"Dukung Pulau Komodo menjadi keajaiban dunia dengan cara mengetik komodo dan kirim ke 9818"Semenjak kalimat itu bertebaran di berbagai media, bukannya ikutan mengirim SMS, justru saya merasa aneh. Aneh karena kenapa juga keajaiban dunia harus ditentukan lewat polling SMS, dan makin aneh karena banyak orang yang merasa perlu untuk mendukung upaya absurd tersebut.
Oke saya akui, saya bukan seorang nasionalis. Saya tidak pernah menonton Timnas Indonesia bertanding walau pun berulang kali diajak teman. Selain tidak suka sepak bola, saya juga selalu geli sendiri dengan "nasionalisme dadakan" dalam acara semacam itu. Saya tidak pernah mencintai negara ini seperti orang lain di negeri mencintainya. Bukan, bukan karena pemerintah di sini (katanya) korup, bukan karena rakyat di sini (katanya) pemalas dan plagiat. Atau bukan berarti saya tidak menghargai jasa para pahlawan yang (katanya) berdarah-darah memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Saya hanya tidak pernah setuju dengan konsep bernama "negara", di mana sebuah wilayah bisa dikuasai dan didominasi oleh manusia. Sebuah konsep di mana manusia-manusia di dalamnya sibuk berkompetisi dengan penduduk negara lain bahkan untuk sebuah hal paling aneh sekalipun. Sebuah konsep di mana manusia di dalamnya bersusah payah membuktikan untuk membuktikan pada diri mereka sendiri bahwa mereka lebih baik dalam segala bidang dari manusia-manusia dari teritori lain.
Bukan berarti saya membenci Indonesia beserta segala isinya. Saya selalu ingin pergi ke Belitung, saya selalu ingin melihat Anak Krakatau dari dekat, saya ingin ke Aceh dan menikmati kopi kala pagi di sana, saya selalu merasakan kesenangan setiap kali membaca cerita wayang, saya selalu ingin bertemu dengan Suku Dayak dan Baduy Dalam di daerah asli mereka, saya selalu merasa Bali adalah tempat terdamai di Bumi, dan Raja Ampat adalah surga yang harus saya datangi suatu hari. Maka ketika saya mendambakan dan menyukai hal-hal tersebut, bukan berarti saya mencintai Indonesia, kebetulan saja hal-hal tersebut terdapat dalam wilayah yang dilabeli "Indonesia". Sama jika saya berkata selalu ingin mengunjungi Eropa, bukan berarti saya lebih menyukai Eropa dibanding Indonesia. Tapi kebetulan saja "Eropa" terletak di Eropa. Aneh? Tidak juga.
Lagipula menurut saya hari ini nasionalisme adalah barang mewah, barang eksklusif. Banyak orang dengan kreatifnya mendandani nasionalisme agar terlihat menarik, tapi justru hal-hal tersebut membuatnya menjadi lucu. Satu contoh, penulisan Indonesia yang sering ditulis dengan "indONEsia" dengan atau buku yang ditulis oleh seorang presenter TV yang diberi judul "Nasional Is Me". Bukankah lucu, jika untuk menunjukkan kecintaan dan loyalitas untuk sebuah negara saja harus menggunakan bahasa dari negara lain? Maksud saya, apa bahasa Indonesia begitu memalukannya untuk digunakan? Apa mereka lupa ada sesuatu bernama "sumpah pemuda"? Pengaruh globalisasi? Mengimbangi progesivitas zaman? Blah!
Oke cukup, balik lagi ke komodo. Saya tidak tahu bagaimana ceritanya sampai untuk menentukan tujuh keajaiban dunia yang baru mereka harus memutuskannya lewat polling SMS. Tetapi sekali lagi, kenapa juga keajaiban dunia harus ditentukan lewat SMS? Keajaiban tetap akan menjadi keajaiban dengan atau tanpa persetujuan dari orang banyak. Saya sempat kaget setelah mengetahui ternyata Borobudur tidak pernah masuk dalam daftar tujuh keajaiban dunia, padahal selama belasan tahun saya dicekoki oleh informasi bahwa Borobudur adalah salah satu dari tujuh keajaiban dunia. Lalu saya sadar, dengan atau tanpa masuk daftar keajaiban dunia versi manapun, saya tetap menganggap Borobudur adalah keajaiban, dan saya tetap menyukainya.
Kemudian tadi siang saya lihat di berita, Pulau Komodo terancam kalah dari bursa keajaiban karena mendapat saingan dari Malaysia, yaitu kadal air raksasa yang konon mirip biawak. Baik komodo atau pun kadal air raksasa yang akhirnya menang, menurut saya kemenangan bukan milik mereka, tapi milik manusia yang mendapat keuntungan darinya. Kata pemerintah jika Pulau Komodo menjadi keajaiban baru, pendapatan warga NTT akan meningkat seiring meningkatnya jumlah wisatawan yang datang. Lalu bagaimana nasib para komodo itu? Bukan kah mereka menjadi ajaib karena merupakan hewan yang berhasil bertahan hidup dari dinamika alam selama jutaan tahun? Jika Pulau Komodo kelak menjadi semakin populer, bukan kah akan semakin banyak manusia yang datang ke sana? Dan bukankah itu malah akan membuat para komodo itu menjadi terbiasa dengan manusia, kemudian menjadi jinak dan lama-lama kehilangan naluri "komodo"-nya? Lalu apa ajaibnya hal semacam itu?
Komodo yang malang, bertahan hidup jutaan tahun hanya untuk menjadi tontonan makhluk baru bernama manusia.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeletemasuk, mas'e. wonders are born, not voted.
ReplyDelete