Thursday, December 6, 2012

Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya

Bagi saya, salah satu hal yang bakal bikin saya merindukan Jogja ketika kelak saya meninggalkan kota ini (yang sebenarnya belum saya pikirkan) adalah banyaknya event nonton film gratis. Bagi saya, event nonton film gratis adalah sebuah berkah yang amat mubadzir dan haram untuk disia-siakan. Sudah nonton film, gratis pula. Manusia macam apa yang berani mengingkari nikmat seindah itu?

Jadi ceritanya, beberapa hari yang lalu Jogja Asian Film Festival (JAFF) 2012 resmi dimulai. Festival ini rutin memutar film-film dari seluruh Asia setiap tahunnya. Maka seperti tahun kemarin, kali ini pun saya dan dia yang telah menjadi partner yang baik dalam menonton film selama hampir dua tahun belakangan ini menyiapkan ancang-ancang, mengatur rencana dan strategi untuk memilih film mana saja yang bakal kami tonton. Sebenarnya pada hari pembukaan di XXI kemarin itu kami hanya berniat untuk menonton satu film, "Rumah dan Musim Hujan" (disutradarai oleh Ifa Isfansyah, dibintangi oleh Tora Sudiro, Vino Sebastian, Jajang C. Noer, dan Landung Simatupang; sangat bagus!), karena kami berpikir tiket untuk film kedua yang dijadwalkan untuk diputar tepat setelah film pertama selesai pasti telah habis. Tapi ternyata alam semesta sedang berbaik hati, kami masih mendapat tiket untuk film kedua, judulnya "Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya".

Disutradarai oleh Yosep Anggi Noen, sutradara muda asal Jogja. Film yang tayang pertama kali di Festival Del Film Locarno, Swiss bulan Agustus kemarin ini benar-benar membuat saya jatuh cinta. Konsepnya secara keseluruhan adalah berupa road movie, seperti "Y Tu Mama Tambien", "Little Miss Sunshine", atau "3 Hari Untuk Selamanya", di mana konflik dan resolusi muncul dan ditemukan dalam perjalanan oleh para tokohnya. Meski sebenarnya memiliki banyak perbedaan mendasar, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa film ini cocok untuk disandingkan dengan "3 Hari Untuk Selamanya", karena sama-sama melibatkan satu laki-laki, satu perempuan, dan tiga hari perjalanan dalam mobil di Pulau Jawa.

Bersetting awal di Jogja, Vakansi bercerita tentang Ning, perempuan yang bekerja di toko awul-awul (pakaian bekas) yang kemudian pindah bekerja di toko meubel. Ning memiliki suami bernama Jarot yang lebih memilih menonton TV ketimbang mengobrol bersama istrinya, dan tidak pernah mencari istrinya meskipun ia belum pulang semalaman. Di tempat kerja barunya, Ning bertemu dengan Mur, pegawai lama yang ditugasi untuk membantu Ning beradaptasi dengan pekerjaannya. Suatu hari, Ning dan Mur mendapat tugas untuk mengantar sofa pesanan ke Temanggung. Perjalanan yang mestinya bisa diselesaikan dalam beberapa jam ini berubah menjadi perjalanan panjang yang menumbuhkan perasaan-perasaan janggal antara mereka berdua selama tiga hari dua malam melewati Dieng dan Wonosobo. Alasan vakansi dadakan ini bisa ditangkap secara samar-samar dari gelagat dua tokoh ini. Entah benar-benar tersasar atau sengaja menyasarkan diri, itu menjadi hak penonton yang memutuskan.

Yang membuatnya menjadi istimewa adalah akting para tokohnya. Akting para aktor dalam film ini benar-benar sempurna dan alami. Penggunaan bahasa Jawa (dalam hal ini Jogja) di film ini hampir tanpa cacat jika dibandingkan dengan film berlatar Jawa lainnya, seperti "Mengejar Mas-Mas" atau "Sang Penari" misalnya. Dan bukan hanya tokoh utamanya saja yang berakting bagus, para figurannya pun sangat apik. Tokoh pemilik toko awul-awul, penjaga toko meubel, penjaga warung, sampai pelacur semuanya nyaris tanpa cela. Saking sempurnanya saya sempat berpikir pembuatan film ini menggunakan kamera tersembunyi, dan sebenarnya para tokohnya adalah tokoh nyata, mereka tidak sedang berakting.

Hal lain yang membuat saya jatuh cinta adalah dialog-dialog out of topic ala Quentin Tarantino. Jika Tarantino menggunakan dialog-dialog tidak penting dan out of topic untuk mempermanis cerita, maka dalam film ini dialog-dialog tersebut menjadi jiwa. Sutradaranya seolah ingin mengatakan bahwa di dunia nyata kehidupan memang dibentuk oleh sekumpulan hal tidak penting yang kemudian dimaknai dengan kelewat penting oleh para tokohnya. Dialog favorit saya adalah yang ini:
"Aku arep neng warung sik." (Aku mau ke warung dulu.)
"Arep tuku opo?" (Mau beli apa?)
"Ora tuku opo-opo, neng warung wae." (Enggak beli apa-apa, ke warung aja.)
Absurd, tapi saya merasakan kehangatan yang nyaman di situ. Selain dialog tersebut, perbincangan tentang cacar air, pekerjaan sebagai supir rental mobil mewah, dan pengakuan tidak memiliki SIM ketika membawa mobil sampai ke Lampung adalah dialog-dialog yang sekali lagi membuat saya harus menyadarkan diri bahwa saya sedang menonton film, bukan rekaman kamera tersembunyi yang dipasang di mobil.

Daya tarik terakhir dalam film ini adalah ketelitian sutradaranya untuk menggambarkan sesuatu secara detil, amat detil malah. Bagi sebagian orang, melihat salah satu tokoh melakukan kegiatan sepele seperti mencuci botol, mengisi dua jerigen bensin sampai penuh, sampai memindahkannya ke dalam botol-botol bekas minuman bersoda dalam scene-scene panjang tanpa putus merupakan siksaan tersendiri. Bagi saya, itu adalah kenikmatan! Yosep Anggi seperti sedang bersenang-senang ketika membuat film ini, tanpa sedikit pun tendensi untuk buru-buru menyelesaikannya.

Di akhir film, Ning mengajak Mur untuk segera mengantarkan sofa pesanan tersebut dan pulang ke Jogja. Saya rasa ini bukan spoiler, karena siapa pun pasti tahu road film semacam ini memiliki ending yang sangat mudah ditebak. Klise, tapi bukankah memang seperti itu hukumnya? Vakansi, entah yang normal sampai yang paling janggal sekali pun, pada akhirnya akan membuat kita ingat rumah, akan membuat kita ingin pulang. Selamat untuk Yosep Anggi Noen, selamat untuk Vakansi, selamat bervakansi!