Ketika semester 1, saya ingat dosen antropologi saya pernah memberikan soal ujian yang kira-kira berbunyi "coba jelaskan fenomena mudik lebaran menurut teori apa saja yang Anda suka!". Jujur, bahkan sampai sekarang, saya masih belum bisa memahami mengapa orang-orang mau melakukan sesuatu bernama mudik. Mengapa orang-orang mau berdesak-desakan dalam berbagai angkutan transpotasi umum yang harga tiketnya lebih dari dua kali lipat harga normal. Mengapa orang-orang rela bermacet-macetan di jalan yang panas berdebu berjam-berjam, bahkan berhari-hari, belum lagi ditambah statistik kecelakaan yang selalu meningkat tajam.
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin mengusik saya ketika tempo hari saya melakukan perjalanan Jogja-Bandung saat arus balik sedang memuncak menggunakan mobil dengan waktu 24 jam. 24 jam! Sehari penuh. Memang saya pernah melakukan perjalanan selama dua hari dua malam ke Sumatera. Tapi 24 jam untuk ukuran Jogja-Bandung adalah sesuatu yang menggelikan. Jarak yang biasanya hanya saya habiskan selama 8 jam menggunakan kereta, atau paling lama 10 jam dengan mobil.
Mudik, asal katanya pastilah udik, atau desa. Jadi secara logika mudik adalah pergi ke udik, atau kembali ke desa. Nah pertanyaannya, mengapa harus setiap lebaran? Mengapa tidak hari lain dimana lalu lintas sedang-sedang saja, dan harga tiket normal-normal saja? Bukankah seharusnya kembali ke desa itu bisa kapan saja dilakukan?
Kemudian, lagi-lagi tulisan Umar Kayam menyadarkan saya. Dalam salah satu kolomnya, Umar Kayam bercerita tentang jenuhnya beliau dengan acara halal bi halal pasca lebaran di kantornya, karena bersalaman dengan ratusan orang seperti itu, pastilah melelahkan dan lama-lama suara yang keluar dari mulut para peserta halal bi halal bukanlah "sugeng riyadi, mohon maaf lahir batin" lagi, melainkan hanya "huh hah huh hah" saja saking lelah dan panasnya. Kemudian di rumah Umar Kayam menceritakan hal itu pada Mr. Rigen, pembantunya. Mr. Rigen menjawab dengan serius "Lha, Bapak ini bagaimana tho? Wong masih bisa halal bi halal, silaturahmi, kok ya masih saja mengeluh tho Pak. Kalau silaturahmi itu, Pak, tidak penting apa yang keluar dari mulut kita, yang penting hati kita itu berjabat, Pak, seperti ada ikatan itu. Wong kami di desa itu senang sekali, Pak, kalau ada acara seperti itu. Tidak penting pesertanya ratusan, yang penting kami senang."
Makjleb! Secara tidak langsung cerita itu mengatakan bahwa kacamata modern itu seringkali mereduksi romantisme yang ada pada hal-hal sederhana. Seringkali kacamata modern menuntut kita untuk menjadi serba terburu-buru dan serba pragmatis dalam menyikapi berbagai permasalahan. Kemudian saya menyadari, betapa saya selama ini telah memandang fenomena mudik dengan kacamata modern. Betapa saya tidak menyadari bahwa konsep mangan ora mangan kumpul milik orang Jawa (yang mungkin sudah menjadi konsep milik orang Indonesia secara keseluruhan) telah membuat mereka melupakan segala kesulitan yang menghadang selama proses mudik, yang penting bisa berkumpul bersama keluarga besar mereka di desa. Betapa mereka telah bekerja mengumpulkan uang selama setahun penuh untuk kemudian dipakai untuk sedikit-sedikit memberi saudara mereka di desa. Tidak penting berapa, yang penting bahagia. Betapa saya selama ini telah menyepelekan romantis sederhana semacam itu.
Kemudian saya teringat pada dosen Isu-Isu Kontemporer Psikologi Sosial saya beberapa hari yang lalu. Beliau mengatakan betapa selama ini masyarakat Indonesia telah salah mendefinisikan urbanisasi. Bahwa "perpindahan penduduk dari desa ke kota" yang dijejali kepada kita semenjak SD itu bukanlah definisi urbanisasi, melainkan migrasi. Sedangkan urbanisasi yang benar adalah pengurbanan, pengkotaan, entah secara wilayah maupun secara penduduknya yang dibikin menjadi kekota-kotaan. Nah dalam memandang hal-hal semacam fenomena mudik tadi, menurut saya kita harus sering-sering melakukan udikisasi, yaitu melepas kacamata kota kita yang modern dan menggantinya dengan kacamata udik yang polos, jujur, dan sederhana.
entahlah.. mudik itu memang melelahkan, menguras tenaga maupun isi kantong
ReplyDeletetapi saya ketagihan, kecanduan, tidak bisa berhenti menanti2 momen mudik selanjutnya
senang akhirnya bisa baca tulisanmu lagi :D
ya itu, ada romantisme-romantisme dalam mudik yang sebenernya ga bisa dijelasin..
ReplyDeletethanks mel :)