Pukul lima sore. Jalan yang kulewati ini tampak semakin
sepi. Biasanya jalan itu memang selalu sepi. Hanya segaris jalur sempit
penghubung dua jalan besar di tengah kota yang murung ini. Hari ini mendung,
mungkin membuat orang malas keluar rumah, membuat jalan ini makin sepi.
Aku hampir sampai di ujung jalan ini ketika sebuah sepeda
motor tiba-tiba saja menyeruduk dari belakang, memepet motorku, hingga akhirnya
berhenti melintang tepat di depanku. Pengemudinya dua orang dengan helm
tertutup, satu menggunakan jaket kulit, satu mengenakan jaket jeans lusuh.
Yang dibonceng, mengenakan jaket jeans lusuh, bergegas turun dan menghampiriku dengan pisau di
tangannya.
Celaka! Begal!
“Serahkan tasmu!” kata si begal dengan jaket jeans lusuh, sambil mengacungkan pisau
yang berkilat di tangannya dengan canggung.
Aku tidak sedang berminat berkelahi, apalagi dengan situasi
yang tidak mendukung seperti ini. Jalan sempit nan sepi, tidak ada orang yang
bisa membantuku. Lagi pula, ini yang paling penting, aku jauh lebih sayang
nyawaku daripada tasku, meskipun apa yang ada di dalamnya mungkin bisa
membuatku tetap bisa makan selama beberapa waktu ke depan.
Kuserahkan tas punggungku pelan-pelan. Si begal buru-buru
meraihnya, kemudian sedikit tersungkur menanggung berat tasku.
“Buset, berat banget! Apa isinya?” seru si begal berjaket jeans lusuh.
“Senja,” jawabku.
“Apa?”
“Senja.”
“Hah?!” kedua begal itu terdengar bingung.
“Itu sepotong senja, untuk bahan tulisanku.”
“Kau penulis?” tanya si begal berjaket kulit dari motornya.
“Ya, penulis cerpen, kadang puisi juga,” jawabku.
“Pasti kau miskin,” katanya lagi.
“Dari mana kau tahu?” tanyaku. Padahal aku sudah sebisa
mungkin memoles penampilanku agar selalu terlihat dandy, meski saldo di rekeningku sebenarnya minus, karena sudah
lama tak ada surat kabar yang mau memuat tulisanku.
“Bung,” kata si begal berjaket jeans lusuh, kali ini pisau di tangannya tidak lagu teracung
padaku, “sewaktu Seno Gumira menuliskannya bertahun-tahun yang lalu, senja
memang sesuatu yang sangat seksi. Tapi hari ini, senja telah jadi super klise. Bahkan mendengar kata itu saja aku jadi sebal. Jangan
gunakan benda itu lagi jika kau ingin tulisanmu laku.”
“Apa lagi yang ada di dalam tasmu?” tanya si begal berjaket kulit.
“Hujan, kopi, dan hubungan jarak jauh.”
Kedua begal itu lalu berpandangan. Terdengar helaan nafas
mereka berdua dari balik helm, seakan baru saja mendengar sesuatu yang mengecewakan. Si begal berjaket jeans lusuh mengembalikan tasku dengan hati-hati. Ia merogoh
kantong celananya, mengeluarkan selembar lima puluh ribuan, dan memberikannya
padaku.
“Ini, belilah makanan, kau ternyata lebih miskin dari kami. Saranku,
sebaiknya kau cari pekerjaan lain saja. Hati-hati di jalan,” katanya dengan
nada prihatin.
Kedua begal (atau kedua orang itu, berhubung mereka tidak
jadi membegalku) pergi secepat mereka datang, meninggalkanku sendirian di
tengah jalan yang sempit dan sepi ini, dengan langit yang semakin mendung, dan
perutku yang keroncongan. Sial, aku lapar.
-_________-
ReplyDeletelulabi is back!
ReplyDeleteyeeeaaahhh!!
Delete