Sunday, March 22, 2020

meringkuk dalam gua

Hari kesepuluh semenjak dikeluarkannya memorandum terkait pencegahan corona di tempat kerja, kantor terasa semakin lengang. Beberapa poin perihal social distancing yang awalnya saya anggap agak berlebihan, saat ini menjadi hal yang biasa. Karyawan diimbau untuk sesedikit mungkin bertemu dengan orang lain. Belum ada arahan untuk work from home secara total memang, tapi ada batasan untuk jumlah karyawan yang boleh datang ke kantor. Sepi sekali rasanya.

Apa lagi, saya bekerja dalam divisi kehumasan. Nyaris tak ada yang bisa dikerjakan belakangan ini, baik di kantor maupun di rumah. Pekerjaan saya sebagian besar berhubungan dengan orang lain, pekerjaan yang mensyaratkan interaksi yang kini dibatasi. Beberapa program bulanan dibatalkan, roadshow ke berbagai daerah yang menjadi agenda rutin sepanjang bulan Ramadan dibatalkan, liputan berita untuk media internal dibatasi, media gathering dibatalkan. Ini semua terasa seperti weekend super panjang yang kurang menyenangkan. Ganjil sekali, hari-hari belakangan ini saya justru rindu bekerja.

Bukankah menakjubkan, betapa tatanan sosial, ekonomi, politik, dan entah apa lagi yang selama ini terasa mapan mampu dijungkirbalikkan oleh makhluk kecil ini? Betapa kita ternyata sangat rapuh dan segala pencapaian yang kita raih dalam ribuan tahun episode peradaban seolah tak ada apa-apanya di hadapan sebuah virus. Betapa kita sesungguhnya tak berbeda dari manusia purba yang meringkuk ketakutan di dalam gua saat geledek menyambar di malam buta, tak peduli secanggih apa pun teknologi yang tertanam pada segala perangkat di sekeliling kita.

Kita takut dan bersedia melepaskan apa pun yang kita punya agar selamat dari pandemi ini. Setiap grafik, setiap data, setiap temuan atas fenomena ini membuat kita semakin cemas, membuat kita rajin memanjatkan doa agar petaka ini kalau bisa hanya menimpa orang asing di seberang lautan sana, dan bukan tetangga apa lagi diri kita. Kita meletakkan jarak sekian hasta dari orang lain dengan harapan tak ada nasib buruk yang diam-diam menyusup ke saku baju atau lubang hidung. Ribuan tahun kemudian, kita kembali meringkuk di lantai gua masing-masing.

Seolah segala keterasingan ini belum cukup gloomy, hidup kita juga masih harus dibumbui dengan berbagai macam hal yang membuat kita mengurut dada: omong kosong milik para buzzer, para politikus yang perilaku dan congornya sama-sama mengkhawatirkan, penimbun masker dan hand sanitizer, ambruknya pasar modal, serbuan informasi yang tak jelas kebenarannya di grup chat, serta bayangan suram tentang perantau yang kemungkinan tidak bisa berlebaran di kampung halaman.

Tapi, separah apa pun keadaan hari ini, semua akan lewat belaka. Hidup akan kembali normal serupa sedia kala. Vaksin akan ditemukan, yang sakit akan sembuh, ekonomi akan membaik, dan kota akan kembali diisi hiruk pikuk. Manusia adalah spesies paling tangguh dan keras kepala yang pernah berjalan di atas planet ini. Sepandir apa pun kita, kita mampu untuk membangun kembali rumah dari puing terakhir yang ditinggalkan oleh bencana sebesar apa pun. Kita tak akan punah jika bukan kita sendiri yang berinisiatif melakukan bunuh diri massal.

Tenang saja, kita telah dikutuk untuk berumur panjang.

3 comments:

  1. Well hai! Awal mula saya baca blogmu adalah bloh tentang Tabalong dalam mdl9 karena saya sedang akan mencoba analog tersebut baru2 ini dan ingin tau beberapa review dari analog tersebut. Setelah membaca blog tsb saya iseng utk membaca blog lainnya. And wow i really enjoying ur blog! 🖤

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete