Dua minggu yang lalu aku mati. Serangan jantung, tepat
ketika aku baru keluar kamar mandi, menyelesaikan ritual pagi. Meski agak tak
lazim mendapat serangan jantung di usiaku yang masih terbilang muda (umurku dua
puluh enam ketika mati), aku tidak merasa heran. Pola hidupku tidak sehat;
merokok, jarang makan sayur atau buah, dan hanya olahraga setahun sekali. Setiap
tanggal 1 Januari, di mana aku mencanangkan resolusi hidup sehat, sebelum
melupakannya keesokan harinya.
Tak lama setelah aku dikubur dan orang terakhir meninggalkan
kuburanku, dua malaikat menjemputku. Penampilan mereka jauh dari bayanganku
selama hidup. Alih-alih memakai pakaian serba putih dan bercahaya, mereka
memakai setelan formal yang necis. Memakai jas hitam, kemeja putih, dasi biru,
celana kain hitam, dan sepatu pantofel kinclong, dengan rambut yang disisir
rapi dengan minyak rambut. Keduanya tampak seperti dua orang lelaki pebisnis
atau salesman, seandainya mereka
punya wajah. Ya, wajah mereka berdua polos seperti porselen Cina.
Ngomong-ngomong, aku tahu bahwa mereka malaikat karena
mereka sendiri yang bilang padaku. “Halo. Kami malaikat,” kata salah satunya,
seperti bisa membaca pertanyaanku.
“Sudah siap?”
“Siap untuk apa?”
“Untuk pergi.”
“Siap saja sih. Memang pergi ke mana?”
“Nanti kau akan tahu. Santai saja.”
Kemudian masing-masing dari mereka memegang tanganku.
Dibawanya aku (atau jiwaku lebih tepatnya, karena aku bisa melihat jasadku yang
telanjang dalam peti mati itu tetap terbaring seperti orang mati) terbang.
Menembus kuburku yang tanahnya masih basah itu. Terus ke atas hingga aku bisa
melihat iring-iringan mobil keluarga dan kerabatku yang pergi ke rumah
masing-masing. Lebih tinggi lagi, hingga aku bisa melihat seluruh kota kecilku.
Dan lebih tinggi lagi, menembus awan, menembus atmosfir, menjauhi Bumi, aku
bisa melihat bintang-bintang dan bulan dan matahari terlihat begitu jelas,
hingga kami masuk ke dalam cahaya yang begitu benderang.
Cahaya itu sangat menyilaukan, hingga aku sepertinya tak
sadarkan diri. Beberapa waktu kemudian, ada suara yang berseru di telingaku,
“hey! Bangun! Sudah sampai!”
Aku membuka mata, berkedip beberapa kali, berusaha
beradaptasi dengan kondisi ini. Setelah kesadaranku sudah penuh, aku tersadar,
aku berada di depan sebuah gedung aula yang sangat besar berwarna abu-abu. Ribuan
orang, atau mungkin lebih, sibuk lalu-lalang di depanku. Mereka semua memakai
pakaian yang sama. Yang laki-laki memakai setelan formal nan necis seperti yang
dipakai oleh kedua malaikatku, sementara yang perempuan memakai dandanan formal
untuk perempuan, dengan rok, blazer,
dan sebagainya.
Mereka semua berjalan menuju ke pintu gedung aula itu.
Kulihat, orang-orang itu memiliki wajah sepertiku. Hanya beberapa yang kulihat
tak memiliki wajah, sebagian berbaur di antara rombongan ribuan orang itu, dan
beberapa kulihat berjaga di depan pintu gedung aula, semacam petugas keamanan
yang menertibkan situasi.
Kedua malaikat necis tadi masih berada di sampingku. “Di
mana aku?” tanyaku. “Tentu saja di dunia pasca-kematian, di mana lagi
menurutmu?”
Belum habis pertanyaanku, baru kusadari ternyata aku tidak
lagi telanjang. Aku sudah memakai setelan formal nan necis seperti kedua
malaikat itu dan ribuan orang lainnya. Aku tidak tahu bagaimana caranya mereka
memakaikan baju ini kepadaku, sepertinya di dunia pasca-kematian ini banyak hal
ajaib, aku harus mulai membiasakan diri.
“Kami tahu kau bingung, masuklah ke gedung aula itu, nanti
kau akan paham sendiri. Kami tak punya cukup waktu untuk menjelaskan, ada orang
mati lain yang harus dijemput.”
Baiklah. Kuucapkan terima kasih kepada kedua malaikatku.
Tidak masalah, jawab mereka. Kemudian aku bergabung dengan rombongan orang yang
akan masuk ke gedung aula. Petugas keamanan yang ada di pintu beberapa kali
berteriak, menyuruh rombongan untuk berbaris dengan rapi. Masih saja ada orang
yang tidak mau mengantri. Aku heran, kebiasaan buruk macam itu masih saja
dibawa mati.
Di dalam, terdapat banyak sekali pintu dengan nomor-nomor
tertentu tertulis di sebuah layar monitor di atasnya. Beberapa meter dari pintu
masuk, ada beberapa malaikat yang membagikan selembar kartu bertuliskan sederet
angka. “Ini nomor antrianmu. Nanti jika giliranmu tiba, kartu ini akan
menuntunmu menuju pintu yang sesuai.”
Disediakan bangku-bangku sangat panjang dan camilan
berbentuk awan-awan putih (aku curiga ini awan betulan) untuk mereka yang
menunggu. Beberapa waktu kemudian, kartu di tanganku berkedip-kedip. Ia
menarikku ke suatu arah, seperti tertarik suatu daya magnet. Aku mengikutinya,
hingga sampai di sebuah pintu. Layar monitor di atas pintu itu menunjukkan nomor
antrianku. Kuketuk pintunya dua kali sebelum aku masuk.
Di dalam, ada dua malaikat duduk di balik meja. “Silakan
duduk,” kata mereka setelah menyalamiku. “Selamat datang di dunia
pasca-kematian. Semoga perjalanan Anda menyenangkan. Anda harus melewati tahap
wawancara ini sebelum ditentukan akan dimasukkan ke mana.”
Wah, dunia pasca-kematian rupanya mirip tes kerja!
“Ini riwayat hidup Anda. Isinya merangkum segala perbuatan
yang pernah Anda lakukan di dunia. Nanti kami akan menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan daftar riwayat hidup Anda tersebut. Hasil dari wawancara ini
akan menentukan posisi dan jabatan Anda di perusahaan ini.”
Perusahaan, katanya! Ini bukan hanya mirip tes kerja, ini
adalah tes kerja betulan!
“Ada pertanyaan sebelumnya?”
“Ada. Pertama, kalian punya riwayat hidup saya, kenapa
kalian masih repot-repot melakukan wawancara? Baca saja berkasnya. Kedua, saya
kan sudah mati, untuk apa pula saya bekerja?”
“Pertama, berkas riwayat hidup ini hanya berisi daftar
perbuatan yang Anda lakukan. Perbuatan, tanpa niatan atau motif yang tercatat.
Wawancara ini menggali motif Anda dalam melakukan perbuatan-perbuatan tersebut.
Motif itulah yang menentukan kualitas Anda. Kedua, kenapa Anda, seperti seluruh
orang mati lainnya, harus bekerja? Tentu saja agar alam semesta tetap berjalan
sebagaimana mestinya.”
Begitulah, selanjutnya aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan
mereka. Aku diberi tahu, perusahaan ini memiliki banyak sekali posisi dan
jabatan untuk diisi. Jika berkas riwayat hidup dan hasil wawancara seseorang
buruk, ia akan ditempatkan di posisi dengan pekerjaan yang menyebalkan, beban
pekerjaan yang berat, bos yang galak dan seenaknya, waktu istirahat yang minim,
dan tidak ada kudapan. Sebaliknya, mereka yang dianggap berkualitas baik, akan
ditempatkan di posisi yang sangat menyenangkan. Dengan atasan yang baik, jam
kerja yang fleksibel, jenis pekerjaan yang sesuai hobi, kudapan dan makanan
enak melimpah ruah, dan seterusnya.
Aku tidak tahu akan diterima di posisi mana. Pengumuman
hasil wawancara itu memakan waktu berbulan-bulan, tidak beda dengan proses
rekrutmen perusahaan di dunia. Sementara menunggu panggilan, kami para orang
mati biasanya mengisi waktu dengan bergentayangan di dunia. Memandangi
orang-orang yang kami sayangi, atau iseng mengganggu orang-orang yang tidak
kami sukai ketika hidup.
Atau, kalau tidak, ya menulis catatan semacam ini. Pokoknya,
apa pun yang bisa digunakan untuk membunuh waktu lah.