Saturday, December 23, 2023

kompas

Dari balkon kamar hotel di lantai 18, sepetak Jakarta Barat terasa begitu riuh. Di ketinggian, kita bisa menyimak banyak hal meski serba subtil. Pengeras suara masjid di arah utara dan barat saling bersahutan. Suara ceramah dari seorang ustad dan bocah-bocah berebut mikrofon melantunkan doa bergantian sampai ke telinga tertiup angin. Kembang api meluncur dari balik salah satu atap rumah. Deru knalpot motor dan mobil. Lampu-lampu berpendar sepersekian detik cahaya. Gemuruh. Botol bir di lantai. Apa yang akan dipikirkan diriku 25 tahun yang lalu jika melihatku hari ini? Apakah ia akan gembira, bangga, atau merasa asing dengan dirinya? Suara dari masjid yang lain. Rasa nasi bebek yang diantar pengemudi ojol sore tadi masih terasa di mulutku. Betapa canggihnya manusia. Jika hidup memang tidak memiliki makna, mengapa kita membuat semua ini? Membangun gedung, menancapkan tiang listrik, memupuk dan menumbuhkan kota. Beberapa anak kecil bermain skuter listrik. Mau ke mana mereka? Mau ke mana kita semua? Apakah kompas di tangan kita masih berfungsi untuk menunjukkan jalan pulang?

Sunday, August 7, 2022

apakah tidak sebaiknya menyerah saja dan terima bahwa kita sesungguhnya memang tidak tahu apa-apa?

Ia jenis orang yang tidak pernah memikirkan apa pun. Namun, malam itu ia memikirkan sesuatu yang membuatnya gelisah. Ia memikirkan kematian.

Membayangkan ketiadaan, kekosongan, dan hal-hal lain yang tak mampu ia petakan pasca seseorang mati membuatnya merasa bingung dan sedikit takut. Ia membuka laptop, menyetel musik, dan merenungkan betapa aneh dan tidak masuk akalnya bahwa pada suatu titik semua orang akan mati lalu memasuki kegelapan abadi dan meninggalkan segala hal yang mereka miliki, kenali, ketahui, benci, idamkan, perjuangkan, dan cintai.

Kemudian ia membuka kulkas, mengambil alpukat yang tinggal separuh lalu menaburkan gula di atasnya dan memakannya dengan sendok. Sembari mengunyah, ia bertanya-tanya mengapa kematian, sebagai sebuah fenomena alam, masih saja menerbitkan perasaan yang kurang menyenangkan bagi manusia. Ia bertanya-tanya mengapa manusia, dengan proses pembelajarannya yang begitu panjang selama ribuan tahun tidak bisa menempatkan kematian sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja seperti bangun pagi atau menggoreng telur atau rapat RT atau mencabut uban.

Tiga jam kemudian, ia mulai lelah --atau mungkin bosan-- memikirkan kematian. Ia menutup laptop, mematikan lampu, menyalakan kipas, berbaring di kasur, menarik selimut, dan bertanya pada dirinya sendiri, "Dari tadi sibuk memikirkan kematian, memangnya kau pernah benar-benar hidup?"

Wednesday, October 6, 2021

omong kosong 4.0 #9

Sebelum pukul empat biasanya anak-anak telah menunggu di samping pos kamling. Ada yang sudah mandi dan rapi jali dengan bedak masih jelas di muka, ada pula yang baru selesai bermain dengan baju berlumur lumpur dan muka berdebu.

Mereka menunggu Paman Odong-odong. Saban hari, setiap pukul empat sore, ia tiba di tempat itu. Melayani anak-anak yang berniat menebus bungah dengan selembar lima ribu rupiah.

Pukul empat tepat, Paman Odong-odong belum datang. Anak-anak itu masih terlihat santai. Telat beberapa menit saja tak masalah, pikir mereka.

Lima menit berlalu, belum ada tanda-tanda kehadirannya.

Sepuluh menit, lagu-lagu anak dari speaker odong-odong yang biasanya nyaring terdengar sampai ujung gang, belum kunjung muncul.

Lima belas menit, beberapa anak mulai gelisah.

"Ada yang aneh, tidak seperti biasanya."

"Betul, Paman Odong-odong tak pernah terlambat barang sedetik pun."

"Mungkin ada suatu keperluan yang masih ia lakukan."

"Keperluan apa?"

"Ya, tidak tahu. Makan di warung, numpang merokok di pangkalan ojek, membeli sayur, mengurus anak, apa pun."

"Memang ia masih melakukan itu semua?"

"Tidak tahu, aku hanya mengira-ngira saja."

"Tapi tetap saja ini aneh, selama bertahun-tahun ia selalu datang tepat waktu."

"Bagaimana jika hari ini dia tidak datang?"

"Tidak mungkin! Paman Odong-odong pasti datang!"

"Ya, kita tidak boleh secepat itu kehilangan harapan. Ia bukan Godot. Penantian kita takkan sia-sia."

Setengah jam.

Empat puluh menit.

Hanya ada kesunyian.

Sebagian besar anak sudah lesu. Keteguhan hati mereka mulai rapuh. Satu per satu memutuskan untuk pulang. Kekecewaan dan perut lapar bukanlah kombinasi yang menyenangkan.

Baru beberapa langkah berjalan, mereka mendengar sesuatu dari ujung gang. Bukan lagu anak-anak, tapi sebuah letusan senapan.

Sontak mereka berlari ke arah keributan. Di ujung gang, mereka melihat sepasukan bersenjata lengkap, menggiring seorang pria dari dalam rumah.

Di antara pasukan itu, anak-anak melihat satu sosok yang sangat mereka kenal. Kali ini, alih-alih mengayuh odong-odong, sosok itu menenteng senjata laras panjang. Ia mengedipkan sebelah mata ke arah mereka kemudian berlalu pergi sebelum orang-orang kampung berhamburan keluar.

omong kosong 4.0 #8

"Jika kau tidak menyukai posisimu sekarang, pindahlah, kau bukan pohon." 

Setiap mendengar kalimat itu, aku suka meringis. Bukannya tidak suka. Itu kalimat yang bagus, memberi semangat pada manusia untuk terus bergerak, terus berubah. Masalahnya, aku bukan manusia, aku adalah sebatang pohon! Aku tidak menyukai posisiku sekarang, tapi aku tidak bisa berpindah tempat. 

Aku tumbuh di sebuah taman buatan di tengah kota. Sebenarnya, kehidupan di sini sama sekali tidak buruk. Tidak ada penebang liar, tidak ada beruang yang suka menancapkan cakar mereka, dan nyaris tidak ada kemungkinan terjadi kebakaran seperti yang menimpa pohon-pohon di pulau seberang. 

Yang mengganggu pikiranku adalah aku merasa tidak berguna. Batangku sangat kurus. Saking kurusnya, pernah suatu hari ada seorang anak kecil  bersembunyi di balik badanku ketika bermain petak umpet dan ia ketahuan kurang dari dua detik. 

Daunku tidak lebat, berbeda dengan pohon di sebelahku yang rimbun. Orang-orang senang bernaung di bawahnya sembari mengerjakan berbagai hal. Membaca buku, tiduran, tidur betulan, berciuman, atau sekadar duduk bengong. Sementara aku, bahkan dikencingi gelandangan pun belum pernah. 

Aku ingin sekali pindah ke suatu tempat di mana aku merasa berguna. Tempat di mana pohon sepertiku memiliki kesempatan untuk bersinar. Kira-kira sejak lima tahun lalu, itu doa yang kupanjatkan setiap malam. 

*** 

Segala sukacita bagi si pohon. Besok, Dewi Artemis akan mengabulkan doanya. Tepat pada tengah hari, langit akan mengirim dua orang penagih utang yang lari ke arah taman karena dikejar orang-orang yang marah. 

Karena habis akal, dua penagih utang itu akan memanjat batang si pohon meski ia bertubuh kurus dan berdaun jarang.

Tidak, si pohon tidak akan ambruk. Dua penagih utang itu akan sampai ke ujung tubuhnya dengan selamat, disusul orang-orang yang marah beberapa menit kemudian. 

Orang-orang yang marah itu kemudian akan bergantian berjaga di bawah pohon, mengabaikan dua penagih utang yang memohon-mohon untuk diampuni, namun kita tentu tahu itu hal yang sia-sia. 

Si pohon akan menjadi saksi kedua penagih utang itu dibakar matahari dan diguyur badai berhari-hari hingga keduanya mati dan orang-orang marah yang menunggu di bawah pulang dengan hati riang. 

Mulai besok, si pohon akan merasa berguna.

Monday, October 4, 2021

omong kosong 4.0 #7

Sejak tempat produksi minuman kerasnya tutup lantaran digerebek polisi, Badrun kini menganggur. Ia tak memiliki keahlian apa pun selain meracik alkohol, sesuatu yang diwariskan kakek dan bapaknya, yang juga hanya mampu melakukan itu sepanjang hidupnya.

Di sela-sela waktunya (yang tentu saja selalu sela), Badrun memiliki hobi baru: menonton orang bermain tenis di lapangan sebelah alun-alun setiap Minggu pagi. Seumur hidup ia belum pernah bermain tenis. Menurutnya, tenis adalah olahraga milik orang berduit, serupa dengan golf. Badminton, sepakbola, catur, semua orang bisa melakukannya di mana saja, bahkan di gang atau lapangan dekat sawah dengan peralatan seadanya. Sementara tenis, memerlukan persyaratan-persyaratan yang tidak bisa ditebus oleh orang sepertinya.

Maka begitulah, setiap Minggu pagi ia duduk di trotoar, menyaksikan pejabat, orang berpengaruh, pengusaha, dan kolega mereka yang entah siapa mengayunkan raket dari balik kawat besi.

Istri Badrun awalnya tidak senang dengan hobi suaminya.

“Mas, kowe ki timbangane ra ono gawean mending golek duit.”

Badrun bergeming. Ocehan istrinya tak lebih dari angin lalu. Setiap Minggu pagi, ia tetap berangkat ke lapangan. Lama-lama istrinya jengah juga. Biarlah, pikirnya, mungkin itu rekreasi bagi suaminya. Mungkin Badrun sangat ingin bermain tenis dan sudah cukup puas dengan hanya menontonnya.

Tapi, yang tidak diketahui istrinya adalah ini: setiap orang-orang itu memukul bola, Badrun membayangkan bola-bola sebagai kepala pejabat, orang berpengaruh, pengusaha, dan kolega mereka yang entah siapa itu. Ia membayangkan kepala mereka dihantam raket ke lapangan yang keras, memantul, untuk kemudian dihantam lagi berkali-kali.

Ia membayangkan wajah memar, gigi rontok, mata bonyok, dan batok kepala pecah menghamburkan otak dan darah.

Menyaksikan itu, Badrun tak hanya tergelak, kadang ia juga tertawa begitu nyaring, begitu nyaring sampai ia tersedak.

“Ini baru hiburan,” katanya.

omong kosong 4.0 #6

Kampungku banjir lagi, kali kedua di tahun ini. Tak separah yang pertama, hanya dua meter. Tempo hari bagian rumahku yang tidak terendam hanya antena tivi, kali ini lumayan, lampu di atap tidak kena air jadi bapak tidak perlu pusing lagi berutang lampu baru di warung Wak Soleh. Pagi tadi beberapa wartawan datang meliput. Sebagian langganan ke sini, sebagian baru sekali kulihat. Mereka mengajukan pertanyaan-pertanyaan standar tentang apa yang kami rasakan melihat kampung kebanjiran, apa harapan kami terhadap pemerintah untuk menangani banjir, dan seterusnya. Salah seorang wartawan, yang baru pertama kali kulihat, bertanya kenapa kami tidak pindah saja dari sini, toh kampung ini setiap tahun langganan banjir. Kujawab kami tidak keberatan dengan banjir karena kami memiliki insang. Ia tertawa canggung. Kuulangi, kami tidak keberatan dengan banjir karena kami memiliki insang. Ia tak lagi tertawa, mungkin menganggapku kurang waras lalu pergi mewawancarai petugas BPBD yang sedang mendistribusikan sembako. Malamnya para wartawan dan relawan pergi. Kampung kembali sunyi, dan kami semua kembali ke rumah masing-masing, lelap tertidur di dasar air.

Monday, October 12, 2020

omong kosong 4.0 #5

Sesaat sebelum melemparkan molotov ke arah gedung itu, Budi tiba-tiba teringat kehidupan masa kecilnya bersama kawan-kawan di kampung. Bermain yoyo, merebus bekicot menggunakan kaleng sarden bekas, mencoret-coret boks telepon umum menggunakan obeng, mencari kodok di sawah kemudian mengikatnya pada mrecon, jajan batagor, dan mengaji saban sore di masjid. Ah, seru juga masa kecilku, gumamnya sembari menyaksikan kekacauan yang mungkin tak akan reda sampai besok lusa.