Saya berada di balkon lantai tiga sebuah kamar hotel di daerah padat wisatawan Malioboro. Hujan masih belum juga reda, tetapi riuh turis serta tukang becak yang menawarkan jasanya juga tak reda. Hasrat untuk berlibur dari rutinitas harian para turis dan kebutuhan akan beberapa rupiah dari para tukang becak yang siap mengantar mereka kemana saja sepertinya merupakan perpaduan yang lebih kuat dari keinginan untuk menghangatkan diri di dalam bangunan. Seperti yang saya lakukan saat ini, walau pun sebenarnya tidak begitu hangat juga, dengan berbatang-batang rokok menthol yang saya sesap dan segelas teh panas sisa siang tadi yang tentu saja tidak lagi panas, tapi tetap lebih nyaman dibanding berada di bawah sana, setidaknya menurut saya.
Tempat tinggi semacam ini selalu menghantarkan sensasi yang komplikatif untuk saya. Menyenangkan karena bisa melihat banyak hal dan bisa mendengar banyak suara dari bawah, membuat saya seperti pengamat yang bisa memperhatikan semua hal tapi tidak bisa dilihat oleh siapa pun. Di sisi lain menimbulkan perasaan hampa yang sesak, seolah seluruh dunia sedang berpesta di bawah sana dan kamu tidak diundang. Meski pun ini malam dan juga hujan, langit terlihat cukup terang. Cahaya buatan yang terpancar dari pemukiman padat penduduk di seberang sana cukup menjadi polusi cahaya yang ampuh untuk menyamarkan warna asli malam. Langit di selatan tampak lebih terang lagi. Sekaten di alun-alun adalah penyebabnya.
Saya baru saja kembali dari perjalanan menembus hujan deras mengelilingi Jogja bersama keluarga saya. Ada dua hal menarik yang saya lihat dari balik kaca mobil yang berembun dalam perjalanan tadi. Pertama adalah seorang perempuan yang duduk di kursi roda, sedang berusaha menyeberang jalan dibantu oleh seorang lelaki, entah saudaranya, adiknya, suaminya, atau mungkin orang yang kebetulan lewat. Perempuan itu memakai ponco, sementara si lelaki basah oleh hujan karena tidak memakai apa pun untuk melindungi tubuhnya selain pakaiannya. Si lelaki tampak kesulitan dan ragu-ragu ketika mendorong kursi si perempuan karena mungkin hujan yang deras membuatnya kesulitan melihat. Maka sementara keluarga saya sedang menertawakan dua orang perempuan yang asyik berfoto di area KM 0 padahal hujan sedang deras-derasnya, mata saya tidak bisa lepas dari lelaki dan perempuan berponco di kursi roda itu di sisi lain.
Kemudian ketika berhenti di lampu merah lain, saya melihat seorang kakek tua yang berjalan sangat tertatih, sangat pelan menyibak tirai lebat bernama hujan. Dia membawa tongkat yang berbunyi "cring, cring" setiap kali dia menghentakkannya ke tanah. Kakek itu buta. Berjalan sendirian di pinggir jalan yang padat kendaraan (dia bahkan tidak berjalan di atas trotoar), tanpa ada satu pun orang yang peduli padanya. Hanya sebentar saya memperhatikannya karena lampu kembali hijau.
Meski pun otak saya merekam dua kejadian tersebut dengan durasi yang tidak lama, namun keduanya terus berputar di kepala saya malam ini, seperti sebuah film pendek yang diputar di program multimedia yang alih-alih memiliki tombol "stop", dia memiliki tombol "repeat" yang telah diklik oleh seseorang, atau sesuatu. Sialnya meski pun adegan itu terus berputar dan mengganggu ketenangan saya, saya tahu tidak ada sesuatu pun yang bisa saya perbuat tentangnya. Saya semakin terganggu karena rasa kasihan biasanya hanya akan berujung pada kebencian dan kemarahan jika saya tidak melakukan apa pun untuk menawarnya. Hal inilah yang seringkali membuat saya memutuskan untuk mengabaikan hal-hal yang terjadi di sekitar saya yang tidak memiliki hubungan secara langsung dengan saya. Inilah yang membuat saya sering terkesan apatis terhadap orang lain padahal saya sendiri juga akan tersiksa jika memikirkannya.
Kadang kita merasa lebih baik saat membicarakan ketidakberuntungan orang lain bersama teman-teman kita. Seolah dengan membicarakan dengan penuh empati tentang kemiskinan atau kelaparan atau pembunuhan atau apa pun itu di belahan bumi mana pun akan membuat hidup mereka semua menjadi lebih baik, sementara kita membicarakannya di hidup kita masing-masing yang nyaman. Kadang kita juga merasa lebih baik saat kita mendoakan mereka. Ketika Merapi meletus tahun kemarin, saya paling benci dengan slogan "pray for Indonesia" yang diobral di berbagai media. Saya percaya Tuhan dan saya percaya dengan kekuatan doa, tapi ada kalanya ketika manusia membutuhkan sesuatu yang nyata, bukan sekedar doa. Ada kalanya ketika ungkapan "dua tangan yang bekerja lebih baik daripada seribu tangan yang berdoa" betul-betul bermakna harfiah. Maka saya tidak melakukan apa pun malam ini, tidak membicarakannya dengan siapa pun, tidak juga memanjatkan doa.
***
Bandung, 31 Desember 2011, 23.45
Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya selalu benci dengan tahun baru, terutama suara petasan atau kembang api atau apalah itu yang bikin sakit telinga. Setelah gagal untuk tidur padahal saya sudah berusaha membenamkan diri di bawah bantal dan meminum sebutir CTM agar lelap, dan karena untuk melanjutkan membaca "The Pilgrimage" yang tak kunjung saya khatamkan padahal telah sebulan sejak seorang teman meminjamkannya pada saya itu tidak mungkin di tengah gempuran ledakan seperti ini, maka saya memutuskan untuk menyelesaikan tulisan yang sebelumnya hanya tersimpan di draft ini.
Saya sudah memutuskan, malam ini saya akan sedikit berdamai dengan perayaan tahun baru dengan menganggap kebisingan demi kebisingan dari terompet dan kembang api itu adalah hadiah untuk orang-orang yang selama ini terlalu takut untuk saya pikirkan dan terlalu malu untuk saya doakan. Hal-hal yang saya benci tersebut juga sebenarnya merupakan kemewahan yang tidak sederhana untuk mereka. Maka saya akan menurunkan ego saya dan menikmati langit yang kembali tersamarkan warna aslinya oleh semburat warna-warni sepersekian detik. Mungkin sehabis ini saya juga akan berdoa. Semoga selamat alam semesta beserta isinya. Amin.