Monday, March 10, 2025
hangat
Pada tanggal ini, biasanya, pagi-pagi Ambu menelpon untuk mengucapkan selamat ulang tahun, yang selalu kurespon dengan canggung. Sepertinya itu salah satu alasan kenapa aku tidak suka ulang tahun: perasaan canggung saat diberi ucapan. Entahlah, yang jelas, pagi tadi tidak ada telepon dari Ambu, dan itu membuatku lumayan sedih.
Ngomong-ngomong, dua hari lalu, Ning bilang ia mendoakan Ambu sehabis salat Isya. Aku tanya, Ning mendoakan apa. "Berdoa supaya Ambu hidup lagi," katanya.
Aku bilang, coba pikirkan doa yang lain, karena jika doa itu dikabulkan, Ambu akan hidup lagi dan datang sebagai zombie, dan ia kemungkinan besar akan ketakutan.
Setelah itu, aku jadi merenung; betapa lemah manusia saat berhadapan dengan kematian. Manusia tahu dan sadar dengan sepenuh hati bahwa kematian adalah keniscayaan, sebuah antrian di mana semua orang sedang menunggu giliran. Tapi, ketika ujung usia itu datang menghampiri orang terdekatnya, manusia tetap gelagapan. Sedih, kaget, hancur.
Lalu, ketika perasaan tak menyenangkan itu pelan-pelan memudar, manusia mencoba menerka apa yang akan terjadi ketika kematian itu bisa dibatalkan. Tak hanya menerka, kukira, tapi juga berharap. Bukan hanya Ning, sepertinya kami semua pernah berpikir hal serupa: bagaimana kalau Ambu tidak meninggal 8 bulan lalu? Bagaimana kalau kematian itu tidak pernah datang dan besok pagi Ambu ada di rumah, dengan wajah dan tubuh yang segar bugar sedang menyiram tanaman?
Sungguh imajinasi yang menyenangkan, meski kami kerap lupa bahwa itu pikiran yang cukup egois. Kehilangan tetap menyakitkan, tapi berharap takdir bisa dibelokkan tak memberikan dampak apa pun selain hati yang semakin nelangsa. Ambu sudah meninggal, dan itu tentu saja yang terbaik. Tidak sakit lagi, tidak batuk lagi, dan diselimuti ketenangan entah di mana pun Ambu berada saat ini.
Ambu, umurku tiga puluh enam. Tidak muda lagi. Aku tidak tahu kapan ujung usia itu akan tiba, tapi tentu semakin dekat. Aku tidak tahu apa-apa soal hidup pasca kematian. Namun, saat hari itu tiba, semoga kita semua bisa berkumpul lagi. Semua orang ada di rumah, menonton sinetron di ruang tengah, makan tempe goreng atau martabak keju, dan minum teh tubruk hangat bersama-sama dari gelas yang besar itu.
Saturday, December 23, 2023
kompas
Sunday, August 7, 2022
apakah tidak sebaiknya menyerah saja dan terima bahwa kita sesungguhnya memang tidak tahu apa-apa?
Ia jenis orang yang tidak pernah memikirkan apa pun. Namun, malam itu ia memikirkan sesuatu yang membuatnya gelisah. Ia memikirkan kematian.
Membayangkan ketiadaan, kekosongan, dan hal-hal lain yang tak mampu ia petakan pasca seseorang mati membuatnya merasa bingung dan sedikit takut. Ia membuka laptop, menyetel musik, dan merenungkan betapa aneh dan tidak masuk akalnya bahwa pada suatu titik semua orang akan mati lalu memasuki kegelapan abadi dan meninggalkan segala hal yang mereka miliki, kenali, ketahui, benci, idamkan, perjuangkan, dan cintai.
Kemudian ia membuka kulkas, mengambil alpukat yang tinggal separuh lalu menaburkan gula di atasnya dan memakannya dengan sendok. Sembari mengunyah, ia bertanya-tanya mengapa kematian, sebagai sebuah fenomena alam, masih saja menerbitkan perasaan yang kurang menyenangkan bagi manusia. Ia bertanya-tanya mengapa manusia, dengan proses pembelajarannya yang begitu panjang selama ribuan tahun tidak bisa menempatkan kematian sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja seperti bangun pagi atau menggoreng telur atau rapat RT atau mencabut uban.
Tiga jam kemudian, ia mulai lelah --atau mungkin bosan-- memikirkan kematian. Ia menutup laptop, mematikan lampu, menyalakan kipas, berbaring di kasur, menarik selimut, dan bertanya pada dirinya sendiri, "Dari tadi sibuk memikirkan kematian, memangnya kau pernah benar-benar hidup?"
Wednesday, October 6, 2021
omong kosong 4.0 #9
Sebelum pukul empat biasanya anak-anak telah menunggu di samping pos kamling. Ada yang sudah mandi dan rapi jali dengan bedak masih jelas di muka, ada pula yang baru selesai bermain dengan baju berlumur lumpur dan muka berdebu.
Mereka menunggu Paman Odong-odong. Saban hari, setiap pukul empat sore, ia tiba di tempat itu. Melayani anak-anak yang berniat menebus bungah dengan selembar lima ribu rupiah.
Pukul empat tepat, Paman Odong-odong belum datang. Anak-anak itu masih terlihat santai. Telat beberapa menit saja tak masalah, pikir mereka.
Lima menit berlalu, belum ada tanda-tanda kehadirannya.
Sepuluh menit, lagu-lagu anak dari speaker odong-odong yang biasanya nyaring terdengar sampai ujung gang, belum kunjung muncul.
Lima belas menit, beberapa anak mulai gelisah.
"Ada yang aneh, tidak seperti biasanya."
"Betul, Paman Odong-odong tak pernah terlambat barang sedetik pun."
"Mungkin ada suatu keperluan yang masih ia lakukan."
"Keperluan apa?"
"Ya, tidak tahu. Makan di warung, numpang merokok di pangkalan ojek, membeli sayur, mengurus anak, apa pun."
"Memang ia masih melakukan itu semua?"
"Tidak tahu, aku hanya mengira-ngira saja."
"Tapi tetap saja ini aneh, selama bertahun-tahun ia selalu datang tepat waktu."
"Bagaimana jika hari ini dia tidak datang?"
"Tidak mungkin! Paman Odong-odong pasti datang!"
"Ya, kita tidak boleh secepat itu kehilangan harapan. Ia bukan Godot. Penantian kita takkan sia-sia."
Setengah jam.
Empat puluh menit.
Hanya ada kesunyian.
Sebagian besar anak sudah lesu. Keteguhan hati mereka mulai rapuh. Satu per satu memutuskan untuk pulang. Kekecewaan dan perut lapar bukanlah kombinasi yang menyenangkan.
Baru beberapa langkah berjalan, mereka mendengar sesuatu dari ujung gang. Bukan lagu anak-anak, tapi sebuah letusan senapan.
Sontak mereka berlari ke arah keributan. Di ujung gang, mereka melihat sepasukan bersenjata lengkap, menggiring seorang pria dari dalam rumah.
Di antara pasukan itu, anak-anak melihat satu sosok yang sangat mereka kenal. Kali ini, alih-alih mengayuh odong-odong, sosok itu menenteng senjata laras panjang. Ia mengedipkan sebelah mata ke arah mereka kemudian berlalu pergi sebelum orang-orang kampung berhamburan keluar.
omong kosong 4.0 #8
Monday, October 4, 2021
omong kosong 4.0 #7
Sejak tempat produksi minuman kerasnya tutup lantaran digerebek polisi, Badrun kini menganggur. Ia tak memiliki keahlian apa pun selain meracik alkohol, sesuatu yang diwariskan kakek dan bapaknya, yang juga hanya mampu melakukan itu sepanjang hidupnya.
Di sela-sela waktunya (yang tentu saja selalu sela), Badrun memiliki hobi baru: menonton orang bermain tenis di lapangan sebelah alun-alun setiap Minggu pagi. Seumur hidup ia belum pernah bermain tenis. Menurutnya, tenis adalah olahraga milik orang berduit, serupa dengan golf. Badminton, sepakbola, catur, semua orang bisa melakukannya di mana saja, bahkan di gang atau lapangan dekat sawah dengan peralatan seadanya. Sementara tenis, memerlukan persyaratan-persyaratan yang tidak bisa ditebus oleh orang sepertinya.
Maka begitulah, setiap Minggu pagi ia duduk di trotoar, menyaksikan pejabat, orang berpengaruh, pengusaha, dan kolega mereka yang entah siapa mengayunkan raket dari balik kawat besi.
Istri Badrun awalnya tidak senang dengan hobi suaminya.
“Mas, kowe ki timbangane ra ono gawean mending golek duit.”
Badrun bergeming. Ocehan istrinya tak lebih dari angin lalu. Setiap Minggu pagi, ia tetap berangkat ke lapangan. Lama-lama istrinya jengah juga. Biarlah, pikirnya, mungkin itu rekreasi bagi suaminya. Mungkin Badrun sangat ingin bermain tenis dan sudah cukup puas dengan hanya menontonnya.
Tapi, yang tidak diketahui istrinya adalah ini: setiap orang-orang itu memukul bola, Badrun membayangkan bola-bola sebagai kepala pejabat, orang berpengaruh, pengusaha, dan kolega mereka yang entah siapa itu. Ia membayangkan kepala mereka dihantam raket ke lapangan yang keras, memantul, untuk kemudian dihantam lagi berkali-kali.
Ia membayangkan wajah memar, gigi rontok, mata bonyok, dan batok kepala pecah menghamburkan otak dan darah.
Menyaksikan itu, Badrun tak hanya tergelak, kadang ia juga tertawa begitu nyaring, begitu nyaring sampai ia tersedak.
“Ini baru hiburan,” katanya.
omong kosong 4.0 #6
Kampungku banjir lagi, kali kedua di tahun ini. Tak separah yang pertama, hanya dua meter. Tempo hari bagian rumahku yang tidak terendam hanya antena tivi, kali ini lumayan, lampu di atap tidak kena air jadi bapak tidak perlu pusing lagi berutang lampu baru di warung Wak Soleh. Pagi tadi beberapa wartawan datang meliput. Sebagian langganan ke sini, sebagian baru sekali kulihat. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan standar tentang apa yang kami rasakan melihat kampung kebanjiran, apa harapan kami terhadap pemerintah untuk menangani banjir, dan seterusnya. Salah seorang wartawan, yang baru pertama kali kulihat, bertanya kenapa kami tidak pindah saja dari sini, toh kampung ini setiap tahun langganan banjir. Kujawab kami tidak keberatan dengan banjir karena kami memiliki insang. Ia tertawa canggung. Kuulangi, kami tidak keberatan dengan banjir karena kami memiliki insang. Ia tak lagi tertawa, mungkin menganggapku kurang waras lalu pergi mewawancarai petugas BPBD yang sedang mendistribusikan sembako. Malamnya para wartawan dan relawan pergi. Kampung kembali sunyi, dan kami semua kembali ke rumah masing-masing, lelap tertidur di dasar air.