Monday, March 10, 2025

hangat

Ambu, hari ini ulang tahunku yang ketiga puluh enam. Sejak dulu aku tidak pernah suka ulang tahun, karena seharian hatiku akan diselimuti mendung. Aku tidak tahu dengan pasti apa sebabnya.

Pada tanggal ini, biasanya, pagi-pagi Ambu menelpon untuk mengucapkan selamat ulang tahun, yang selalu kurespon dengan canggung. Sepertinya itu salah satu alasan kenapa aku tidak suka ulang tahun: perasaan canggung saat diberi ucapan. Entahlah, yang jelas, pagi tadi tidak ada telepon dari Ambu, dan itu membuatku lumayan sedih.

Ngomong-ngomong, dua hari lalu, Ning bilang ia mendoakan Ambu sehabis salat Isya. Aku tanya, Ning mendoakan apa. "Berdoa supaya Ambu hidup lagi," katanya.

Aku bilang, coba pikirkan doa yang lain, karena jika doa itu dikabulkan, Ambu akan hidup lagi dan datang sebagai zombie, dan ia kemungkinan besar akan ketakutan.

Setelah itu, aku jadi merenung; betapa lemah manusia saat berhadapan dengan kematian. Manusia tahu dan sadar dengan sepenuh hati bahwa kematian adalah keniscayaan, sebuah antrian di mana semua orang sedang menunggu giliran. Tapi, ketika ujung usia itu datang menghampiri orang terdekatnya, manusia tetap gelagapan. Sedih, kaget, hancur.

Lalu, ketika perasaan tak menyenangkan itu pelan-pelan memudar, manusia mencoba menerka apa yang akan terjadi ketika kematian itu bisa dibatalkan. Tak hanya menerka, kukira, tapi juga berharap. Bukan hanya Ning, sepertinya kami semua pernah berpikir hal serupa: bagaimana kalau Ambu tidak meninggal 8 bulan lalu? Bagaimana kalau kematian itu tidak pernah datang dan besok pagi Ambu ada di rumah, dengan wajah dan tubuh yang segar bugar sedang menyiram tanaman?

Sungguh imajinasi yang menyenangkan, meski kami kerap lupa bahwa itu pikiran yang cukup egois. Kehilangan tetap menyakitkan, tapi berharap takdir bisa dibelokkan tak memberikan dampak apa pun selain hati yang semakin nelangsa. Ambu sudah meninggal, dan itu tentu saja yang terbaik. Tidak sakit lagi, tidak batuk lagi, dan diselimuti ketenangan entah di mana pun Ambu berada saat ini.

Ambu, umurku tiga puluh enam. Tidak muda lagi. Aku tidak tahu kapan ujung usia itu akan tiba, tapi tentu semakin dekat. Aku tidak tahu apa-apa soal hidup pasca kematian. Namun, saat hari itu tiba, semoga kita semua bisa berkumpul lagi. Semua orang ada di rumah, menonton sinetron di ruang tengah, makan tempe goreng atau martabak keju, dan minum teh tubruk hangat bersama-sama dari gelas yang besar itu.

No comments:

Post a Comment