Ini bulan Juli, berarti tepat setahun yang lalu saya merasakan patah hati. Ceritanya begini:
Setelah diwisuda pada akhir 2012 dan bersenang-senang selama beberapa lama dengan stok waktu saya sebagai pengangguran yang sepertinya tidak terbatas, akhirnya datang juga perasaan tidak enak nan klasik itu: kecemasan akan karir dan masa depan. Ditambah, beberapa teman dekat saya sudah mendapat pekerjaan, makin terasa beratlah status pengangguran ini.
Akhirnya, secara brutal saya mengirimkan CV yang berisi gombalan-gombalan intelektual dan surat lamaran kerja yang luar biasa menyebalkan ke berbagai perusahaan. Tragisnya, tidak ada satu pun dari perusahaan-perusahaan itu, baik yang terang-benderang berskala internasional maupun yang ecek-ecek berskala lokal dengan gaji yang mungkin hanya cukup digunakan untuk makan dan beli rokok mau menerima saya.
Teman-teman saya makin banyak yang terbebas dari status pengangguran dan bermigrasi dari Jogja, makin paniklah saya. Hingga akhirnya, di tengah-tengah kepanikan tersebut, muncul sebuah suara di kepala saya, "mungkin kamu memang tidak ditakdirkan untuk bekerja, tapi untuk melakukan sesuatu yang lain." Benar juga, pikir saya. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut seleksi penerimaan S2. Saya memutuskan untuk menjadi psikolog.
Maka, saya menghabiskan waktu sebulan penuh untuk kembali membaca materi kuliah. Saya lahap kembali buku-buku dan catatan-catatan kuliah dari semester pertama, yang ajaibnya kebanyakan tidak saya ingat sama sekali. Bukan hanya membaca, saya juga rutin melakukan simulasi FGD bersama pacar saya yang juga ikut mendaftar dan beberapa kakak tingkat yang sudah menjadi psikolog.
Jujur saja, saya belum pernah memiliki ambisi sebesar itu dalam hal akademis. Di jenjang sebelumnya, di pendaftaran SMP, SMA, ataupun kuliah, saya selalu menghadapinya dengan santai, bahkan cenderung tidak peduli. Tapi untuk tes S2 ini, saya total mengeluarkan seluruh energi yang saya punya. Untuk cita-cita mulia: menjadi psikolog sekaligus terbebas dari kehidupan pengangguran yang useless.
Singkat cerita, saya sudah lebih dari siap untuk menghadapi tes penerimaan. Tapi semesta berkata lain; tepat dua hari sebelum hari tes, saya kena tifus. Setelah mengonsumsi banyak sekali obat sebagai pengganti cairan infus (saya memohon-mohon kepada dokter di rumah sakit supaya tidak dirawat inap), akhirnya saya memaksakan diri datang ke kampus untuk mengikuti tes, dengan perasaan sakit yang luar biasa di perut.
Dengan keadaan fisik yang tidak fit seperti itu, saya merasa masih bisa menjalani tes dengan maksimal. Tes tertulis saya isi dengan cukup percaya diri. Tes dinamika kelompok saya lewati dengan bersemangat, meskipun sambil menahan sakit di perut. Tes FGD dan wawancara pun saya lalui dengan penuh keyakinan.
Sebulan kemudian, di bulan Juli, hari itu akhirnya datang, hari pengumuman. Hari yang saya tunggu selama sebulan yang terasa berabad-abad lamanya. Saya selalu menganggap pengumuman ini menentukan hidup saya ke depan: sukses menjadi calon psikolog atau kembali berkubang dalam genangan waktu super luang yang suram.
Saya masih ingat detilnya. Selepas maghrib, saya sengaja mencari tempat yang sepi di sebuah sudut kampus. Lewat ponsel, pelan-pelan saya memasukkan nomor pendaftaran di website pendaftaran. Detak jantung saya tidak karuan saat itu. Lalu sebuah kalimat di layar seperti mengangkat setengah nyawa saya: "Maaf, Anda tidak diterima".
Saya patah hati. Usaha dan energi yang saya keluarkan selama ini sia-sia saja. Bayangan kehidupan yang suram selama beberapa bulan ke depan kembali menghantui saya. Patah hati saya semakin parah ketika tahu pacar saya lolos tes. Seorang perempuan calon psikolog dan pacarnya yang pengangguran. Itu bayangan yang sungguh mengerikan.
Tapi untunglah, lagi-lagi semesta berkata lain. Ketakutan saya tidak terbukti. Hanya berselang beberapa minggu dari hari pengumuman itu, saya mendapat kabar gembira. Saya mendapat panggilan kerja.
Maka inilah saya sekarang, bekerja di perusahaan batu bara terbesar di Indonesia, melakukan pekerjaan yang sesuai dengan impian saya (menulis dan jalan-jalan), dengan pendapatan yang cukup. Tapi, jika kejadian di tahun kemarin itu saya ingat lagi, saya masih merasa sedih. Selalu ada sedikit nyeri yang terasa.
Tapi untunglah, hari ini saya belajar sesuatu. Sebuah trik, sebuah cara, untuk mengurangi kekecewaan dan rasa sakit hati saya. Dan meskipun kejadian yang mengecewakan saya itu sudah lewat setahun, saya tetap akan mempraktekannya sekarang. Karena lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan? Apa yang akan saya lakukan? Saya akan membuat pernyataan sikap. Ini dia:
Setelah diwisuda pada akhir 2012 dan bersenang-senang selama beberapa lama dengan stok waktu saya sebagai pengangguran yang sepertinya tidak terbatas, akhirnya datang juga perasaan tidak enak nan klasik itu: kecemasan akan karir dan masa depan. Ditambah, beberapa teman dekat saya sudah mendapat pekerjaan, makin terasa beratlah status pengangguran ini.
Akhirnya, secara brutal saya mengirimkan CV yang berisi gombalan-gombalan intelektual dan surat lamaran kerja yang luar biasa menyebalkan ke berbagai perusahaan. Tragisnya, tidak ada satu pun dari perusahaan-perusahaan itu, baik yang terang-benderang berskala internasional maupun yang ecek-ecek berskala lokal dengan gaji yang mungkin hanya cukup digunakan untuk makan dan beli rokok mau menerima saya.
Teman-teman saya makin banyak yang terbebas dari status pengangguran dan bermigrasi dari Jogja, makin paniklah saya. Hingga akhirnya, di tengah-tengah kepanikan tersebut, muncul sebuah suara di kepala saya, "mungkin kamu memang tidak ditakdirkan untuk bekerja, tapi untuk melakukan sesuatu yang lain." Benar juga, pikir saya. Akhirnya saya memutuskan untuk ikut seleksi penerimaan S2. Saya memutuskan untuk menjadi psikolog.
Maka, saya menghabiskan waktu sebulan penuh untuk kembali membaca materi kuliah. Saya lahap kembali buku-buku dan catatan-catatan kuliah dari semester pertama, yang ajaibnya kebanyakan tidak saya ingat sama sekali. Bukan hanya membaca, saya juga rutin melakukan simulasi FGD bersama pacar saya yang juga ikut mendaftar dan beberapa kakak tingkat yang sudah menjadi psikolog.
Jujur saja, saya belum pernah memiliki ambisi sebesar itu dalam hal akademis. Di jenjang sebelumnya, di pendaftaran SMP, SMA, ataupun kuliah, saya selalu menghadapinya dengan santai, bahkan cenderung tidak peduli. Tapi untuk tes S2 ini, saya total mengeluarkan seluruh energi yang saya punya. Untuk cita-cita mulia: menjadi psikolog sekaligus terbebas dari kehidupan pengangguran yang useless.
Singkat cerita, saya sudah lebih dari siap untuk menghadapi tes penerimaan. Tapi semesta berkata lain; tepat dua hari sebelum hari tes, saya kena tifus. Setelah mengonsumsi banyak sekali obat sebagai pengganti cairan infus (saya memohon-mohon kepada dokter di rumah sakit supaya tidak dirawat inap), akhirnya saya memaksakan diri datang ke kampus untuk mengikuti tes, dengan perasaan sakit yang luar biasa di perut.
Dengan keadaan fisik yang tidak fit seperti itu, saya merasa masih bisa menjalani tes dengan maksimal. Tes tertulis saya isi dengan cukup percaya diri. Tes dinamika kelompok saya lewati dengan bersemangat, meskipun sambil menahan sakit di perut. Tes FGD dan wawancara pun saya lalui dengan penuh keyakinan.
Sebulan kemudian, di bulan Juli, hari itu akhirnya datang, hari pengumuman. Hari yang saya tunggu selama sebulan yang terasa berabad-abad lamanya. Saya selalu menganggap pengumuman ini menentukan hidup saya ke depan: sukses menjadi calon psikolog atau kembali berkubang dalam genangan waktu super luang yang suram.
Saya masih ingat detilnya. Selepas maghrib, saya sengaja mencari tempat yang sepi di sebuah sudut kampus. Lewat ponsel, pelan-pelan saya memasukkan nomor pendaftaran di website pendaftaran. Detak jantung saya tidak karuan saat itu. Lalu sebuah kalimat di layar seperti mengangkat setengah nyawa saya: "Maaf, Anda tidak diterima".
Saya patah hati. Usaha dan energi yang saya keluarkan selama ini sia-sia saja. Bayangan kehidupan yang suram selama beberapa bulan ke depan kembali menghantui saya. Patah hati saya semakin parah ketika tahu pacar saya lolos tes. Seorang perempuan calon psikolog dan pacarnya yang pengangguran. Itu bayangan yang sungguh mengerikan.
Tapi untunglah, lagi-lagi semesta berkata lain. Ketakutan saya tidak terbukti. Hanya berselang beberapa minggu dari hari pengumuman itu, saya mendapat kabar gembira. Saya mendapat panggilan kerja.
Maka inilah saya sekarang, bekerja di perusahaan batu bara terbesar di Indonesia, melakukan pekerjaan yang sesuai dengan impian saya (menulis dan jalan-jalan), dengan pendapatan yang cukup. Tapi, jika kejadian di tahun kemarin itu saya ingat lagi, saya masih merasa sedih. Selalu ada sedikit nyeri yang terasa.
Tapi untunglah, hari ini saya belajar sesuatu. Sebuah trik, sebuah cara, untuk mengurangi kekecewaan dan rasa sakit hati saya. Dan meskipun kejadian yang mengecewakan saya itu sudah lewat setahun, saya tetap akan mempraktekannya sekarang. Karena lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan? Apa yang akan saya lakukan? Saya akan membuat pernyataan sikap. Ini dia:
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN MENARIK DIRI DARI SELEKSI PENERIMAAN MAHASISWA S2 YANG DISELENGGARAKAN OLEH PROGRAM MAGISTER PROFESI FAKULTAS PSIKOLOGI UGM PADA TAHUN 2013, DAN SEKALIGUS MENOLAK HASIL SELEKSI TERSEBUT.Fiuh, itu dia pernyataan sikap saya. Benar juga, setelah mengucapkan kata-kata itu saya jadi merasa lebih baik... sedikit.
No comments:
Post a Comment