Sunday, December 8, 2013

badai

Di pos keamanan ini, himbauan untuk mengenakan pelampung tertulis besar-besar. Untuk perusahaan yang bermain di medan penuh resiko, himbauan-himbauan untuk selalu memperhatikan keselamatan diri semacam itu ditempatkan di setiap detil aktivitas. Sesuatu yang mungkin terkesan berlebihan untuk masyarakat umum. Kami mengenakan pelampung, lalu keluar menuju dermaga kecil tempat beberapa speed boat milik karyawan ditambatkan. Sepuluh menit kemudian, perahu yang akan membawa kami menuju desa di sebelah hulu sungai datang.

Perahu menyusuri Sungai Barito yang lebar itu dengan cekatan. Kami melewati dua kapal tongkang yang sedang merapat, berton-ton batu bara sedang dimuntahkan ke dalamnya dari conveyor yang panjang dan tergesa-gesa. Bongkahan-bongkahan batu bara itu tampak seperti barisan manusia yang berdesakan di atas eskalator yang ujungnya adalah wahana terjun bebas.

Setelah melewati sederetan hutan bakau dan nelayan yang sedang menjala, desa itu sayup-sayup mulai nampak dari kejauhan. Atap-atap bangunan sarang walet menjulang dengan ganjil, seperti gedung setengah jadi yang bersanding dengan rumah-rumah panggung. Perahu kami merapat di “dermaga” desa. Setelah lompat dari perahu, kami harus menjaga keseimbangan melewati sebongkah kayu licin yang diniatkan sebagai jembatan kecil.

Jalanan yang becek, minimnya sarana pembuangan sampah yang mengakibatkan sampah berceceran di mana-mana, serta mobilitas warganya yang terbatas karena lokasi desanya dibatasi oleh air mengingatkan saya pada Kampung Laut di Nusakambangan sana. Bedanya, jika rumah-rumah di Kampung Laut seluruhnya terbuat dari beton, di desa ini hampir seluruh bangunan terbuat dari kayu, kecuali bangunan-bangunan sarang walet itu.

Kami berjalan melewati masyarakat yang kebanyakan sedang leyeh-leyeh di teras rumah mereka. Teman saya menyapa setiap orang yang kami temui dengan bahasa Banjar. Mereka membalas dengan senyuman. Beberapa menawarkan kami untuk mampir ke rumah mereka. Rupanya teman saya cukup akrab dengan masyarakat desa ini.

Kami berhenti di depan sebuah rumah. “Ini tujuan kita, rumah kepala desa,” kata teman saya. Kami disambut oleh seorang pria muda yang hangat. Usianya mungkin sekitar 30-an. Setelah dipersilahkan masuk dan duduk di kursinya, pria itu pergi ke dapur untuk menyiapkan minum untuk kami. “Dia baru saja jadi kepala desa. Dia teman baikku,” kata teman saya.

Kami disuguhi kopi yang luar biasa manis. Kata teman saya belakangan, kopi yang super manis begitu adalah racikan khas penduduk pesisir sungai.

“Apa kabar?” kata kepala desa.

“Baik, baik,” jawab teman saya sambil tersenyum lebar.

Lalu obrolan yang sebagian besar diucapkan dalam bahasa Banjar mengalir di antara mereka. Meskipun saya hanya paham sedikit-sedikit, tapi saya tahu itu adalah obrolan remeh-temeh. Sampai suatu saat, teman saya berkata dengan mimik serius.

“Aku dapat informasi, katanya masyarakat hendak demo?”

“Iya.”

“Apakah tuntutan masyarakat tidak bisa dibicarakan baik-baik dengan kami?”

“Kami sudah bosan bicara. Kerbau kami mati ditabrak mobil trailer kalian, kami minta ganti rugi. Hanya sesederhana itu.”

“Kami selalu terbuka untuk dialog. Jika memang ada kasus, mari kita melewati proses hukum yang benar.”

“Kawan, kedatanganmu ke sini tidak akan mengubah apapun. Kami akan tetap berdemo.”

“Bagaimana jika perusahaan meminta kalian tidak berdemo? Karena itu akan mengganggu kegiatan produksi kami.”

“Hehehe. Kawan, jika aku memberitahumu kami akan demo, itu adalah pemberitahuan, bukan permintaan izin.”

Teman saya terdiam.

“Kapan rencana demonya dilakukan?”

“Senin besok.”

Lalu angin canggung berhembus. Kami terdiam cukup lama. Akhirnya kami pamit kepada kepala desa. Saya menghabiskan kopi saya yang sudah dingin, rasanya bertambah manis. Kami bersalaman, kemudian berjalan menuju “dermaga”. Sebelum naik perahu, kami melihat langit mulai menghitam di bagian hilir sungai. Angin pelan-pelan terasa semakin kencang.

Sepertinya akan ada badai.

3 comments:

  1. Ceritanya epik sekali. Kisah ini pasti selalu ada di setiap daerah yang ada pertambangannya atau industrinya yang dibuat oleh manusia modern di kawasan yang secara infrastruktur pun masih minim. asik banget bisa rasain langsung. jadi buku tuh bi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Tapi yang jelas, kisah-kisah macam ini tu sebenernya sangat kompleks, sama sekali ga bisa diliat secara hitam-putih...

      Delete
    2. Kompleksitasnya itulah yg akan jadi "seni"-nya tulisan kita. Pada akhirnya kompleksitas itu yg harus digali, usaha dalam menggali dan mengemasnyalah yg menjadi nilai jual dari tulisan kita.

      Delete