Tuesday, September 20, 2011

poly-tricks

Jogja telah begitu menyatu dalam memori saya, hampir tidak ada lagi tempat yang belum pernah saya jamah disini. Maka ketika sore tadi kami bingung mau kemana untuk mengisi waktu kami yang saat ini telah begitu longgar semenjak tercerabut dari rutinitas kepengurusan, saya memacu motor saya begitu saja tanpa tujuan di kota yang belakangan cuacanya bersahabat ini. Dia yang saya bonceng juga tidak banyak bicara, karena kami telah sepakat bahwa pertanyaan "mau kemana?" adalah pertanyaan yang absurd dan sulit untuk dijawab dan seringkali malah akhirnya tidak membawa kami kemana-mana.

Kemudian kami sampai di sebuah tempat dimana turis biasanya mengasosiasikan Jogja dengan tempat ini selain Malioboro: Alun-Alun Utara. Tempat itu begitu ramai. Banyak sekali orang memadati lapangan dengan dua pohon beringin itu. Sebagian besar berpakaian hitam, sebagian lagi memakai baju bergambar dua orang berjas dan memakai peci, ada juga orang-orang yang memakai kaos bertuliskan salah satu suporter sepakbola. Bendera-bendera besar berwarna merah dan kuning dikibarkan dimana-mana. Mata mereka semua tertuju kepada orang-orang yang berbicara diatas panggung di sebelah selatan. Oh rupanya ini acara kampanye calon walikota.

Beberapa saat kemudian puluhan motor disiapkan untuk berkonvoy entah menuju kemana. Sebagian besar menggunakan knalpot super berisik yang sibuk digerung-gerung oleh si pengendara yang memboncengi dua orang di belakangnya dan tidak ada yang memakai helm. Saya sempat bingung, saya sedang berada di tengah massa pendukung calon walikota atau geng motor, atau malah kumpulan preman pasar. Entahlah, sentimensi saya terhadap kampanye memang tidak akan pernah hilang. Kegiatan yang menurut saya tidak ada bedanya dengan prostitusi. Iya kan? Sama-sama "menjual diri", bedanya kampanye adalah prostitusi yang dihalalkan dan malah sering didukung oleh para ulama-ulama entertainment yang mempromosikan calon yang membayarnya.

Karena iseng, kami bergabung dengan parade motor berisik itu. Sesuatu yang akhirnya kami sesali, karena knalpot mereka terus saja dikumandangkan sementara jalanan begitu macet. Saya hampir memaki keras-keras, tapi tidak jadi karena di kiri-kanan saya adalah mereka yang sepertinya simpatisan yang begitu loyal dengan membawa bendera yang lebih besar dari motornya. Ketika saya mendapat kesempatan untuk berbelok kearah Wijilan dan membebaskan diri dari mereka yang terus kearah timur, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kemudian dibawah Plengkung Wijilan saya berteriak kencang-kencang "asuuuu!!". Kami berdua tertawa terbahak-bahak, dan melanjutkan perjalanan ke arah selatan sambil merayakan jalanan yang sepi dari para pendukung prostitusi itu.

2 comments:

  1. Hahahhaa.. untung aja ga jadi maki2 di tengah massa.. bisa2 dikeroyok kamu bi... :P

    setuju, pertanyaan "Mau kemana?" itu lebih baik ga usah dihadirkan dalam percakapan.. Ujungnya nanti malah berdebat mau kemana, dan akhirnya malah cuma makan di warung dekat kosan atau main di gramedia Bintaro Plaza *curcol*

    ReplyDelete