Friday, February 1, 2013

tujuh hari menuju semesta

Mobil Elf sewaan yang kami tumpangi berjuang keras melewati sederetan tanjakan dan turunan curam berbatu dengan bekas longsoran di kanan-kiri. Para penumpang di dalamnya terpontang-panting ke sana kemari, berusaha menahan mual dan menjaga kepala agar tidak terantuk jendela.

Saya dan tiga belas volunteer lain dari komunitas Book for Mountain sedang dalam perjalanan menuju dua desa di bagian selatan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Bukan perjalanan yang sekejap. Sebelas jam dalam kereta ekonomi Jogja-Jakarta, disambung dua jam kereta Jakarta-Rangkasbitung, berdesakan dalam angkot menuju terminal, dan diakhiri dengan lima jam perjalanan dalam Elf sewaan yang didapat melalui tawar-menawar yang menegangkan dengan belasan calo terminal.

Kami membawa sebuah misi: membangun perpustakaan dan mengajar murid sekolah dasar di sana selama seminggu. Misi yang diniatkan sebagai sebuah bentuk pengabdian dengan cara memberi, tapi pada kenyataannya kamilah yang mendapatkan jauh lebih banyak hal di sana.

***

Kami berempat belas dibagi menjadi dua tim dan ditempatkan di dua desa yang berbeda: Desa Mekarsari di Kecamatan Cibeber dan Desa Girimukti di Kecamatan Cilograng. Kedua kecamatan ini sama-sama berada di posisi yang unik: tersembunyi di balik bukit-bukit dan jurang rawan longsor yang dingin tetapi hanya berjarak satu setengah jam dari laut selatan.

Saya ditempatkan di Girimukti, sebuah desa yang masih dilengkapi dengan peraturan adat yang kuat dalam mengatur keseharian mereka.

Masyarakat di Desa Girimukti dilarang untuk memasang genteng di atas rumah mereka. Sebagai gantinya mereka memakai rumbia atau seng. Mereka juga percaya bahwa burung elang adalah makhluk yang sakral, sehingga tidak boleh menunjuk dengan jari jika kebetulan melihat mereka terbang di langit. Jika ada orang yang tidak sengaja menunjuk ke arah elang yang sedang terbang, orang itu harus menggigit jarinya sendiri hingga berdarah.

Dari semua peraturan yang ada, yang paling khas dari Desa Girimukti adalah peraturan yang mengatur tentang tanaman padi. Masyarakat Desa Girimukti hanya boleh menanam padi satu kali dalam setahun. Ketika sedang melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan beras, seperti mencuci beras atau memasak nasi, mereka diwajibkan untuk melakukannya dalam posisi duduk. Mereka juga dilarang untuk menjual beras kepada orang lain. Jika peraturan-peraturan itu dilanggar, dipercaya mereka akan mendapat musibah yang "tidak main-main".

Lalu, seperti apakah anak-anak yang merupakan produk nyata dari kehidupan desa seperti ini? Konservatif? Kaku? Sulit menyerap ilmu baru? Sama sekali tidak! Di Girimukti, saya tak henti dibuat terpana oleh kecerdasan alami anak-anak desa. Seolah alam semesta telah menyisipkan ilmu pengetahuan dalam tiap udara yang mereka hirup, atau dalam tiap tetes air Sungai Cisawarna yang mengaliri desa mereka.

Ada Dewi dan Gin Gin, anak kelas 5 yang bisa memerankan tokoh dalam sebuah naskah drama dengan sangat apik dalam sekali latihan. Ada Heykal yang usianya bahkan belum genap 5 tahun tapi sudah hafal perkalian. Ada Eni yang memiliki bakat alami seorang penulis fiksi. Lalu ada Chandra, bocah paling nakal di sekolah yang hobinya bikin onar dan mengganggu anak perempuan tapi pernah dikirim ke Jakarta untuk mengikuti perlombaan matematika se-Asia.

Bisa dibayangkan betapa anehnya fenomena itu mengingat sekolah mereka yang berisi lebih dari 150 murid hanya memiliki dua guru tetap dan tiga guru bantu yang kedatangannya lebih tidak bisa diprediksi dibanding cuaca belakangan ini.

***

Di Desa Girimukti nyaris tidak ada sinyal ponsel sama sekali. Untuk mendapatkan sinyal kami harus mendaki bukit yang paling tinggi atau berkendara menyusuri hutan ke kota kecamatan terdekat. Selama seminggu di sana praktis ponsel saya kehilangan fungsinya. Satu hal yang tentu saja menyebalkan untuk bagian dari generasi yang telah sangat menggantungkan hidupnya pada teknologi seperti saya.

Anak-anak di sana juga jauh lebih steril dari perbudakan teknologi dibanding anak-anak kota. Mereka lebih mengenal melompat dari jembatan ke sungai yang mengalir deras sepulang sekolah atau perang-perangan menggunakan sarung yang telah diikat ujungnya sepulang mengaji ketimbang duduk menghadap berbagai jenis layar monitor.

Meskipun keluarga mereka tidak kaya, meskipun setelah lulus sekolah kemungkinan besar mereka akan mengikuti jejak kakak-kakak mereka untuk menjadi pembantu rumah tangga di Jakarta atau penambang emas ilegal di Bogor, meskipun tingkat perceraian orangtua mereka sangat tinggi sehingga nyaris setengah dari mereka tidak lagi memiliki keluarga yang utuh, kebahagiaan jelas sekali terpancar dari mata mereka. Kebahagiaan sejati, bukan kebahagiaan semu ala masyarakat kota yang dapat setiap saat digantikan oleh emoticon.

***

Saat ini saya sudah kembali ke kota. Saya kembali dikelilingi oleh teknologi dan segala perkakas penyempurna hidup. Ponsel saya sudah kembali terisi sinyal, yang artinya saya kembali bisa berkomunikasi via udara. Sambungan internet telah kembali saya jamah, artinya saya kembali bisa mengakses dunia tanpa batas berisi milyaran informasi. Ironisnya, saya malah merasa kebahagiaan dan kedamaian hati saya tertinggal di desa yang magical itu. Desa yang minim fasilitas tetapi mengajarkan saya untuk menjadi manusia seutuhnya, bukan menjadi alien kesepian yang saling mengasingkan di tengah megahnya peradaban modern.


*Judul postingan saya pinjam dari salah satu judul lagu Melancholic Bitch.

1 comment: