Wednesday, March 14, 2012

Tokyo!: sebuah pelarian sempurna dari dunia nyata

Saya punya kecenderungan untuk menikmati hal-hal yang bizzare, yang aneh, yang kontra dengan pakem realitas. Maka ketika kemarin saya selesai nonton "Tokyo!", sensasi yang saya rasakan kira-kira sama dengan orang yang akhirnya bisa minum es teh di siang bolong setelah sebulan penuh berpuasa: puas! Film ini langsung saya nobatkan sebagai film terkeren yang saya tonton tahun ini.

Disutradarai oleh tiga sutradara, berisi tiga cerita yang tidak saling berkaitan, tetapi memiliki setting yang sama: Tokyo. Saya tidak terlalu suka dengan film bersetting Asia, apalagi Jepang. Satu-satunya alasan awal kenapa saya mau menonton film ini adalah karena salah satu sutradaranya adalah Gondry (saya pernah membahas tentang dia di sini). Ternyata kedua sutradara lainnya memiliki pola yang sama dengan Gondry ketika membuat film: absurd namun indah.

Segmen pertama berjudul "Interior Design", disutradarai oleh Michel Gondry. Bercerita tentang sepasang kekasih (atau suami-istri ya?) yang pergi ke Tokyo untuk memulai hidup baru di sana dengan mencari pekerjaan apa saja sambil menumpang di apartemen kecil milik seorang teman lama. Si pemilik apartemen yang awalnya menerima mereka lama-lama merasa risih karena mereka tidak juga mendapat pekerjaan yang layak dan pindah ke apartemen sendiri. Cerita yang awalnya "aman-aman saja" ini kemudian bermanuver dengan tiba-tiba menjadi seperti dongeng gelap dengan perubahan yang terjadi pada si perempuan. Dari situ barulah terasa ini film-nya Gondry, apalagi special effect yang digunakan sangat khas, seperti yang biasa dia gunakan dalam video klip-video klip garapannya.

Segmen kedua berjudul "Merde", disutradarai oleh Leos Carax. Bercerita tentang kemunculan tiba-tiba sesosok makhluk menyerupai manusia yang keluar dari got yang suka meneror orang-orang di jalanan Tokyo. Sosok yang belakangan diketahui bernama Merde itu akhirnya ditangkap oleh pasukan khusus karena perbuatan terakhirnya sangat keterlaluan: melempari jalanan Tokyo dengan granat-granat sisa perang yang dia temukan di bawah tanah. Berhubung bahasa yang digunakan oleh Merde sangat aneh (konon hanya dimengerti oleh lima orang saja di dunia), tidak ada seorangpun yang mau menjadi pengacaranya, hingga akhirnya datang seorang pengacara dari Prancis bernama Maitre Voland yang bisa berbicara dalam bahasa yang sama dengannya. Di pengadilan, Merde mengatakan banyak hal yang melibatkan Tuhan, keadilan, kemuakan akan manusia, dan hal-hal aneh lainnya. Yang paling mencolok dalam segmen ini adalah akting dari Denis Lavant dan Jean-Francois Balmer yang memerankan Merde dan Maitre. Saking impresifnya akting mereka berdua, semua orang lain dalam segmen ini hanya terlihat seperti figuran saja.

Segmen ketiga berjudul "Shaking Tokyo", disutradarai oleh Joon-ho Bong. Secara konsep cerita, segmen inilah yang paling saya sukai, bercerita tentang seorang hikikimori, istilah yang digunakan di Jepang untuk seseorang yang memutuskan untuk menarik diri dari kemudian mengisolasi dirinya sendiri dari dunia luar, tapi biasanya masih dikirim uang oleh orang tua mereka secara rutin. Seorang hikikimori menyimpan persediaan makanan yang sangat banyak dalam kamarnya, ketika persediaan itu habis, atau dia membutuhkan jasa pengangkut sampah atau laundry, dia akan menelpon seseorang untuk mengantarkan belanjaan dan hal-hal lainnya, kemudian dia akan membayar mereka tanpa berbicara dan melakukan kontak mata. Ya, kontak mata. Tokoh dalam film ini telah menghindari kontak mata selama sepuluh tahun, sebelum akhirnya dia melakukannya ketika dia memesan pizza, karena yang mengantarkannya adalah seorang perempuan. Ketika itu tiba-tiba terjadi gempa dan si perempuan pengantar pizza pingsan tepat di pintunya. Bingung karena telah sepuluh tahun tidak berinteraksi secara langsung dengan manusia, si hikikimori ini akhirnya menemukan bahwa di lengan si wanita terdapat tombol-tombol dengan kata tertentu di bawahnya, seperti "love", "hysteria", "anger", dan "coma". Dia menekan salah satu tombol tersebut dan hidupnya berubah untuk selamanya setelah itu.

Secara keseluruhan, saya menikmati "Tokyo!" dengan cara yang sederhana, saya tidak berusaha untuk memahami apa pesan-pesan dari setiap segmen yang hendak disampaikan oleh sutradaranya. Saya menolak untuk terjebak dalam usaha untuk memahami pesan-pesan filosofis yang ada dalam film ini sehingga mengalahkan kepuasan saya dalam menikmati segi estetisnya. Karena saya percaya sebuah karya, entah film, tulisan, maupun musik seharusnya sudah steril dari campur tangan penciptanya ketika sampai ke tangan konsumen, biarkan konsumen yang menginterpretasikannya sendiri dengan caranya sendiri. Yah begitulah, selamat menonton!

3 comments:

  1. Sepertinya film yg menarik
    saya tertarik dengan tulisan di cover nya. Transformation, Anarchy dan Rebirth. Mudah-mudahan saya bisa dapat filmnya.

    ReplyDelete
  2. ga sabar pengen nonton film nya nih kayak nya bagus. udah nonton chipmunks yang ke3 blom nih lullabi? masa masa aku belom nonton masa :(

    ReplyDelete
  3. ah tulisan ini membuatku rindu kota besar.. dengan akses internet yang cukuplah untuk mendownload suatu film, atau
    festival2 film yang sering diadakan, atau
    tempat persewaan DVD, atau
    teman2 yang selalu punya stok film nyentrik..

    ReplyDelete