Saturday, January 8, 2011

adzan, memori, dan romantisme masa lalu

Tiga hari yang lalu ketika saya naik Gunung Sindoro, saya kembali mendengar suara itu dari atas: suara adzan, tepatnya adzan shubuh. Suara yang sama ketika saya naik Merapi sekitar dua setengah tahun yang lalu. Bukan berarti saya belum pernah mendengar suara adzan, saya sudah hidup selama 21 tahun dan selama itu telinga saya tak pernah berhenti disusupi suara adzan dari berbagai media produk peradaban.

Tapi mendengar adzan dari atas gunung itu sungguh berbeda daripada mendengarnya di tengah hiruk-pikuk kota maupun di televisi. Mendengar adzan shubuh --dan sebenarnya bukan hanya adzan, ada doa-doa sebelum adzan yang saya tidak tahu namanya tapi saya sering mendengarnya waktu kecil-- ketika beristirahat sebelum lanjut mendaki sambil melihat lampu-lampu desa dan kota di kejauhan yang masih menyala karena langit masih gelap membuat semacam ada perasaan haru (atau sedih? saya juga tidak tahu apa namanya) dalam diri saya.

Saya percaya perasaan ini muncul bukan karena suara adzan atau doa-doa itu mempengaruhi sisi religius saya atau semacamnya, saya hanya menganggap itu adalah ulah alam bawah sadar saya yang mengembalikan memori masa kecil saya. Reaksi yang sama ketika saya mendengar takbiran menjelang lebaran. Setiap lebaran saya selalu dibuat sedih oleh romantisme masa kecil yang tiba-tiba menyeruak setiap mendengar takbir. Memori bulan puasa yang selalu membuat saya meratapi nasib untuk menjadi dewasa. Dan semua itu hanya dipicu oleh sebuah takbir.

Kemudian semalam saya menghadiri acara ulang tahun Fakultas saya. Sambil bercanda saya dan teman-teman satu angkatan mengatakan bahwa ini adalah ulang tahun terakhir yang akan kami hadiri, karena sebentar lagi kami semua akan lulus. Lalu tanpa sengaja melihat foto panitia penyambutan mahasiswa baru 2009 di Facebook dimana saya terlibat dalamnya. Dan ah ya lagi-lagi semua memori saya tentang kampus itu muncul, memori dari mulai saya masuk kuliah, mengenal perlahan-lahan teman-teman terbaik saya, memori tentang kehidupan mahasiswa, lalu kemudian kenyataan bahwa kami tak lama lagi akan meninggalkan kampus ini, memulai kehidupan baru sebagai orang (yang lebih) dewasa dan semacamnya membuat saya sedih.

Oke saya akui saya memang membenci perpisahan dan romantisme masa lalu yang datang pada saat yang tidak tepat. Dan entah kenapa seminggu ini saya selalu dikelilingi oleh hal-hal itu. Yah jika law of attraction itu memang benar-benar ada, berarti dia lah penyebabnya.

Dan sepertinya In My Life dari The Beatles cocok untuk jadi soundtrack tulisan ini:

There are places I remember
All my life though some have changed
Some forever not for better
Some have gone and some remain
All these places had their moments
With lovers and friends I still can recall
Some are dead and some are living
In my life I've loved them all

But of all these friends and lovers
There is no one compares with you
And these memories lose their meaning
When I think of love as something new
Though I know I'll never lose affection
For people and things that went before
I know I'll often stop and think about them
In my life I love you more

Though I know I'll never lose affection
For people and things that went before
I know I'll often stop and think about them
In my life I love you more
In my life I love you more

5 comments:

  1. bi, ini judul lagu the beatlesnya bukannya in my life ya?

    ReplyDelete
  2. oh iya salah ketik. thanks Mir koreksinya

    ReplyDelete
  3. untung aku belum lulus, hahaha

    -chio

    ReplyDelete
  4. *merinding, mata sedikit memburam, haru atau entah apa namanya

    ReplyDelete
  5. chio: wah ini, sisi positif kuliah lama. hehe piss..

    ilham: nonton film horor trs tiba2 ada adegan sedih?

    ReplyDelete