Tuesday, February 1, 2011

aufklärung

"ketika kamu meminta keimanan pada-Nya, apakah Dia akan memberimu keimanan atau kesempatan untuk beriman?"
Semua ini berawal dari sesuatu yang datang kepada saya sekitar 3 minggu yang lalu. Sesuatu, sebut saja sebuah masalah. Masalah yang cukup besar dalam ukuran saya. Kemudian seperti yang sudah diduga: saya merengek-rengek pada Tuhan untuk membantu saya menyelesaikan itu. Saya kembali sholat, saya kembali berdoa. Terdengar menyedihkan ya? Tipikal manusia sok skeptis dan sok kritis terhadap kebenaran agama dan eksistensi Tuhan tapi begitu membutuhkan bantuanNya ketika mendapat masalah.

Tapi saat itu semakin sering saya sholat dan berdoa justru saya semakin tersiksa. Saya tersiksa karena saya sama sekali tidak merasakan apa-apa dalam momen-momen saya berinteraksi dengan Tuhan. Bahkan bukan merasa kosong, saya merasa kering, sangat kering. Dan sungguh ironis, saya justru semakin takut dengan masalah yang sedang saya hadapi. Ditambah saat itu saya juga sebenarnya masih skeptis dengan semua hal yang bersifat rohaniah. Dalam kata lain: saya masih belum yakin apakah Tuhan benar-benar ada atau tidak.

Kemudian tibalah pada suatu malam dimana saya sedang membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang spiritualis, buku yang telah sejak lama saya beli tapi baru kali itu saya benar-benar tertampar oleh isinya. Entah buku itu berfungsi sebagai trigger atau apa, yang jelas saat itu saya benar-benar merasa --maaf jika selanjutnya istilah atau kata-kata saya terdengar seperti seorang hipokrit-- tercerahkan. Saya merasakan sebuah perasaan yang begitu janggal: begitu membahagiakan, begitu mengharukan. Saya bahkan sampai ingin menangis saking bahagianya malam itu. Kemudian saya melakukan sholat paling nikmat yang pernah saya rasakan seumur hidup, saya merasakan kehadiranNya. Saya bahkan lupa sama sekali terhadap masalah saya saat itu.
"kau terus mencariKu dalam buku-bukumu, kau terus membicarakan dan memperdebatkanKu dengan teman-temanmu. kapan kau akan berhenti mencari dan mulai melihat?"
Lalu beberapa hari setelahnya saya melakukan perjalanan ke Bali. Sebuah perjalanan yang beberapa teman menyebutnya "perjalanan spiritual" bagi saya. Saya hanya tersenyum ketika mereka mengatakan itu. Karena jujur saja, Bali memang memiliki aura yang sangat berbeda dibanding semua tempat yang pernah saya datangi, setidaknya itulah yang saya rasakan ketika pertama kali kesana setahun yang lalu --dan tempo hari pun saya masih merasakan hal yang sama--.

Dan mirip dengan kisah Dewa Wisnu yang bermanifestasi ke dalam 10 bentuk (awatara), saya merasakan Tuhan bermanifestasi ke dalam berbagai bentuk makhlukNya
  • Saya membaca Tuhan yang bermanifestasi dalam buku Wizard of Oz dalam perjalanan 13 jam saya di kereta Sri Tanjung menuju Banyuwangi,
  • Saya melihat Tuhan yang bermanifestasi dalam Pura Gunung Kawi yang diukir dengan sangat hati-hati pada batu-batu curam ratusan tahun lalu,
  • Saya mendengar Tuhan yang bermanifestasi dalam ucapan seorang tukang eskrim yang kami temui di Mesjid Al-Muhajirin Kintamani, "Saya juga dari Jawa Mas, baru 5 hari tinggal disini. Tadi saya jalan dari bawah, kirain mesjidnya deket, ternyata jauh juga ya Mas, 6 kilo heheh", atau dari pertanyaan seorang teman baru asal Bali yang beragama Hindu, "sebenarnya jihad tu apa sih, Bi?"
  • Saya menghirup Tuhan yang bermanifestasi dalam harum teratai yang mengelilingi Taman Ayun,
  • Saya meraba Tuhan yang bermanifestasi dalam rekahan dan tonjolan tebing di Pantai Padang-Padang,
  • Saya merasakan Tuhan bermanifestasi ke dalam bentuk yang paling sederhana dan paling kompleks dari ciptaanNya.
Tetapi tentu saja, dibalik suasana euforik ini, ada kekhawatiran yang terkadang muncul: benarkah ini benar-benar Dia? Benarkah ini bukan sekedar produk dari ketidaksadaran kolektif akan citra Tuhan seperti yang dikatakan oleh Jung? Benarkah ini bukan sekedar efek dari totemisme seperti yang dikatakan oleh Freud? Dan lebih parah lagi, apakah ini bukan gejala skizofrenik? Saya harap bukan. Dan jika pun iya, saya senang, karena kali ini saya mempunyai sesuatu untuk diyakini. Dan jika ini adalah sebuah fase, saya harap fase ini tidak terlalu cepat berakhir. Amin.
"Do the people think that they will be left to say, "We believe" and they will not be tried?"
"But We have certainly tried those before them, and God will surely make evident those who are truthful, and He will surely make evident the liars." (Al-Ankabut 2-3)

10 comments:

  1. anyhow,, aku suka bgt postingan kali ini..

    good job, bi.. :)
    bsk kutraktir conello deh kalo aku abis sidang skripsi..
    hhe..

    ReplyDelete
  2. wohh parah km dhit, udah sidang duluan, cuma ngasih conello lg..ckck

    ReplyDelete
  3. sidang juga masih setengah taun lagi kali,,bi..
    santaiiii.. ;p

    ReplyDelete
  4. wohooo...keharuan yang mencengangkan..kesederhanaan yang nampak kompleks...

    ReplyDelete
  5. waaa saya udah lama gak liat blog kamu, bi.
    (abis dulu asa jarang di update :P)
    jadi halus gini ey tulisan teh...mantep!

    (komen sekilas nu siga di fesbuk. hkhk.)

    ReplyDelete
  6. emang terasadapet juga setiapdeskripsi tentang sebuah perenungan.......

    ReplyDelete
  7. delirious: haha yoi da, 2 hari yg lalu curhat galau sama si isal sendy ngomongin ini. btw naha blog km jd aneh tampilannya?

    anonymous: setelah saya renungkan, anda dua kali lupa menekan spasi hoho

    ReplyDelete
  8. mas lulabi..saya suka tulisan2 km. bahkan jujur saya stalker FB mu hanya sekedar pgn tau status atau notes2 km. aku gak add km..please keep publish ya wall km di FB biar aku bisa baca tulisan2 km hehe

    ReplyDelete
  9. mas abi kamu keren

    ReplyDelete