Monday, November 5, 2018

kelindan

Seminggu setelah Idul Fitri kemarin saya pulang ke Cimahi. Ah, kata pulang rasanya tidak terlalu tepat. Orangtua saya sudah tidak lagi tinggal di sana. Rumah tempat saya menghabiskan masa kecil hingga remaja juga sudah dijual. Saya hanya menumpang sekelebat di rumah kakak yang masih tinggal di sana.

Atas nama nostalgia, saya mengajak Zizi dan Kirana menyusuri jalan-jalan yang dulu sering saya lalui di kota ini. Seperti biasa, banyak yang berubah. Dulu, ia hanya bagian kecil dari Kabupaten Bandung yang sering dianggap pinggiran oleh penduduk Bandung. Orang Cimahi yang bersekolah di Bandung pasti kenyang diolok-olok (gurauan, tentu saja) karena tinggal di sini. Tampaknya, sekarang ia sudah jadi kota betulan.

Dari Pasar Baros, melaju ke arah Dustira, Pasar Antri, Bioskop Rio yang sekarang telah berubah jadi toko ponsel, Pasar Atas, Cibabat, Cimindi, dan putar balik ke arah alun-alun. Melewati beberapa gerai restoran waralaba baru, reruntuhan depot tempat bermain ding-dong, taman, stasiun kereta, tukang bakso langganan, warnet, kios rokok, tempat les Bahasa Inggris, telepon umum, bubur ayam di depan Alfamart, dan toko baju yang masih buka sejak puluhan tahun lalu dan entah kapan akan tutup.

Di perjalanan, bayangan tentang orang-orang yang pernah saya kenal di sini tentu bermunculan. Bersama si A makan di warung itu, bersama si B dan si C main Counter Strike di tempat itu, naik kereta ke Stadion Siliwangi untuk nonton Persib dengan si D, E, dan seterusnya. Beberapa dari mereka, saat ini masih tetap berkontak dan menjadi kawan baik saya. Tapi sebagian besar, sedihnya, saya tidak tahu lagi bagaimana kabarnya.

Hidup itu ternyata aneh juga. Di suatu waktu, rute hidup kita pernah berkelindan dengan jalan hidup orang lain. Kita mengisi waktu bersama, bercengkerama, berkawan akrab, berkomunikasi intens. Tapi kemudian, karena satu dan lain hal, kelindan itu terurai. Kita dan mereka kembali menjadi orang asing. Sementara kelindan hidup itu terus terjadi, berulang-ulang menjadi siklus.

"Bapak, Nana laparrrr," katanya tiba-tiba, membuyarkan lamunan. Saya bawa mereka ke arah McDonald's di daerah Sangkuriang yang konon baru dibuka. Kemajuan pesat ada McD di Cimahi, batin saya. Sembari mengunyah cheeseburger, saya mengamati wajah anak saya yang luar biasa polos itu. Mulut dan pipinya belepotan saos tomat dan bumbu kentang goreng. Lucu sekali.

Suatu hari nanti, apakah saya akan menjadi orang asing baginya?