Ceritanya dulu ketika saya SD, uang lebaran saya masih tersisa cukup banyak. Saat itu Tamiya sudah tidak begitu keren lagi, maka daripada saya bingung akan menggunakannya untuk apa, saya ikut kakak saya ke Palasari (semacam pasar buku di Bandung), niat saya adalah membeli buku, buku apa saja. Di sana saya melihat sebuah buku yang sebenarnya sudah tidak asing lagi, buku tentang detektif yang sering diceritakan dalam komik Conan, Sherlock Holmes. Kemudian saya menukar seluruh sisa uang lebaran saya dengan buku itu. Judulnya "Kumpulan Kasus Sherlock Holmes". Buku pertama yang saya beli dengan uang saya.
Setelah itu, seluruh judul dari karangan Sir Arthur Conan Doyle itu telah saya miliki. Novel yang sebenarnya tidak cocok dibaca oleh seorang anak SD, dan sebetulnya ceritanya baru saya pahami ketika kuliah saya membaca ulang buku-buku tersebut. Tapi tetap saja, kekaguman terhadap sosok Holmes itu telah mengendap di alam bawah sadar saya. Ketika saya SMP, ketika sedang booming-boomingnya Counter Strike, saya selalu memakai nickname "Holmes" ketika bermain, dan teman-teman saya selalu keliru dengan menganggap saya menyukai Katie Holmes. Bahkan Sherlock Holmes sebenarnya adalah salah satu alasan saya kuliah di psikologi. Ketika saya bercita-cita menjadi detektif, dan menyadari tidak ada fakultas di Indonesia yang mengajari orang menjadi detektif, maka saya berganti cita-cita, profesi yang sedikit mirip: psikolog.
Karena itulah, ketika dua tahun yang lalu saya mendengar Sherlock Holmes akan dibuat film dan disutradarai oleh Guy Ritchie, saya langsung over-excited karena saya juga pecinta semua film Guy Ritchie (kecuali "Swept Away"). Meski pun sebenarnya agak mengecewakan karena hampir tidak ada karakter dalam film tersebut yang beraksen Inggris, tapi Sherlock Holmes versi Guy Ritchie benar-benar menghibur dan memuaskan saya dengan mengkonversi karakter asli Holmes dalam novel yang serius, dingin, sarkas, dan sedikit humoris menjadi Holmes yang cerdas tapi amat sangat konyol. Sangat Guy Ritchie.
Kemudian tahun ini Guy Ritchie membuat sekuelnya, "A Game of Shadows". Setelah berbulan-bulan menunggu, kemarin akhirnya saya berhasil nonton film itu setelah siangnya berdiri dalam antrian penonton yang panjangnya melebihi antrian pembeli tiket di stasiun Lempuyangan setelah PT KAI menerapkan peraturan tidak boleh ada penumpang berdiri di kereta ekonomi. Guy Ritchie terlihat lebih banyak bereksperimen dalam sekuel ini, dari mulai efek sampai pergerakan kamera yang kesemuanya sangat kental dengan ciri khas Guy Ritchie. Sayangnya Guy Ritchie sempat agak terlalu menikmati eksperimennya sehingga sedikit kebablasan dalam beberapa hal yang membuat kenikmatan menonton menjadi sedikit berkurang.
Soal musik, saya sangat menyayangkan mengapa Hans Zimmer selaku composer dalam dua film Sherlock Holmes tersebut terkesan sangat tidak kreatif dengan menggunakan kembali hampir semua score dalam film pertama di film kedua ini. Pemeran Prof. Moriarty juga tidak begitu memikat saya, gestur, ekspresi, serta cara berbicaranya terkesan seperti penjahat pada umumnya. Saya berpikir betapa film ini akan sangat sempurna jika yang memerankan Moriarty adalah Anthony Hopkins. Tapi secara keseluruhan, "A Game of Shadows" terasa lebih menyenangkan dan mengenyangkan untuk saya dibanding yang pertama. Ini terasa lebih..epic!
Tapi meskipun saya menyukai kedua film tersebut, sejujurnya saya lebih menyukai Guy Ritchie ketika dia menyutradari "Lock, Stock", "Revolver" atau "Snatch", karena dalam film-film tersebut Guy Ritchie bisa menjadi lebih jujur. Dalam seri Sherlock Holmes, Guy Ritchie terlihat menjadi sangat Hollywood dan mengikuti pasar. Satu hal yang sangat saya benci dalam film action adalah karakter utamanya selalu menjadi menangan. Contoh dalam "A Game of Shadows" adalah ketika Holmes, Watson, dan teman-teman gipsinya berlarian di hutan karena dikejar oleh serdadu Jerman. Peluru-peluru yang ditembakkan oleh para serdadu itu tidak ada yang mengenai karakter-karakter penting dalam cerita, tetapi ketika salah satu jagoan menembak ke belakang, tembakannya selalu tepat sasaran.
Hal semacam inilah yang dilakukan juga oleh Christopher Nolan dalam "Inception", meski pun film itu menurut saya amat bagus, saya lebih menyukai Nolan ketika dia membuat "Following", "Memento", atau "Insomnia". Nolan terasa lebih jujur dan terasa lebih Nolan ketika membuat film-film tersebut dan ketika membuat "Inception", mau tidak mau ada hal-hal yang mesti dia tinggalkan demi memenuhi selera pasar dan kebutuhan industri. Hmm tiba-tiba saya malah jadi kepikiran, bagaimana jika Guy Ritchie dan Nolan suatu hari memutuskan untuk bertukar posisi, Guy Ritchie melanjutkan seri Batman, dan Nolan melanjutkan seri Sherlock Holmes. Saya pasti akan orgasme, pasti.
No comments:
Post a Comment