Saturday, June 28, 2014

guncangan

Jam delapan malam lewat beberapa belas menit. Pesawat yang akan saya tumpangi baru mendarat. Sedikit terlambat. Meski cuma beberapa belas menit, tetap saja terlambat. Tapi toh saya (dan saya yakin sebagian besar penumpang lainnya) tidak begitu peduli. Telat beberapa menit tidak berarti apa-apa di sini. Mungkin karena keterlambatan sudah menjadi sesuatu yang terintegrasi dengan hidup kita, sehingga kita terbiasa dengan itu.

Tak lama kemudian, panggilan diumumkan lewat pengeras suara: "Penumpang pesawat jurusan Jogja-Banjarmasin silakan masuk ke pesawat lewat gate 3". Saya melangkah keluar, berjalan ke arah pesawat yang terparkir cukup jauh. Langit Jogja terlihat cukup cerah malam itu, tapi di utara terlihat mendung sedikit menggantung.

Di dalam pesawat, saya segera mengenakan sabuk keselamatan sebelum pramugari bersuara sengau itu menginstrusikan tata-cara pemasangan sabuk dan prosedur keselamatan lainnya. Majalah maskapai tersebut sudah terbaca nyaris setengahnya sebelum pesawat lepas landas. Aneh, betapa manusia senang untuk berlambat-lambat dalam satu hal, tapi terburu-buru dalam hal lain. Membaca majalah yang seharusnya menjadi hiburan ketika terbang, menghabiskan pop corn sebelum film bioskop dimulai, dll.

Di belakang saya duduk rombongan ibu-ibu yang ramai mengobrol. Beberapa baris di depan, seorang anak kecil tidak bisa berhenti menangis. Ibunya terdengar kewalahan membujuknya agar diam.

"Para penumpang, kita akan segera melakukan lepas landas. Untuk alasan keamanan, lampu di dalam kabin akan kami matikan," kata si pramugari bersuara sengau. Saya sedikit mencengkeram pinggiran kursi. Waktu lepas landas adalah momen yang paling saya benci ketika terbang. Nomor duanya adalah ketika mendarat.

Pesawat lepas landas. Lima menit, lampu di dalam kabin masih belum dinyalakan. Tanda kenakan sabuk pengaman masih menyala. Sepuluh menit. Aneh, tidak biasanya mode lepas landas berlangsung selama ini. Jendela tertutupi oleh awan putih yang pekat, saya tidak bisa melihat ke luar.

Pesawat berguncang pelan, seperti mobil ketika melintasi jalan berlobang. Cengkeraman saya pada pinggiran kursi semakin kencang. Sebagai pengidap fobia ketinggian, aktivitas naik pesawat memang bukan hal yang menyenangkan. Meskipun selama ini penerbangan yang saya ikuti selalu baik dan nyaman-nyaman saja.

Pesawat berguncang semakin kencang. Barang-barang di dalam bagasi kabin menggeretuk seperti gigi yang menggigil. Dari jendela, awan putih tampak semakin pekat, diselingi berkali-kali kilatan petir yang membuat suasana sama sekali tidak menenangkan.

Guncangan semakin kencang. Rasanya seperti sedang berada di dalam bis yang melaju kencang di jalanan berbatu. Rasa takut menguar dan berputar-putar di dalam kabin. Keadaan gelap, tapi saya jelas bisa merasakan kepanikan dan ketegangan dari penumpang lain.

Kicauan rombongan ibu-ibu di belakang saya hilang, digantikan oleh isak tangis tertahan dari mereka. Suara tangisan anak kecil di depan saya tak terdengar lagi, mungkin dia tertidur, atau syok sampai tidak bisa mengeluarkan suara, saya tidak tahu pasti. Yang saya tahu, pesawat sedang diguncang oleh turbulensi.

Hingga beberapa waktu kemudian, pesawat berhenti berguncang selama 1 detik, sebelum kemudian amblas. Turun. Terjun bebas. Rasanya persis seperti berada di puncak wahana roller coaster. Kesunyian yang mencekam pecah oleh teriakan dan takbir penumpang. Dalam hati, saya merapalkan semua doa yang bisa saya ingat. Saya sudah membayangkan kematian menari-nari di atas kepala saya, siap menelan kapan saja.

***

Dalam film Hannah and Her Sisters, Woody Allen berperan sebagai Mickey, seorang produer acara TV yang mengidap hipokondria, sebuah gangguan psikologis yang membuat penderitanya percaya dirinya mengidap penyakit serius.

Suatu hari, Mickey mengalami masalah dengan pendengarannya. Seperti biasa, ia segera konsultasi ke dokternya (yang telah terbiasa mendengar segala keluhan fisik Mickey yang paranoid itu). Berbeda dengan biasanya, kali ini si dokter menyimpulkan sesuatu yang menakutkan: Mickey kemungkinan mengidap tumor otak.

Dunia seakan runtuh bagi Mickey. Ini pertama kalinya dokternya satu suara dengan ketakutannya. Semalaman dia tidak bisa tidur, menunggu serangkaian tes dan pindai otak yang akan dilakukan besok pagi. Dia sudah membayangkan kematian menari-nari di atas kepalanya, siap menelannya kapan saja.

***

Pesawat mendarat di Banjarmasin. Kaki saya lemas sekali, sedikit susah untuk berdiri. Kelegaan yang teramat sangat tampak jelas pada wajah para penumpang. Beberapa dari mereka bahkan masih menangis, entah tangisan bahagia atau sisa ketakutan tadi. Ucapan syukur dari para penumpang masih terdengar sampai saya berjalan ke luar bandara.

Di mobil travel jurusan Banjarmasin-Tanjung, saya kebetulan duduk bersebelahan dengan penumpang pesawat yang saya naiki barusan. Dia bercerita, selama 11 tahun dia melakukan perjalanan Jogja-Banjarmasin, penerbangan ini adalah penerbangan paling mengerikan yang pernah dia ikuti. "Tadi pesawat udah miring banget, Mas," katanya.

Kaki saya masih lemas. Saya masih tidak percaya, saya baru saja lolos dari maut.

***

Mickey duduk di ruang dokternya dengan sangat gelisah, menunggu hasil pindai otak yang merupakan jawaban dari semuanya. "It's over. I'm face to face with eternity. Not later, but now," katanya dalam hati. Dokter datang. Hasil pindainya tidak menunjukkan masalah apapun. Dirinya tidak mengidap tumor otak.

Mickey berlari keluar dari rumah sakit. Belum pernah dia merasa segembira itu. Mickey berlari dengan riang di trotoar, langkahnya begitu ringan. Orang-orang melihatnya dengan heran. Sesekali dia melompat sembari bertepuk tangan di udara. Musik jazz mengalun dengan riang. Hari terasa sangat cerah saat itu. Sebelum tiba-tiba dia berhenti berlari. Mickey mematung selama beberapa saat, dan entah dari mana datangnya, muncul pikiran yang sangat gelap, menghapus segala keriangan itu.

"Can you understand how meaningless everything is? I'm talking about or lives, the whole world, it's meaningless. So I'm not gonna die today, I'm not gonna die tomorrow, but eventually I'm gonna be in that position."

***

Beberapa hari setelah turun dari pesawat itu, saya masih merasa sangat beruntung. Hidup saya jadi semakin menyenangkan untuk dijalani. Semua pekerjaan dan masalah di kantor terasa sangat ringan untuk dihadapi. Karena segala masalah itu tidak berarti apa-apa dibanding ketakutan akan kematian.

Namun, rasa beruntung itu pelan-pelan berubah menjadi ketakutan baru. Persis seperti yang dirasakan oleh Mickey. Mungkin saya tidak jadi mati di pesawat itu, tapi pasti saya akan mengalami kematian (dan ketakutan yang menyertainya), entah di pesawat, di mobil di kantor, di rumah, di jalan, di mana pun. Segala hal yang saya lakukan mendadak terasa tidak berarti.

***

Untuk menghindari rasa takut sekaligus kehampaannya, Mickey memutuskan untuk mendalami agama. Awalnya dia mencoba mendalami Katolik, tapi tidak cocok. Kemudian, dirinya bergabung dengan kelompok Hindu aliran Krisna, tapi tidak cocok juga. Saking putus asanya, suatu malam dia hendak bunuh diri; mencoba menembak kepalanya dengan senapan yang dibelinya tempo hari.

Senapan di tangannya terpeleset. Tembakannya meleset, mengenai cermin di kamarnya yang langsung membuat suara gaduh. Tetangganya berdatangan. Karena panik dan tidak tahu harus berbuat apa, Mickey segera lari dari rumahnya. Ia berjalan tak tentu arah selama berjam-jam dengan kebingungan, sebelum akhirnya masuk ke sebuah gedung bioskop.

Mickey duduk di salah satu kursi penonton. Masih bingung dengan apa yang baru saja dilakukannya. Pelan-pelan ia sadar, ia mengenali film yang sedang diputar di layar. Itu adalah film kesukaannya waktu kecil, ia berkali-kali menonton film ini. Kegalauannya pelan-pelan hilang, Mickey benar-benar menikmati detik-detik itu.

***

Dan sekali lagi, saya sepakat dengan Mickey:

"I'm watching these people up on the screen and I started getting hooked on the film. I started to feel, how can you even think of killing yourself, I mean isn't it so stupid? Look at all the people up there on the screen, they're real funny, and what if the worst is true? What if there is no God and you only go around once and that's it? Well, you know, don't you wanna be part of the experience? And I'm thinking to myself, Jeez, I should stop ruining my life searching for answers I'm never gonna get, and just enjoy it while it lasts. And then I started to sit back, and I actually began to enjoy myself."