ke kakaknya, dan lain-lain. Dan itu yang selama ini aku rasain ke kamu."
"Ha?"
"Atau kalau kata 'cinta' tu terlalu menjijikkan diganti aja deh sama apa gitu, pokoknya intinya gitu."
Sekarang rokok saya sudah habis, tempat makan ini akan segera tutup, dan itu berarti kami harus segera pulang.

the spinning top made a sound like a train across the valley,
fading, oh so quiet but constant 'til it passed,
over the ridge into the distances,
written on your ticket to remind you where to stop,
and when to get off

-The Bulid Up, Kings of Convenience

Thursday, May 19, 2011

balada teknologi

"The real problem is not whether machines think but whether men do."
-B.F. Skinner 
Dibalik setiap ketidaksukaan saya terhadap peradaban manusia yang menempatkan dirinya di puncak hirarki makhluk hidup secara absolut, sebenarnya saya bersyukur dilahirkan sebagai manusia. Manusia adalah entitas yang luar biasa, mereka mampu melepaskan diri dari beberapa hukum alam dan tidak pernah berhenti berkreasi.

Teknologi, adalah satu hal yang akan menjadi ciri khas planet Bumi ketika kelak terjadi sesuatu yang membuat seluruh penghuni planet ini musnah. Dan meskipun teknologi dirancang diatas ego manusia yang super besar dan membuat planet ini tergerus setiap harinya, toh saya tetap bangga bahwa yang merancang dan membuat itu semua adalah makhluk yang sama dengan saya, manusia.

Ketika berbicara tentang teknologi, mau tidak mau potongan-potongan film The Matrix berkelebat dalam kepala saya. Bukan, bukan bagian dimana datang seorang manusia terpilih untuk menyelamatkan dunia, karena kisah semacam bisa ditemukan dimanapun. Tapi bagian dimana teknologi semakin lama semakin kuat dan pintar untuk bisa mengambil alih kekuasaan dari manusia. Konsep itu sangat mengerikan, karena saya rasa itu sama sekali tidak mustahil untuk terjadi.

Teknologi telah membuat manusia ikut terinovasi bersamanya. Ketika teknologi berubah, manusia juga ikut berubah. Betapa manusia hari ini telah begitu menggantungkan hidupnya pada teknologi adalah kenyataan yang tak terbantahkan.

Satu contoh, telepon seluler. Saya sungguh tidak habis pikir bagaimana orang-orang bisa menjalani hidup mereka dengan lancar sebelum ada ponsel. Maksud saya, hari ini ketika setiap orang sudah memiliki ponsel saja kadang masih ada miskomunikasi yang terjadi. Misalnya ketika membuat janji untuk bertemu dengan seseorang, dengan adanya ponsel saja hal-hal semacam tidak menemukan orang yang dicari masih bisa terjadi, apalagi dengan tidak adanya ponsel. Lalu saya teringat dengan kata-kata seorang perempuan yang saya temui di kereta suatu hari:
"Nyadar gak kalo HP tu bikin rasa percaya kita sama orang lain jadi semakin rendah? Dulu aku inget, ketika janjian sama orang di tempat A jam segini, ya harus tepat jam segini atau bahkan sebelumnya harus udah ada disana. Tapi semenjak ada HP, orang jadi ngegampangin, jadi mikir ah ad HP ini, kalo telat tinggal SMS. Jadi dulu tu alat komunikasi kita adalah rasa percaya."
Nah itulah apa yang saya maksud dengan berubah.

Kemudian ada internet. Dia adalah pembaharu yang sukses mengubah pola hidup manusia, terutama kehidupan sosial. Situs jejaring sosial telah berhasil memindahkan aksi, reaksi, dan interaksi ke dalam layar datar. Pernah saya bertanya kepada seorang teman "Eh kira-kira dulu sebelum ada internet, gimana cara orang berkatarsis ya?", "Hmm kirim salam lewat radio mungkin." jawabnya. Sebuah pertanyaan yang hanya bisa keluar dari produk generasi yang telah begitu dimanjakan oleh teknologi.

Apa lagi ya? Oh iya, televisi! Televisi, saya sungguh tidak mengerti mengapa benda persegi itu bisa begitu diidolakan oleh masyarakat secara masif. Semenjak yang saya tahu isinya cuma sinetron, infotainment, dan reality show yang tidak real. Reality show yang tidak real, kenapa juga harus menambahkan konflik dan sebagainya ke dalam sebuah tayangan yang seharusnya menjadi cerminan kehidupan nyata itu? Apakah kehidupan nyata begitu tidak menarik sehingga harus dipoles sedemikian rupa agar menarik untuk ditonton? Entahlah, yang jelas saya mengamini pendapat seorang teman, bahwa tidak pernah ada yang nyata di televisi.

Jika pulang ke Bandung, saya juga sering dibuat bingung jika keponakan-keponakan saya yang masih kecil itu fasih menirukan gaya bicara Sule ataupun karakter dalam sitkom Suami-Suami Takut Istri. Sesuatu yang aneh karena baik Sule maupun siapa pun itu dalam Suami-Suami Takut Istri bukanlah contoh yang baik untuk ditiru oleh anak kecil, dan sialnya para orang tua merekalah yang telah begitu bijaksana mengajak mereka menyaksikan acara-acara tersebut.

Jika kelak saya punya anak (sesuatu yang hanya ada dalam mimpi terliar saya), saya akan membanjiri pikirannya dengan buku-buku alih-alih dengan televisi. Dan kalaupun terpaksa menonton televisi, saya hanya akan memperbolehkannya menonton South Park, tontonan yang setidaknya saya juga bisa bersama menikmatinya.

Sunday, May 15, 2011

get lost: Solo!

Kesal karena tidak jadi pulang ke Bandung gara-gara kehabisan tiket, saya mengajak teman saya si Coco pergi ke suatu tempat yang agak jauh.
"Ke Solo yo, Co!"
"Tapi aku buta Solo e.."
"Sama aku juga, get lost wae!"
"Yo wes ayo."
Akhirnya berbekal pengetahuan yang sama sekali minim tentang kota itu, kami naik Pramex jam setengah 11 setelah lari-lari hampir ketinggalan.

Turun di Stasiun Balapan, barulah sadar tidak tahu mau kemana. Kami bertanya ke ibu-ibu warung dekat stasiun kemana arah ke Ngarsopuro (satu-satunya nama tempat yang diingat Coco), "Oh jalan aja terus ke selatan, dekat kok.."

Harusnya saya waspada pada definisi jauh-dekat orang Jawa, karena pengalaman caving di Gunung Kidul menunjukkan bahwa goa yang "hanya terletak di belakang rumah" menurut penduduk setempat berarti jalan kaki hampir satu jam. Dan ternyata di Solo "dekat" juga tidak dekat. Karena lapar, kami menghampiri sebuah warung soto.

Dari mas-mas pelanggan soto, akhirnya kami mendapat petunjuk untuk menuju museum Radya Pustaka. Di perjalanan saya melihat bahwa Solo itu peduli dengan para pengendara sepeda karena mencantumkan gambarnya di lampu lalu-litas. Apa di Jogja juga ada ya? Entah, saya tidak tahu, atau mungkin karena saya tidak pernah berjalan kaki di Jogja sehingga tidak pernah memperhatikan.

Kami naik jembatan penyeberangan (sesuatu yang belum pernah saya lakukan di Jogja).

Sampai di museum, kami melihat benda-benda keren seperti ini,

atau ini,

 dan ini.

Setelah itu kami minum es cincau yang enak dan murah di depan museum.

Yang saya tahu dari teman saya, pasar klithikan Solo itu oke dan barangnya bagus-bagus, maka kami memutuskan kesana walaupun harus tampak seperti turis karena naik becak dan membayar 20 ribu (sungguh ini sangat terpaksa karena jika harus berjalan katanya sangat jauh dan tidak ada lagi kendaraan umum yang menuju kesana.)

Dengan segala ekspektasi berlebih, kami dibuat sangat kecewa karena pasar klithikan Solo yang bernama Pasar Silir ternyata sangat sucks! Pertama, karena di sekitar sampah banyak sekali kambing yang berkeliaran memakan sampah. (oke ini memang sebuah alasan yang naif untuk membenci sebuah pasar, tapi alasan kedua mungkin akan terasa lebih logis)

Kedua, karena di pasar ini isinya hanya onderdil motor, onderdil mobil, barang elektronik, dan onderdil lagi, dan barang elektronik lagi, dan onderdil lagi, dan barang elektronik lagi, begitu seterusnya. Barang-barang yang dijual disini adalah barang-barang berguna dan penting. Jauh berbeda dengan pasar klithikan Jogja yang isinya adalah barang-barang tidak berguna dan tidak penting, tapi justru itulah yang membuat pasar klithikan Jogja terasa lebih menyenangkan. 

Disini kami hanya menemukan satu kios yang menjual barang-barang semacam ini, sesuatu yang bertebaran dimana-mana di pasar klithikan Jogja.

Karena kecewa, akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja. Kami berjalan kaki lagi menuju pertigaan dan menunggu angkot disitu.

Kami duduk lama di pertigaan sebelum akhirnya sadar ternyata angkot kami tidak lewat situ, dan (lagi-lagi) jalan kaki menuju perempatan dan (thanks God!) dapat angkot.

Akhirnya kami sampai di Stasiun Balapan lagi, menunggu Pramex berikutnya yang masih satu setengah jam lagi dengan membaca novel, tidur, dan menonton sebuah orkes musik yang apik dari para pegawai KA.

Sekitar jam tujuh lebih kami sampai di Jogja, misi get lost yang sukses, dan bikin capek!

ps: mungkin disini terasa sangat singkat, tapi perjalanan aslinya terjadi dalam sekitar enam jam, dan dua pertiga durasinya kami isi dengan berjalan kaki.

Thursday, May 12, 2011

unlocked

"Kamu masih menyimpan kunci-kunci ini?"
"Iya, karena aku masih ingat kata-katamu. Jika aku membuang mereka, pintu-pintu itu akan tertutup untuk selamanya."
"Tapi walaupun kunci-kunci ini masih ada, belum tentu pintu-pintu itu akan terbuka."
"Memang. Bahkan meskipun pintunya terbuka, belum tentu orang yang kamu cari masih ada disana."
-My Blueberry Night

Monday, May 9, 2011

we are the future!

Malam Minggu kemarin saya melakukan hal yang tidak biasa saya lakukan pada malam Minggu selain masuk goa dan tidur di kost: datang ke gig. Bertempat di Pondok Laras, Jakal atas, judul acaranya Awake. Tujuan awal saya datang adalah untuk melihat band teman saya Dito, Wicked Suffer, yang setelah sekian lama akhirnya saya bisa lihat untuk pertama kalinya.

Sembari hujan-hujanan bersama dua teman, saya datang pada sepertiga waktu terakhir. Dari 17 band yang main malam itu, saya hanya kebagian melihat 5 band. Dan setelah saya pikir, ternyata motivasi saya untuk datang kesana bukan hanya untuk melihat band teman saya itu, ada hasrat yang selama ini ditekan dalam alam bawah sadar saya yang begitu ada momen bisa mendadak keluar untuk dipuaskan; hasrat untuk datang ke gig!

Saya jadi ingat, ketika SMA saya tidak pernah absen untuk menonton acara beginian. Setiap ada gig dimanapun di Bandung saya selalu berusaha untuk datang, dari Dago Tea House sampai Piset, dari AACC sampai kampus-kampus. Dan saya beruntung sempat merasakan gedung Saparua yang legendaris itu beberapa kali.

Bisa dipastikan, setiap akhir pekan saya jarang berada di rumah, entah itu karena pulang malam, pulang subuh, atau tidak pulang sama sekali. Membawa badan yang pegal-pegal, gusi berdarah, hidung ngilu, dan entah cidera apalagi yang saya dapatkan dari semalaman menenggelamkan diri dalam moshpit.

Ketika kuliah di Jogja, saya hanya sempat beberapa kali datang ke gig. Bahkan setelah saya ingat-ingat, yang terakhir adalah ketika saya menonton Siksa Kubur di UNY, dan itu sudah lebih dari dua tahun yang lalu. Keputusan saya untuk aktif berorganisasi membuat saya tidak mempunyai waktu untuk melakukan hal lain selain masuk goa setiap akhir pekan dan rapat di hari lain. Tapi toh itu semua adalah konsekuensi yang sudah siap saya tanggung dari pilihan saya, karena konsekuensi datang satu paket dengan pilihan, begitu kata kakak saya.

Maka begitulah, malam minggu kemarin saya seperti mengalami regresi. Saya merasa seperti ditarik kembali ke masa-masa SMA, teriakan-teriakan, bau alkohol dan keringat dimana-mana, orang-orang yang seperti trance, tapi bedanya kali ini saya hanya menikmati dari jauh. Bukannya saya tidak ingin menikmati lebih jauh dengan bergabung ke dalam kerumunan tanpa personal-space itu, tapi justru saya sedang menikmati dengan cara yang berbeda. Saya berusaha meresap semua atmosfir ini ke dalam diri saya, begitu meresap sehingga saya sampai merinding.

Mungkin suatu saat ketika ketakutan saya akan membosankannya menjadi tua terbukti, saya akan sering-sering datang ke gigs. Karena disana usia menjadi identitas yang tak lagi penting. Disana berkumpul orang-orang yang menolak tua, dan yang paling penting, disana saya mempunyai kesempatan untuk regresi kembali ke masa remaja. Panjang umur masa muda, panjang umur masyarakat subkultur!

Aku tak akan pernah beranjak
Aku tak akan berubah
Aku tak akan mau dewasa,
Bila dewasa sepertimu aku tak mau

-Puppen

Free At Last, Bandung, Agustus 2006.

Monday, May 2, 2011

un día triste

Ada yang bilang, ketika kita berdoa, doa-doa kita ikut terangkat bersama butiran-butiran air.
Dan ketika hujan, jawaban dari setiap doa kita menyusup ke dalam setiap butir air dengan amat misterius.
Jadi apakah respon dari langit akan berpengaruh terhadap diri kita atau tidak bergantung pada kemampuan kita untuk menengok setiap butir air dengan hati-hati atau hanya membiarkannya menghujam tanah dan meresap jauh ke bawah.

Belakangan ini hujan, belakangan ini jawaban-jawaban dari setiap doa berhamburan sembari terjun bebas, dan belakangan ini mereka semua hanya berakhir sebagai genangan yang disumpahi setiap pengendara.
"aku akan pergi ke tempat yang lain dari sini
ke waktu yang bukan hari ini
melihat apa yang akan terjadi
akan kutemui wajah wajah asing tanah ini
ku akan pergi saat hujan reda
walaupun lama pasti reda juga"
-Lagu Hujan, Koil