Wednesday, May 25, 2011

love is a trap

Piring telah kosong, gelas hanya tinggal menyisakan air dari lelehan es batu yang tercampur dengan sedikit teh. Sudah hampir satu jam kami berada di sana, tapi belum tampak akan beranjak. Asbak yang tadinya saya niatkan hanya akan terjamah oleh satu-dua batang rokok setelah makan, kini telah terisi oleh tujuh puntung bekas, dan akan terus bertambah, karena pembicaraan ini mengalir semakin dalam.

Diawali dari kami yang berbagi kisah tentang masa-masa galau (sial! akhirnya saya harus menggunakan kata ini) yang kebetulan pernah sama-sama kami alami hampir dua tahun yang lalu. Masa-masa yang pernah membuat saya (dan mungkin juga dia) merasakan titik terendah dalam hidup. Titik di mana kehampaan tiba-tiba bernyawa, titik di mana kesendirian mendadak menjadi terasa pekat, titik di mana semua harapan dan kata-kata motivasi terdengar seperti omong kosong terhebat sepanjang masa. Sebuah titik yang sukses mengubah total konsepsi saya tentang hubungan romantis dan komitmen, membuat saya amat sinis akan hal-hal semacam itu bahkan sampai sekarang.

Setelah melewati fase itu, kami yang sebelumnya telah saling kenal tapi tak pernah 'kenal', menjadi semakin dekat sebagai teman baik. Dia adalah orang yang bisa saya ceritakan segala hal tentang diri saya tanpa saya harus repot memakai topeng, dan tidak banyak orang semacam itu dalam hidup saya. Dia adalah orang yang selalu mau mendengar segala isi kepala saya yang kadang saya sendiri tidak mengerti apa yang saya bicarakan, dan entah apakah dia mengerti atau tidak.
"Aku bayangin, suatu hari ketika kita udah sama-sama tua, pikiran kita tentang pernikahan udah sama-sama melunak, dan masing-masing dari kita ngerasa harus nikah, cerita kita bakal mirip sama My Best Friend's Wedding," kata saya sambil memainkan rokok.
"Maksudnya?"
"Misalnya nanti kamu bakal nikah sama seseorang yang baru kamu kenal, terus aku bakal mikir 'anjis, itu orang baru dateng ke kehidupanmu, tahu apa sih dia tentang kamu sampe kamu harus nikah sama dia?' sementara aku hanya temen kamu dan ga bisa ngapa-ngapain. Atau coba bayangin sebaliknya, bayangin kamu yang ngerasain kayak gitu. Sucks banget kan..."
"Hehe, iya ya..."
Saya kembali menyalakan rokok. Bungkusnya sekarang tinggal berisi satu batang.
"Aku selalu takut suka sama temen deketku, makanya aku pernah sengaja ngejauh dari kamu, berusaha nge-repress perasaan yang kemungkinan muncul."
"Terus hasilnya?" tanya saya.
"Malah ngerasa goblok, ngapain juga harus kayak gitu."
"Iya, emang goblok."
"Haha."
Diam agak lama, sebelum saya menyalakan rokok terakhir.
"Kamu tahu cinta platonik?" tanya saya.
"Apa itu?"
"Sebuah perasaan yang tulus, di mana ketertarikan bukan didasari oleh hasrat seksual atau hal-hal semacamnya. Seperti perasaan orangtua ke anaknya, adik ke kakaknya, dan lain-lain. Dan itu yang selama ini aku rasain ke kamu."
"Ha?"
"Atau kalau kata 'cinta' tu terlalu menjijikkan diganti aja deh sama apa gitu, pokoknya intinya gitu."
Sekarang rokok saya sudah habis, tempat makan ini akan segera tutup, dan itu berarti kami harus segera pulang.

the spinning top made a sound like a train across the valley,
fading, oh so quiet but constant 'til it passed,
over the ridge into the distances,
written on your ticket to remind you where to stop,
and when to get off

-The Bulid Up, Kings of Convenience

2 comments: