Wednesday, October 6, 2021

omong kosong 4.0 #9

Sebelum pukul empat biasanya anak-anak telah menunggu di samping pos kamling. Ada yang sudah mandi dan rapi jali dengan bedak masih jelas di muka, ada pula yang baru selesai bermain dengan baju berlumur lumpur dan muka berdebu.

Mereka menunggu Paman Odong-odong. Saban hari, setiap pukul empat sore, ia tiba di tempat itu. Melayani anak-anak yang berniat menebus bungah dengan selembar lima ribu rupiah.

Pukul empat tepat, Paman Odong-odong belum datang. Anak-anak itu masih terlihat santai. Telat beberapa menit saja tak masalah, pikir mereka.

Lima menit berlalu, belum ada tanda-tanda kehadirannya.

Sepuluh menit, lagu-lagu anak dari speaker odong-odong yang biasanya nyaring terdengar sampai ujung gang, belum kunjung muncul.

Lima belas menit, beberapa anak mulai gelisah.

"Ada yang aneh, tidak seperti biasanya."

"Betul, Paman Odong-odong tak pernah terlambat barang sedetik pun."

"Mungkin ada suatu keperluan yang masih ia lakukan."

"Keperluan apa?"

"Ya, tidak tahu. Makan di warung, numpang merokok di pangkalan ojek, membeli sayur, mengurus anak, apa pun."

"Memang ia masih melakukan itu semua?"

"Tidak tahu, aku hanya mengira-ngira saja."

"Tapi tetap saja ini aneh, selama bertahun-tahun ia selalu datang tepat waktu."

"Bagaimana jika hari ini dia tidak datang?"

"Tidak mungkin! Paman Odong-odong pasti datang!"

"Ya, kita tidak boleh secepat itu kehilangan harapan. Ia bukan Godot. Penantian kita takkan sia-sia."

Setengah jam.

Empat puluh menit.

Hanya ada kesunyian.

Sebagian besar anak sudah lesu. Keteguhan hati mereka mulai rapuh. Satu per satu memutuskan untuk pulang. Kekecewaan dan perut lapar bukanlah kombinasi yang menyenangkan.

Baru beberapa langkah berjalan, mereka mendengar sesuatu dari ujung gang. Bukan lagu anak-anak, tapi sebuah letusan senapan.

Sontak mereka berlari ke arah keributan. Di ujung gang, mereka melihat sepasukan bersenjata lengkap, menggiring seorang pria dari dalam rumah.

Di antara pasukan itu, anak-anak melihat satu sosok yang sangat mereka kenal. Kali ini, alih-alih mengayuh odong-odong, sosok itu menenteng senjata laras panjang. Ia mengedipkan sebelah mata ke arah mereka kemudian berlalu pergi sebelum orang-orang kampung berhamburan keluar.

No comments:

Post a Comment