Monday, November 14, 2011

footlose and fancy free

Dalam "Into The Wild", Alexander Superstramp alias Christopher McCandless bilang bahwa kebahagiaan itu tidak datang dari hubungan antar manusia, makanya dia memutuskan untuk meninggalkan kehidupan mapannya, meninggalkan keluarga dan semua uangnya untuk kemudian pergi sendirian ke utara, ke Alaska. Untuk apa? Untuk menemukan dirinya, untuk menemukan kebahagiaan di tengah kesendiriannya.

Sepertinya ide untuk menarik diri dari pola hidup yang telah terbentuk selama bertahun-tahun, mengendap dalam bawah sadar, untuk kemudian diyakini sebagai sesuatu yang seharusnya pernah muncul dalam benak siapa pun. Begitu pula saya. Sehabis menonton film tersebut beberapa tahun yang lalu, saya selalu terobsesi untuk melakukan perjalanan sendirian, ke tempat yang jauh, yang benar-benar di luar jangkauan rasa aman dan nyaman saya. Tetapi berbagai kesibukan saat itu tidak pernah mengizinkan saya untuk melakukannya, sehingga obsesi itu akhirnya takluk juga oleh kenyataan bahwa segala sesuatu --bahkan yang terliar sekalipun-- itu menunggu saat yang tepat untuk terjadi.

Saat ini ketika saya telah memiliki banyak waktu untuk melakukan lebih banyak hal yang dulu tidak bisa saya lakukan, seperti melakukan perjalanan sendirian, saya malah tidak melakukannya. Karena ketika hidupmu tidak lagi menawarkan tantangan, ketika tidak ada lagi beban-beban yang membuatmu sulit untuk sekedar menghela nafas, akan sulit untuk menemukan alasan yang tepat untuk dirimu sendiri kenapa kamu beranjak dari itu semua. Justru saya malah merindukan itu semua, saat-saat dimana sulit bernafas karena pekerjaan yang sepertinya tidak pernah habis justru menjadi momen yang paling melegakan.

Apakah hubungan antar manusia benar-benar tidak menawarkan kebahagiaan yang dapat direguk di dalamnya? Saya tidak tahu. Yang jelas memang kadang relasi dengan orang lain akan membuat gesekan-gesekan dalam pikiran yang membuat kita tidak nyaman. Karena bukankah ketika berhubungan dengan orang lain sebenarnya tanpa sadar kita telah sepakat untuk berbagi dunia dengannya? Kemudian ketika suatu hari terjadi sesuatu dalam hubungan itu yang bertabrakan dengan konsepsi-konsepsi kita tentang hidup, tentang dunia personal yang kita masing-masing miliki, itu akan menimbulkan friksi dalam hati kita?

Lalu apakah sebaiknya setiap orang hidup dalam dunianya sendiri dan berkubang dalam kepercayaan-kepercayaan serta egonya masing-masing sehingga dunia personalnya yang ideal tidak perlu terkontaminasi oleh masalah-masalah yang datang dari galaksi kehidupan orang lain? Entahlah, yang jelas ada konsekuensi untuk setiap hal yang terjadi.


Tapi saya tidak suka ending dari film itu (yang sebenarnya adalah ending dari kehidupan nyata seseorang). Ketika akhirnya sebelum mati McCandless bilang bahwa kebahagiaan itu hanya ada jika dibagi, bahwa manusia itu tidak akan bahagia ketika tidak ada orang lain di sekelilingnya. Bukan ide tentang kebahagiaan itu yang mengganggu, tetapi bahwa dia mengatakan hal yang sama sekali kontradiktif dengan kepercayaannya selama ini ketika dia tengah menghabiskan masa-masa terakhir hidupnya di tempat yang sangat dia impikan dan membutuhkan perjuangan yang keras untuk bisa sampai di sana adalah kenyataan yang benar-benar menyebalkan untuk dilihat.

Semacam seseorang yang berhasil menjual gelang Power Balance kepada orang banyak untuk kemudian berkata bahwa sebenarnya gelang-gelang itu tidak memiliki efek apa pun. Yah, begitulah.

2 comments:

  1. kebahagiaan itu hanya ada jika dibagi

    kalau aku mah setuju sama yang itu bi..
    aku ga pernah bisa membayangkan bahagia sendirian, ujung2nya sama siapa kita nunjukin kalau kita bahagia? terkesan pamer ya? emang iya.. hehe

    ReplyDelete
  2. loh kan bisa update status, jadi bisa nunjukin walopun dinikmatin sendirian tuh hehe

    ReplyDelete