Wednesday, May 29, 2013

Purnamasidhi

Untuk menyambut Hari Raya Waisak pada tahun 1978, Romo Sindhunata menulis feature yang berjudul "Bulan Datang dan Tersenyum". Dalam tulisannya itu Sindhunata bercerita tentang Mbok Miji, seorang perempuan sepuh yang ia temui di antara iring-iringan yang sedang bergerak dari Candi Pawon menuju Candi Mendut. Alih-alih bergabung dalam iring-iringan, Mbok Miji memilih untuk mengambil jarak dan berjalan terpisah darinya. Alasannya sangat lugu: karena beliau merasa tidak pantas berada di tengah rombongan megah yang penuh dengan orang kota tersebut.

Diceritakan oleh Sindhunata, hari itu langit mendung seharian. Gerimis menemani langkah iring-iringan. Ketika iring-iringan telah sampai di Candi Mendut dan berbagai ritual Waisak telah dilakukan, gerimis serta-merta berubah menjadi hujan deras. Banyak di antara rombongan yang meninggalkan pelataran upacara. Ada yang sekedar mencari tempat berteduh, ada yang kembali ke penginapan terdekat, dan bahkan ada yang kembali ke kota masing-masing. Tapi tidak dengan Mbok Miji. Perempuan sepuh itu tidak bergerak sedikit pun dari posisinya semula.

Melihat hal tersebut, sang romo bertanya kepada Mbok Miji kenapa beliau tidak ikut pulang seperti rombongan yang lain. Mbok Miji menatapnya sambil tersenyum. Dengan Bahasa Jawa kromo, Mbok Miji menjelaskan bahwa beliau sedang menunggu purnama. Beliau sangat yakin purnama akan datang sebentar lagi, tak peduli sederas apa hujan yang turun saat itu. Baginya, purnama adalah "puncak acara" dari Hari Waisak, sehingga alam semesta akan bekerja sekuat tenaga untuk menghadirkannya di hari yang suci itu.

Hujan semakin deras, dan orang-orang semakin banyak yang meninggalkan lokasi. Sepertinya sudah tidak ada harapan sama sekali purnama akan muncul. Di saat orang-orang mendesah, Mbok Miji tetap tersenyum sambil menengadah ke langit. Hujan mulai reda. Langit mulai cerah. Ada sesuatu yang bersinar di atas sana. Benda itu hanya terlihat sedikit. Muncul sedikit lagi, sedikit lagi, kemudian semakin terlihat jelas. Purnama benar-benar muncul, bulat sempurna, sinarnya membanjiri Candi Mendut dengan syahdu.

***

35 tahun kemudian, saya dengan baju yang basah kuyup akhirnya berhasil keluar dari kompleks Candi Borobudur yang super luas itu. Tepat di pintu keluar saya berpapasan dengan sekelompok ibu-ibu tua yang saling bergandengan tangan. Mereka tampak kebingungan. Mungkin mencari kendaraan umum, atau mungkin mencari rombongan lain yang terpisah. Melihat mereka saya langsung teringat Mbok Miji. Jenis manusia sederhana yang hanya memiliki satu tujuan sederhana ketika menghadiri acara keagamaan: untuk beribadah. Mereka yang sambil tersenyum berbondong-bondong datang ke Borobudur untuk bertemu Tuhan, meskipun karpet yang seharusnya menjadi tempat mereka bersimpuh diinjak-injak dan dikotori oleh para turis. Mereka yang dengan khusyuk mendengarkan para biksu melantunkan doa, meskipun para turis asyik tertawa-tawa, bersorak, bernyanyi, bahkan mengumpat dengan enaknya. Mereka yang menghormati para biksu dengan sepenuh hati, meskipun, lagi-lagi, para turis dengan angkuhnya mengotori altar sambil menodongkan lensa dan lampu blitz ke wajah para biksu yang sedang berusaha berkonsentrasi.

Pada Hari Waisak tahun ini tidak ada tanda hujan bakal reda, dan dalam hati saya bersyukur untuk itu. Alam semesta sedang menjalankan skenarionya untuk mengembalikan kesucian Waisak di Borobudur dari gangguan bakteri-bakteri yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Semoga tahun depan para turis yang hanya peduli dengan lampion kapok untuk datang kembali. Semoga umat Buddha dapat merasakan kembali kedamaian dan kesyahduan di Hari Waisak yang telah direnggut dengan begitu sadisnya tahun ini. Dan, ini doa yang paling berat, semoga sikap saling menghormati tidak hanya ada di buku PPKn. Amin.

the awkward truth #8

"People always end up the way they started out. No one ever changes. They think they do but they don't. If you're the depressed type now that's the way you'll always be. If you're the mindless happy type now, that's the way you'll be when you grow up. You might lose some weight, your face may clear up, get a body tan, breast enlargement, a sex change, it makes no difference. Whether you're 13 or 50, you will always be the same."
-Mark Wiener, Palindromes

Tuesday, May 21, 2013

Hyperballad

We live on a mountain
Right at the top
There's a beautiful view
From the top of the mountain
Every morning I walk towards the edge
And throw little things off
Like car-parts, bottles and cutlery
or whatever I find lying around
It's become a habit
A way to start the day

I go through all this
Before you wake me up
So I can feel happier
To be safe up here with you
 

It's real early morning
No one is awake
I'm back at my cliff
Still throwing things off
I listen to the sounds they make
On their way down
I follow with my eyes 'til they crash
I imagine what my body would sound like
Slamming against those rocks
and when it lands
Will my eyes
Be closed or open?

I go through all this
Before you wake me up
So I can feel happier
To be safe up here with you

***

Saya bukan penggemar Björk, jadi hanya tahu beberapa lagunya, dan Hyper-Ballad (atau Hyperballad, saya lebih suka menulisnya begitu) bukanlah salah satunya. Makanya ketika pertama kali mendengarkan Mocca membawakan lagu ini di album Colours, saya tidak tahu kalau itu adalah cover version. Meskipun saya curiga karena sangat tidak biasanya Mocca menulis lirik seganjil dan sekelam itu.

Saya pernah membahas lagu ini bersama pacar saya. Waktu itu dia menganggap liriknya bercerita tentang bunuh diri, sementara saya merasa ada pesan yang lebih samar dalam liriknya, lebih dari sekedar bunuh diri. Tapi karena saya tidak bisa menebak lebih jauh, akhirnya saat itu saya sepakat saja.

Dari semua musisi yang meng-cover lagu ini, dari mulai Yeah Yeah Yeahs, Dirty Projectors, The Twilight Singers, sampai Big Heavy Stuff, menurut saya versi Mocca adalah yang paling pas. Semua musisi yang pernah membawakan lagu ini membawakannya dengan ceria (persis seperti versi aslinya), dan hanya dalam versi Mocca-lah saya mendengarkan kegetiran terselip di dalamnya.

Dua hari yang lalu Mocca manggung di Jogja. Malam itu saya beberapa kali berdoa (dalam arti sebenarnya) agar mereka membawakan Hyperballad. Entah berkat doa saya atau bukan, mereka betulan membawakan lagu itu! Sebelum nyanyi, Arina sempat ngomong begini, "Waktu pertama kali dengerin lagu ini saya gak tahu ini lagunya tentang apa, setelah saya nyanyiin akhirnya saya tahu, ooh begitu toh maksudnya..." Saya dan pacar saya saling bertatapan penuh arti, kemudian kami berusaha mendengarkan musik dan liriknya sekhusyuk mungkin.

Di tengah-tengah lagu pacar saya dengan semangatnya bilang kalau dia akhirnya tahu artinya. Menurutnya lagu itu bercerita tentang seseorang yang harus melewati berbagai fase yang melelahkan sekaligus mengerikan untuk bisa bahagia bersama seseorang yang dicintainya. Dan tidak bisa tidak, dia harus melewati semua fase itu dulu. Bukan pilihan, tapi keharusan. Semacam harus melewati badai super ganas dulu sebelum bisa mencapai perairan yang tenang menuju gugusan pulau berpasir putih yang hangat. Menurut saya itu agak klise.

Akhirnya saya melakukan perbuatan khas masyarakat modern ketika penasaran dengan sesuatu: googling! Ada banyak interpretasi tentang lagu ini di internet. Ada yang mengatakan lagu ini bercerita tentang hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan dan alam semesta, ada yang mengartikan "gunung" dalam liriknya sebagai simbol dari ego manusia, bahkan ada yang menghubungkannya dengan keadaan high yang dialami seseorang setelah mengisap ganja. Björk sendiri mengatakan lagu ini adalah tentang hal-hal yang kadang harus dilakukan oleh seseorang untuk menjaga keseimbangan dalam suatu hubungan yang sudah berjalan cukup lama. Hal-hal yang hanya bisa dilakukan sendirian. Hal-hal yang terkadang tidak pantas, mengerikan, dan bahkan destruktif. Segala hal abnormal yang justru harus dilakukan untuk menjaga kenormalan.

Apapun arti sesungguhnya, lagu ini selalu menyisakan perasaan yang aneh buat saya setiap kali mendengarnya. Perasaan yang merupakan campuran antara sedih, lega, perih, kosong, dan senang yang ganjil. Mungkin jenis perasaan yang sama dengan perasaan ketika kita duduk di bawah pohon yang rimbun setelah kita memutuskan untuk tidak jadi melompat ke jurang setelah teringat hari itu adalah hari pemutaran perdana film yang telah kita tunggu sepanjang tahun. Entahlah. 
*Saya ga bawa kamera, jadi minjem foto punya temen saya, Gebi.