Thursday, May 19, 2011

balada teknologi

"The real problem is not whether machines think but whether men do."
-B.F. Skinner 
Dibalik setiap ketidaksukaan saya terhadap peradaban manusia yang menempatkan dirinya di puncak hirarki makhluk hidup secara absolut, sebenarnya saya bersyukur dilahirkan sebagai manusia. Manusia adalah entitas yang luar biasa, mereka mampu melepaskan diri dari beberapa hukum alam dan tidak pernah berhenti berkreasi.

Teknologi, adalah satu hal yang akan menjadi ciri khas planet Bumi ketika kelak terjadi sesuatu yang membuat seluruh penghuni planet ini musnah. Dan meskipun teknologi dirancang diatas ego manusia yang super besar dan membuat planet ini tergerus setiap harinya, toh saya tetap bangga bahwa yang merancang dan membuat itu semua adalah makhluk yang sama dengan saya, manusia.

Ketika berbicara tentang teknologi, mau tidak mau potongan-potongan film The Matrix berkelebat dalam kepala saya. Bukan, bukan bagian dimana datang seorang manusia terpilih untuk menyelamatkan dunia, karena kisah semacam bisa ditemukan dimanapun. Tapi bagian dimana teknologi semakin lama semakin kuat dan pintar untuk bisa mengambil alih kekuasaan dari manusia. Konsep itu sangat mengerikan, karena saya rasa itu sama sekali tidak mustahil untuk terjadi.

Teknologi telah membuat manusia ikut terinovasi bersamanya. Ketika teknologi berubah, manusia juga ikut berubah. Betapa manusia hari ini telah begitu menggantungkan hidupnya pada teknologi adalah kenyataan yang tak terbantahkan.

Satu contoh, telepon seluler. Saya sungguh tidak habis pikir bagaimana orang-orang bisa menjalani hidup mereka dengan lancar sebelum ada ponsel. Maksud saya, hari ini ketika setiap orang sudah memiliki ponsel saja kadang masih ada miskomunikasi yang terjadi. Misalnya ketika membuat janji untuk bertemu dengan seseorang, dengan adanya ponsel saja hal-hal semacam tidak menemukan orang yang dicari masih bisa terjadi, apalagi dengan tidak adanya ponsel. Lalu saya teringat dengan kata-kata seorang perempuan yang saya temui di kereta suatu hari:
"Nyadar gak kalo HP tu bikin rasa percaya kita sama orang lain jadi semakin rendah? Dulu aku inget, ketika janjian sama orang di tempat A jam segini, ya harus tepat jam segini atau bahkan sebelumnya harus udah ada disana. Tapi semenjak ada HP, orang jadi ngegampangin, jadi mikir ah ad HP ini, kalo telat tinggal SMS. Jadi dulu tu alat komunikasi kita adalah rasa percaya."
Nah itulah apa yang saya maksud dengan berubah.

Kemudian ada internet. Dia adalah pembaharu yang sukses mengubah pola hidup manusia, terutama kehidupan sosial. Situs jejaring sosial telah berhasil memindahkan aksi, reaksi, dan interaksi ke dalam layar datar. Pernah saya bertanya kepada seorang teman "Eh kira-kira dulu sebelum ada internet, gimana cara orang berkatarsis ya?", "Hmm kirim salam lewat radio mungkin." jawabnya. Sebuah pertanyaan yang hanya bisa keluar dari produk generasi yang telah begitu dimanjakan oleh teknologi.

Apa lagi ya? Oh iya, televisi! Televisi, saya sungguh tidak mengerti mengapa benda persegi itu bisa begitu diidolakan oleh masyarakat secara masif. Semenjak yang saya tahu isinya cuma sinetron, infotainment, dan reality show yang tidak real. Reality show yang tidak real, kenapa juga harus menambahkan konflik dan sebagainya ke dalam sebuah tayangan yang seharusnya menjadi cerminan kehidupan nyata itu? Apakah kehidupan nyata begitu tidak menarik sehingga harus dipoles sedemikian rupa agar menarik untuk ditonton? Entahlah, yang jelas saya mengamini pendapat seorang teman, bahwa tidak pernah ada yang nyata di televisi.

Jika pulang ke Bandung, saya juga sering dibuat bingung jika keponakan-keponakan saya yang masih kecil itu fasih menirukan gaya bicara Sule ataupun karakter dalam sitkom Suami-Suami Takut Istri. Sesuatu yang aneh karena baik Sule maupun siapa pun itu dalam Suami-Suami Takut Istri bukanlah contoh yang baik untuk ditiru oleh anak kecil, dan sialnya para orang tua merekalah yang telah begitu bijaksana mengajak mereka menyaksikan acara-acara tersebut.

Jika kelak saya punya anak (sesuatu yang hanya ada dalam mimpi terliar saya), saya akan membanjiri pikirannya dengan buku-buku alih-alih dengan televisi. Dan kalaupun terpaksa menonton televisi, saya hanya akan memperbolehkannya menonton South Park, tontonan yang setidaknya saya juga bisa bersama menikmatinya.

No comments:

Post a Comment