Monday, June 15, 2015

pada suatu hari ketika dua orang asing hendak melakukan hal buruk kepadaku

Pukul lima sore. Jalan yang kulewati ini tampak semakin sepi. Biasanya jalan itu memang selalu sepi. Hanya segaris jalur sempit penghubung dua jalan besar di tengah kota yang murung ini. Hari ini mendung, mungkin membuat orang malas keluar rumah, membuat jalan ini makin sepi.

Aku hampir sampai di ujung jalan ini ketika sebuah sepeda motor tiba-tiba saja menyeruduk dari belakang, memepet motorku, hingga akhirnya berhenti melintang tepat di depanku. Pengemudinya dua orang dengan helm tertutup, satu menggunakan jaket kulit, satu mengenakan jaket jeans lusuh. 

Yang dibonceng, mengenakan jaket jeans lusuh, bergegas turun dan menghampiriku dengan pisau di tangannya.

Celaka! Begal!

“Serahkan tasmu!” kata si begal dengan jaket jeans lusuh, sambil mengacungkan pisau yang berkilat di tangannya dengan canggung.

Aku tidak sedang berminat berkelahi, apalagi dengan situasi yang tidak mendukung seperti ini. Jalan sempit nan sepi, tidak ada orang yang bisa membantuku. Lagi pula, ini yang paling penting, aku jauh lebih sayang nyawaku daripada tasku, meskipun apa yang ada di dalamnya mungkin bisa membuatku tetap bisa makan selama beberapa waktu ke depan.

Kuserahkan tas punggungku pelan-pelan. Si begal buru-buru meraihnya, kemudian sedikit tersungkur menanggung berat tasku.

“Buset, berat banget! Apa isinya?” seru si begal berjaket jeans lusuh.

“Senja,” jawabku.

“Apa?”

“Senja.”

“Hah?!” kedua begal itu terdengar bingung.

“Itu sepotong senja, untuk bahan tulisanku.”

“Kau penulis?” tanya si begal berjaket kulit dari motornya.

“Ya, penulis cerpen, kadang puisi juga,” jawabku.

“Pasti kau miskin,” katanya lagi.

“Dari mana kau tahu?” tanyaku. Padahal aku sudah sebisa mungkin memoles penampilanku agar selalu terlihat dandy, meski saldo di rekeningku sebenarnya minus, karena sudah lama tak ada surat kabar yang mau memuat tulisanku.

“Bung,” kata si begal berjaket jeans lusuh, kali ini pisau di tangannya tidak lagu teracung padaku, “sewaktu Seno Gumira menuliskannya bertahun-tahun yang lalu, senja memang sesuatu yang sangat seksi. Tapi hari ini, senja telah jadi super klise. Bahkan mendengar kata itu saja aku jadi sebal. Jangan gunakan benda itu lagi jika kau ingin tulisanmu laku.”

“Apa lagi yang ada di dalam tasmu?” tanya si begal berjaket kulit.

“Hujan, kopi, dan hubungan jarak jauh.”

Kedua begal itu lalu berpandangan. Terdengar helaan nafas mereka berdua dari balik helm, seakan baru saja mendengar sesuatu yang mengecewakan. Si begal berjaket jeans lusuh mengembalikan tasku dengan hati-hati. Ia merogoh kantong celananya, mengeluarkan selembar lima puluh ribuan, dan memberikannya padaku.

“Ini, belilah makanan, kau ternyata lebih miskin dari kami. Saranku, sebaiknya kau cari pekerjaan lain saja. Hati-hati di jalan,” katanya dengan nada prihatin.

Kedua begal (atau kedua orang itu, berhubung mereka tidak jadi membegalku) pergi secepat mereka datang, meninggalkanku sendirian di tengah jalan yang sempit dan sepi ini, dengan langit yang semakin mendung, dan perutku yang keroncongan. Sial, aku lapar.

3 comments: