Saturday, March 31, 2012

the token of gratitude

Bagaimana sebenarnya tubuh kita menyerap respon-respon yang datang dari luar, mengkombinasikannya dengan segala hal yang ada dalam diri kita, untuk kemudian mengolah dan memformulasikannya menjadi sesuatu bernama "kebahagiaan"?

***

Beberapa hari yang lalu teman saya meninggal, bunuh diri, melompati pagar jalan tol dan melemparkan dirinya ke arah bus yang sedang melaju kencang. Tubuhnya hancur, butuh waktu lama bagi rumah sakit untuk mengautopsinya dan mengirimkannya ke rumah dimana keluarganya telah berjam-jam menunggu. Teman saya itu, saya mengenalnya sebagai seorang yang menyenangkan, tapi di satu sisi memiliki perasaan benci terhadap dunia yang terkadang bisa berubah menjadi mengerikan. Dia yang pernah kabur dari rumah setelah melihat ayahnya mabuk dan kehilangan kontrol ketika malam perayaan 17 Agustus, dia yang pernah mengendarai sepeda sambil menenteng pedang samurai karatan ketika pacarnya diganggu preman kampung sebelah. Dia yang saya tidak sempat pulang ke Bandung untuk melihat pemakamannya. Dia yang saya tahu terkadang sangat membenci dunia hingga ingin meledakkannya. Tapi apakah dia tidak bahagia? Saya tidak yakin, mungkin saja.

***

Karena kuliah saya sudah habis dan saat ini hanya disibukkan dengan penulisan skripsi yang nyatanya menyisakan banyak sekali waktu luang, saya jadi sering melakukan sesuatu yang amat jarang saya lakukan sebelumnya: menonton televisi. Di antara acara-acara tivi yang sebagian besar sebenarnya tak lain merupakan sampah-sampah visual (yang dengan gobloknya masih juga saya tonton saking tidak ada kerjaannya), saya paling muak dengan reality show atau apalah itu namanya yang mengekspos penderitaan dan kemiskinan untuk disulap menjadi daya tarik untuk penonton. Bukan hanya mengkesposnya, stasiun-stasiun tivi itu juga mengirimkan orang-orang kota untuk membuat mereka yang diekspos mendefinisikan ulang arti kebahagiaan bagi mereka setelah dihujani dengan air mata dan pernyataan simpatik berwujud "sabar ya Pak, sabar ya Bu, Tuhan pasti membalas segala kerja keras kalian bla bla bla bla."

Hal yang mirip saya alami ketika KKN. Saya yang pertama tidak setuju dengan usulan program berupa penyuluhan penyadaran pengembangan wisata dan wirausaha. Maksud saya, jika penduduk desa telah terbiasa hidup dengan pola kehidupan mereka selama ini, kenapa juga kami orang-orang kota yang sok tahu datang dan menyuruh mereka mencari lebih banyak uang? Seolah kebahagiaan itu hanya ada jika disematkan nilai nominal padanya. Satu hal yang pasti, kita kadang terlalu banyak meracuni pikiran seseorang dengan gagasan-gagasan kita sendiri.

***

Saya mempunyai teori tentang kebahagiaan. Menurut saya kebahagiaan adalah sesuatu yang diciptakan oleh otak kita untuk membuat kita memiliki keinginan untuk tetap hidup, sesuatu yang merangsang naluri eros kita, naluri untuk hidup. Semacam mekanisme pertahanan diri yang telah termodifikasi untuk melawan kepunahan.

Umur saya beberapa waktu yang lalu genap dua puluh tiga. Kata teman saya 23 merupakan angka yang keren untuk mati, karena banyak orang-orang keren yang mati di umur ini, salah satunya Ian Curtis. Tapi saya belum mau mati, bukankah itu artinya otak saya masih giat memproduksi zat bernama kebahagiaan? Bahwa naluri eros saya masih lebih kuat dibanding tanatos. Ah saya tahu, mungkin setiap manusia pada dasarnya telah diberikan kebahagiaan secara eksklusif, namun masalahnya adalah kita terlalu sering membandingkan standar kebahagiaan kita dengan orang lain, yang tentu saja tak akan pernah sama. Itulah yang membuat banyak orang luput untuk merasakan kebahagiaannya sendiri. Mungkin saja sebenarnya teman saya itu bahagia selama hidupnya --termasuk dalam kematiannya--, saya saja yang terlalu angkuh untuk menilainya tidak bahagia karena saya menggunakan standar saya sendiri (saya tidak punya ayah yang pemabuk, contohnya). Atau mungkin saja manusia terlalu banyak menghabiskan waktu mendefinisikan dan membicarakan suatu hal sehingga tidak tersisa lagi waktu untuk merasakan hal tersebut, persis seperti apa yang saya lakukan sekarang.

we hate different things
and different tastes
how people sing
what they create
want to feel the illusion
the confusion

-Always a Relief, The Radio Department

the awkward truth #2

"People like talking about people. Makes us feel superior, makes us feel in control. And sometimes, for some people, knowing some things makes them care."
-Dr. House

Tuesday, March 20, 2012

apologia

Tiba-tiba saya ingin meminta maaf kepada semua orang yang pernah saya kenal maupun semua yang tidak pernah saya kenal namun perlu saya mintai maaf. Bukan apa-apa, saya sadar saya adalah orang yang sulit meminta maaf --khususnya secara verbal-- kepada orang lain. Saya bahkan tidak ingat kapan terakhir kali saya mengikuti tradisi maaf-maafan pada saat lebaran. Selain karena maaf-maafan pada saat lebaran itu overrated (saya tidak pernah suka dengan sesuatu yang overrated), bermaaf-maafan pada saat lebaran itu terasa terlalu artifisial untuk saya, dan sesuatu yang artifisial itu biasanya tidak baik untuk kesehatan.

Maka dalam tulisan ini saya ingin meminta maaf secara tulus kepada siapapun yang membaca tulisan ini, kepadamu, kepadanya, kepada siapapun yang pernah saya sakiti dan siapapun yang mungkin akan saya sakiti. Maaf, saya salah.

Wednesday, March 14, 2012

Tokyo!: sebuah pelarian sempurna dari dunia nyata

Saya punya kecenderungan untuk menikmati hal-hal yang bizzare, yang aneh, yang kontra dengan pakem realitas. Maka ketika kemarin saya selesai nonton "Tokyo!", sensasi yang saya rasakan kira-kira sama dengan orang yang akhirnya bisa minum es teh di siang bolong setelah sebulan penuh berpuasa: puas! Film ini langsung saya nobatkan sebagai film terkeren yang saya tonton tahun ini.

Disutradarai oleh tiga sutradara, berisi tiga cerita yang tidak saling berkaitan, tetapi memiliki setting yang sama: Tokyo. Saya tidak terlalu suka dengan film bersetting Asia, apalagi Jepang. Satu-satunya alasan awal kenapa saya mau menonton film ini adalah karena salah satu sutradaranya adalah Gondry (saya pernah membahas tentang dia di sini). Ternyata kedua sutradara lainnya memiliki pola yang sama dengan Gondry ketika membuat film: absurd namun indah.

Segmen pertama berjudul "Interior Design", disutradarai oleh Michel Gondry. Bercerita tentang sepasang kekasih (atau suami-istri ya?) yang pergi ke Tokyo untuk memulai hidup baru di sana dengan mencari pekerjaan apa saja sambil menumpang di apartemen kecil milik seorang teman lama. Si pemilik apartemen yang awalnya menerima mereka lama-lama merasa risih karena mereka tidak juga mendapat pekerjaan yang layak dan pindah ke apartemen sendiri. Cerita yang awalnya "aman-aman saja" ini kemudian bermanuver dengan tiba-tiba menjadi seperti dongeng gelap dengan perubahan yang terjadi pada si perempuan. Dari situ barulah terasa ini film-nya Gondry, apalagi special effect yang digunakan sangat khas, seperti yang biasa dia gunakan dalam video klip-video klip garapannya.

Segmen kedua berjudul "Merde", disutradarai oleh Leos Carax. Bercerita tentang kemunculan tiba-tiba sesosok makhluk menyerupai manusia yang keluar dari got yang suka meneror orang-orang di jalanan Tokyo. Sosok yang belakangan diketahui bernama Merde itu akhirnya ditangkap oleh pasukan khusus karena perbuatan terakhirnya sangat keterlaluan: melempari jalanan Tokyo dengan granat-granat sisa perang yang dia temukan di bawah tanah. Berhubung bahasa yang digunakan oleh Merde sangat aneh (konon hanya dimengerti oleh lima orang saja di dunia), tidak ada seorangpun yang mau menjadi pengacaranya, hingga akhirnya datang seorang pengacara dari Prancis bernama Maitre Voland yang bisa berbicara dalam bahasa yang sama dengannya. Di pengadilan, Merde mengatakan banyak hal yang melibatkan Tuhan, keadilan, kemuakan akan manusia, dan hal-hal aneh lainnya. Yang paling mencolok dalam segmen ini adalah akting dari Denis Lavant dan Jean-Francois Balmer yang memerankan Merde dan Maitre. Saking impresifnya akting mereka berdua, semua orang lain dalam segmen ini hanya terlihat seperti figuran saja.

Segmen ketiga berjudul "Shaking Tokyo", disutradarai oleh Joon-ho Bong. Secara konsep cerita, segmen inilah yang paling saya sukai, bercerita tentang seorang hikikimori, istilah yang digunakan di Jepang untuk seseorang yang memutuskan untuk menarik diri dari kemudian mengisolasi dirinya sendiri dari dunia luar, tapi biasanya masih dikirim uang oleh orang tua mereka secara rutin. Seorang hikikimori menyimpan persediaan makanan yang sangat banyak dalam kamarnya, ketika persediaan itu habis, atau dia membutuhkan jasa pengangkut sampah atau laundry, dia akan menelpon seseorang untuk mengantarkan belanjaan dan hal-hal lainnya, kemudian dia akan membayar mereka tanpa berbicara dan melakukan kontak mata. Ya, kontak mata. Tokoh dalam film ini telah menghindari kontak mata selama sepuluh tahun, sebelum akhirnya dia melakukannya ketika dia memesan pizza, karena yang mengantarkannya adalah seorang perempuan. Ketika itu tiba-tiba terjadi gempa dan si perempuan pengantar pizza pingsan tepat di pintunya. Bingung karena telah sepuluh tahun tidak berinteraksi secara langsung dengan manusia, si hikikimori ini akhirnya menemukan bahwa di lengan si wanita terdapat tombol-tombol dengan kata tertentu di bawahnya, seperti "love", "hysteria", "anger", dan "coma". Dia menekan salah satu tombol tersebut dan hidupnya berubah untuk selamanya setelah itu.

Secara keseluruhan, saya menikmati "Tokyo!" dengan cara yang sederhana, saya tidak berusaha untuk memahami apa pesan-pesan dari setiap segmen yang hendak disampaikan oleh sutradaranya. Saya menolak untuk terjebak dalam usaha untuk memahami pesan-pesan filosofis yang ada dalam film ini sehingga mengalahkan kepuasan saya dalam menikmati segi estetisnya. Karena saya percaya sebuah karya, entah film, tulisan, maupun musik seharusnya sudah steril dari campur tangan penciptanya ketika sampai ke tangan konsumen, biarkan konsumen yang menginterpretasikannya sendiri dengan caranya sendiri. Yah begitulah, selamat menonton!