Monday, October 4, 2021

omong kosong 4.0 #7

Sejak tempat produksi minuman kerasnya tutup lantaran digerebek polisi, Badrun kini menganggur. Ia tak memiliki keahlian apa pun selain meracik alkohol, sesuatu yang diwariskan kakek dan bapaknya, yang juga hanya mampu melakukan itu sepanjang hidupnya.

Di sela-sela waktunya (yang tentu saja selalu sela), Badrun memiliki hobi baru: menonton orang bermain tenis di lapangan sebelah alun-alun setiap Minggu pagi. Seumur hidup ia belum pernah bermain tenis. Menurutnya, tenis adalah olahraga milik orang berduit, serupa dengan golf. Badminton, sepakbola, catur, semua orang bisa melakukannya di mana saja, bahkan di gang atau lapangan dekat sawah dengan peralatan seadanya. Sementara tenis, memerlukan persyaratan-persyaratan yang tidak bisa ditebus oleh orang sepertinya.

Maka begitulah, setiap Minggu pagi ia duduk di trotoar, menyaksikan pejabat, orang berpengaruh, pengusaha, dan kolega mereka yang entah siapa mengayunkan raket dari balik kawat besi.

Istri Badrun awalnya tidak senang dengan hobi suaminya.

“Mas, kowe ki timbangane ra ono gawean mending golek duit.”

Badrun bergeming. Ocehan istrinya tak lebih dari angin lalu. Setiap Minggu pagi, ia tetap berangkat ke lapangan. Lama-lama istrinya jengah juga. Biarlah, pikirnya, mungkin itu rekreasi bagi suaminya. Mungkin Badrun sangat ingin bermain tenis dan sudah cukup puas dengan hanya menontonnya.

Tapi, yang tidak diketahui istrinya adalah ini: setiap orang-orang itu memukul bola, Badrun membayangkan bola-bola sebagai kepala pejabat, orang berpengaruh, pengusaha, dan kolega mereka yang entah siapa itu. Ia membayangkan kepala mereka dihantam raket ke lapangan yang keras, memantul, untuk kemudian dihantam lagi berkali-kali.

Ia membayangkan wajah memar, gigi rontok, mata bonyok, dan batok kepala pecah menghamburkan otak dan darah.

Menyaksikan itu, Badrun tak hanya tergelak, kadang ia juga tertawa begitu nyaring, begitu nyaring sampai ia tersedak.

“Ini baru hiburan,” katanya.

No comments:

Post a Comment