Pagi tadi, ratusan sayap laron berserakan di halaman belakang mess saya. Ini adalah sisa-sisa invasi ribuan serangga tadi malam, mereka datang dari hutan yang gelap gulita di belakang mess. Konon, rata-rata umur laron hanya satu hari. Mereka adalah rayap yang menumbuhkan sayap, keluar dari tanah, beterbangan mencari pasangan, kawin, dan sebagian besar mati keesokan harinya.
Menurut standar hidup manusia yang puluhan tahun, siklus hidup para laron terasa amat sangat singkat. Dalam sehari, tidak banyak yang bisa dilakukan manusia. Namun bagi laron, sehari adalah seumur hidup. Bagi laron, dua puluh empat jam serupa tujuh puluh tahun.
Bagi mereka, keluar dari tanah, terbang di sekitar lampu-lampu, mencari pasangan, dan bercinta semalaman adalah kegiatan dalam rentang waktu yang mendekati keabadian. Umur manusia yang puluhan tahun tentu terasa sangat mencengangkan bagi mereka; melebihi keabadian.
Sebaliknya, umur manusia terasa amat singkat bagi beberapa jenis hewan laut yang dapat hidup hingga ratusan tahun. Umur beberapa jenis hewan laut ini juga hanya sekejap mata jika dilihat dari kacamata posidonia oceanica, sejenis rumput laut di laut Mediterania yang dapat hidup sampai ribuan tahun. Begitu seterusnya.
Singkatnya, kita adalah laron berumur pendek bagi makhluk lain, dan rumput laut berumur panjang bagi makhluk lainnya. Menakjubkan, betapa relativitas waktu benar-benar nyata jika kita memikirkannya.
***
Baru-baru ini saya nonton dua film yang bertema sama; Edge of Tomorrow dan The Girl Who Leapt Through Time (Toki wo Kakeru Shōjo). Keduanya sama-sama berkisah tentang orang yang dapat memutar waktu dan mengulang kembali hari mereka sesuka hati, sehingga mereka dapat mengalami berbagai versi dari hidup mereka, dengan posibilitas yang tidak terbatas.
Tema semacam itu sudah kelewat sering diangkat dalam film, buku, musik, atau karya apapun, tapi tetap saja, kita selalu rindu untuk membahasnya. Mengendalikan waktu sepertinya adalah kemampuan dambaan semua orang, terutama manusia modern yang selalu merasa tidak pernah memiliki cukup waktu. Masalahnya, apakah dengan mengendalikan waktu, kita akan lebih bahagia?
Toh, kedua tokoh utama dari film di atas sadar, sehebat apapun mereka dapat mengembalikan waktu, kehidupan tidak lantas jadi lebih mudah.
Dalam Edge of Tomorrow, Cage adalah seorang prajurit yang dikirim ke medan perang yang selalu menemukan dirinya terbangun tepat sehari sebelumnya jika ia terbunuh. Kemampuannya ini ia dapat setelah tersemprot darah alien yang ditembaknya. Ratusan kali ia mati, ratusan kali ia terbangun di hari sebelumnya. Ratusan kali pula, Cage mengalami kesulitan untuk menyelamatkan Rita, cinta lokasinya di medan perang.
Makoto, tokoh utama dalam The Girl Who Leapt Through Time, adalah seorang siswi biasa dari sekolah biasa, yang tiba-tiba memiliki kemampuan untuk berpindah waktu, setelah ia mengalami kecelakaan di laboratorium sekolah. Ia bisa dengan sesuka hati berpindah ke waktu yang ia inginkan di masa lalu. Tapi, kemampuan yang awalnya ia banggakan setengah mati ini malah menciptakan gumpalan-gumpalan masalah yang semakin membesar seperti bola salju.
Cage dan Makoto akhirnya menyadari, kemampuan mengendalikan waktu terlalu berat untuk disandang sesosok makhluk bernama manusia. Sesosok makhluk yang tidak abadi, seonggok daging yang punya waktu kadaluarsa.
Kita semua tahu kisah tentang nenek moyang manusia. Konon, nenek moyang kita itu diciptakan Tuhan untuk menjadi makhluk abadi. Namun keabadiannya dicabut ketika ia memakan buah dari pohon terlarang. Pencabutan keabadian itu, tentu saja, adalah hukuman dan kutukan. Kita dikutuk untuk menjadi makhluk rapuh yang punya jaminan untuk mati.
Namun, saya memiliki pemaknaan lain dari hukuman itu. Jika dipikir, ketidakabadian sesungguhnya adalah anugerah, dan keabadian di satu titik justru adalah kutukan itu sendiri. Hidup justru terasa lebih berharga karena kita tahu itu akan berakhir.
Pada akhirnya, kita harus menerima, waktu adalah sungai, dan kita semua; manusia, laron, ataupun rumput laut, hanyalah batang-batang kayu yang hanyut di atasnya. Sekuat apapun kita berusaha, kita tidak bisa menambah kecepatan, berenang mundur, atau melompat ke tepian. Kita tidak memiliki daya apapun untuk mengendalikan hanyutan sungai yang terasa deras bagi satu makhluk, dan terasa lamban bagi makhluk yang lain ini. Yang bisa kita lakukan hanyalah mengunyah baik-baik setiap momen dalam perjalanan ini, pahitnya, manisnya, dan semua rasanya yang lain.
Mengunyahnya perlahan, sampai kita sampai pada ujung perjalanan kita masing-masing...
I miss reading your post, Bi!
ReplyDeleteJangan ketinggalan film bertema serupa, Groundhog Day :D
Wiih belom nonton, akan nyari abis ini!
DeleteTulisannya selalu keren, mas Lulabi penulis Ambrosia
ReplyDeleteMakasih ya hehehe.
Delete