Monday, November 3, 2025

dingin

Dari jendela kamar sayup-sayup terdengar lagu Haddad Alwi & Sulis. Entah dari corong masjid sebelah mana, suaranya timbul tenggelam bersama angin. Lagu itu salah satu yang kami, bocah-bocah pengajian, nyanyikan dalam pentas 17-an di kampung hampir 3 dekade yang lalu. Kami berlatih di masjid selama beberapa minggu untuk mempersiapkan penampilan. Jadwal naik panggung sore hari, diselingi pengumuman para pemenang lomba yang tak habis-habis itu. Selepas Isya giliran biduan dangdut tampil. Barisan depan diisi bapak-bapak dan para pemuda yang mulutnya menguarkan bau alkohol. Tempat saya tumbuh besar bisa dibilang salah satu daerah terkelam di Cimahi; sarang preman, kriminalitas, dan etalase sisi terburuk manusia. Namun di sisi lain, para pemuka agama dan alim ulama juga tinggal di sana. Mungkin itu adalah ciri khas kampung kota di mana pun: ambivalensi. Ambivalensi itulah yang membuat saya bersyukur tumbuh di sana. Ia mengajarkan saya untuk merengkuh dualitas dan sebisa mungkin tidak memandang dunia secara biner. 

Kasur terasa dingin dan suara itu masih terdengar, persis suasana di kamar orangtua saya dulu. Ah, betapa hidup sudah berjalan sejauh ini.

No comments:

Post a Comment