Dalam "The Devil and Miss Prym", Paulo Coelho berkisah tentang sebuah desa bernama Viscos. Desa tersebut dihuni oleh berbagai jenis penjahat dan sampah masyarakat, mulai dari pembunuh kelas kakap, perampok, penipu ulung, hingga pelacur. Ahab, seorang penjahat paling hebat sekaligus kepala desa tersebut, suatu hari bertobat dan menjadi pemeluk Katolik yang taat setelah mengalami serangkaian kejadian dan bertemu dengan orang suci bernama St. Savin.
Ahab yang telah bertobat kemudian ingin mengubah seluruh warga desanya menjadi manusia yang lebih baik. Sebagai mantan penjahat, dia menyadari bahwa warganya tidak akan serta-merta berubah hanya dengan diiming-imingi surga dan diancam dengan neraka. Karena pada dasarnya mereka adalah para penjahat, dan penjahat tidak pernah peduli dengan semua itu. Salah satu cara Ahab untuk membuat warganya kembali mengingat Tuhan adalah dengan membuat Hari Raya Perdamaian. Perayaan yang dipelajarinya dari orang Yahudi ini telah dimodifikasi sedemikian rupa olehnya agar pas untuk diterapkan warga desanya yang merasa memiliki masalah "personal" dengan Tuhan.
Dalam sekali dalam setahun, masing-masing warga mengunci diri di rumah masing-masing. Sebelumnya mereka telah membuat dua macam daftar yang akan mereka bacakan. Pertama, mereka akan mengeluarkan satu daftar sambil mengangkat tangan ke langit dan berkata, "Tuhan, inilah daftar dosaku kepada-Mu." Kemudian mereka membacakan daftar dosa mereka. Dari mulai penipuan, perzinahan, ketidakadilan, dan lain-lain, kemudian ditutup dengan ucapan, "Aku telah berdosa dan memohon pengampunan karena telah membuat-Mu sangat murka."
Setelah itu, sambil tetap mengangkat tangan ke langit, mereka akan mengeluarkan daftar kedua dan berkata, "Tuhan, inilah daftar dosa-Mu kepadaku: Engkau telah membunuh hewan ternakku, Engkau telah membuat cuaca menjadi tidak stabil sehingga panenku berantakan, Engkau telah membuatku harus bekerja ekstra untuk menghidupi keluargaku. Aku telah berdosa kepada-Mu, tapi Engkau juga telah berdosa kepadaku. Biar bagaimana pun, aku akan memaafkan kesalahan-Mu kepadaku, dan kuharap Engkau juga melakukan hal yang sama. Amin."
Karena itulah kali ini saya ingin meminta maaf. Bukan kepada teman-teman saya, bukan kepada orangtua saya, bukan kepada orang lain, bukan juga kepada Tuhan, tetapi kepada sosok yang memegang peranan paling penting dalam kisah kehidupan saya: diri saya sendiri. Meminta maaf dan memaafkan diri sendiri memiliki keuntungan ganda; perasaan lega yang didapat dari kerendahan hati untuk meminta maaf, dan perasaan lega yang bersumber dari kebesaran hati untuk memaafkan. Maka inilah dia:
Saya ingin meminta maaf pada diri saya sendiri karena: sudah lama sekali saya tidak menulis (atau lebih tepatnya: menyelesaikan tulisan), proyek untuk memproduksi film yang saya canangkan beberapa bulan yang lalu hanya berakhir sebagai wacana, saya telah berkali-kali menyia-nyiakan kesempatan untuk mengembangkan diri, saya telah berlaku dzolim pada buku-buku saya karena telah begitu jarang menyentuh mereka.
Saya juga memaafkan diri saya yang telah melakukan dosa-dosa berupa: sangat jarang jalan-jalan dalam beberapa bulan terakhir, tidak jadi menonton The Radio Dept. saat konser di Jakarta tempo hari, sangat malas berolahraga sehingga saya terkena typus dua hari sebelum ujian masuk pascasarjana.
Wahai diriku, aku telah berdosa kepadamu, tapi engkau juga telah berdosa kepadaku. Biar bagaimana pun, aku akan memaafkan kesalahanmu kepadaku, dan kuharap engkau juga melakukan hal yang sama. Amin.
Ahab yang telah bertobat kemudian ingin mengubah seluruh warga desanya menjadi manusia yang lebih baik. Sebagai mantan penjahat, dia menyadari bahwa warganya tidak akan serta-merta berubah hanya dengan diiming-imingi surga dan diancam dengan neraka. Karena pada dasarnya mereka adalah para penjahat, dan penjahat tidak pernah peduli dengan semua itu. Salah satu cara Ahab untuk membuat warganya kembali mengingat Tuhan adalah dengan membuat Hari Raya Perdamaian. Perayaan yang dipelajarinya dari orang Yahudi ini telah dimodifikasi sedemikian rupa olehnya agar pas untuk diterapkan warga desanya yang merasa memiliki masalah "personal" dengan Tuhan.
Dalam sekali dalam setahun, masing-masing warga mengunci diri di rumah masing-masing. Sebelumnya mereka telah membuat dua macam daftar yang akan mereka bacakan. Pertama, mereka akan mengeluarkan satu daftar sambil mengangkat tangan ke langit dan berkata, "Tuhan, inilah daftar dosaku kepada-Mu." Kemudian mereka membacakan daftar dosa mereka. Dari mulai penipuan, perzinahan, ketidakadilan, dan lain-lain, kemudian ditutup dengan ucapan, "Aku telah berdosa dan memohon pengampunan karena telah membuat-Mu sangat murka."
Setelah itu, sambil tetap mengangkat tangan ke langit, mereka akan mengeluarkan daftar kedua dan berkata, "Tuhan, inilah daftar dosa-Mu kepadaku: Engkau telah membunuh hewan ternakku, Engkau telah membuat cuaca menjadi tidak stabil sehingga panenku berantakan, Engkau telah membuatku harus bekerja ekstra untuk menghidupi keluargaku. Aku telah berdosa kepada-Mu, tapi Engkau juga telah berdosa kepadaku. Biar bagaimana pun, aku akan memaafkan kesalahan-Mu kepadaku, dan kuharap Engkau juga melakukan hal yang sama. Amin."
***
Memaafkan Tuhan, mungkin adalah langkah terjauh yang bisa diambil manusia dalam usahanya untuk mencapai aktualisasi diri. Nyatanya, meminta maaf dan memaafkan memiliki dampak yang begitu besar pada kehidupan seseorang. Para ilmuwan psikologi telah menemukan bahwa orang yang memiliki kemampuan yang baik dalam memaafkan kesalahan orang lain akan lebih mudah mengatasi stres, lebih berpikiran positif, serta merasa lebih bahagia ketimbang mereka yang memiliki hambatan dalam memaafkan. Bahkan, memaafkan juga memiliki efek pada kesehatan jantung, hati, dan tekanan darah. Intinya, perihal maaf-memaafkan ini begitu menyehatkan. Tidak hanya secara psikologis, tetapi juga fisiologis.Karena itulah kali ini saya ingin meminta maaf. Bukan kepada teman-teman saya, bukan kepada orangtua saya, bukan kepada orang lain, bukan juga kepada Tuhan, tetapi kepada sosok yang memegang peranan paling penting dalam kisah kehidupan saya: diri saya sendiri. Meminta maaf dan memaafkan diri sendiri memiliki keuntungan ganda; perasaan lega yang didapat dari kerendahan hati untuk meminta maaf, dan perasaan lega yang bersumber dari kebesaran hati untuk memaafkan. Maka inilah dia:
Saya ingin meminta maaf pada diri saya sendiri karena: sudah lama sekali saya tidak menulis (atau lebih tepatnya: menyelesaikan tulisan), proyek untuk memproduksi film yang saya canangkan beberapa bulan yang lalu hanya berakhir sebagai wacana, saya telah berkali-kali menyia-nyiakan kesempatan untuk mengembangkan diri, saya telah berlaku dzolim pada buku-buku saya karena telah begitu jarang menyentuh mereka.
Saya juga memaafkan diri saya yang telah melakukan dosa-dosa berupa: sangat jarang jalan-jalan dalam beberapa bulan terakhir, tidak jadi menonton The Radio Dept. saat konser di Jakarta tempo hari, sangat malas berolahraga sehingga saya terkena typus dua hari sebelum ujian masuk pascasarjana.
Wahai diriku, aku telah berdosa kepadamu, tapi engkau juga telah berdosa kepadaku. Biar bagaimana pun, aku akan memaafkan kesalahanmu kepadaku, dan kuharap engkau juga melakukan hal yang sama. Amin.
isinya bagus mas, izin share ya buat murid2 saya di sekolah..:)
ReplyDeleteHah? Gak salah tuh di-share di sekolah? Tapi ya silakan aja. :)
Deletekeren yaaa.... pingin beli bukunya cuelho yg ini...
ReplyDelete