Waktu, adalah hal yang tak pernah usang untuk dijadikan bahan perenungan, kegelisahan, serta harapan bagi manusia. Kita selalu merasa telah berhasil menangkap waktu, memenjarakannya, memberinya nama, mengukurnya, dan menetapkan ukurannya sesuai kapasitas otak kita. Padahal sebenarnya waktu adalah makhluk yang bebas, makhluk yang misterius, makhluk yang bisa meregangkan tangannya dengan bersahabat dan menikam punggung kita pada waktu yang sama.
Entah karena kejayaan Doraemon atau mungkin jauh sebelum itu, kita adalah generasi yang merindukan mesin waktu. Konsep "pergi ke masa lalu untuk memperbaikinya" adalah mimpi yang selalu indah untuk dibayangkan, begitu juga dengan "pergi ke masa lalu dan tinggal di sana karena itu adalah masa yang lebih baik dari hari ini". Mungkin juga hal yang senada dengan masa depan, pergi ke sana untuk sekedar menengoknya, belajar darinya, atau sekali lagi, pergi dan tinggal di sana karena itu adalah masa yang lebih baik dari hari ini.
Tapi bagaimana jika itu adalah siasat waktu untuk membalas kita yang telah memenjarakannya? Untuk membalas dengan balik memenjarakan kita? Seperti Gil dalam film "Midnight in Paris" yang selalu memimpikan untuk bisa hidup di tahun 1920 karena menurutnya itu adalah zaman keemasan bagi dunia seni. Akhirnya sampailah dia di sana dan menemukan seorang perempuan bernama Adriana yang selalu memimpikan hidup di tahun 1890. Kemudian pergilah mereka berdua ke tahun 1890 dan menemukan orang-orang yang ingin hidup di zaman Renaisans. Begitu seterusnya, ketidakpuasaan yang kronis akan masa di mana kita sedang berada.
Wahai Batara Kala, berbaik hatilah pada kami, sebab pusaranmu terlalu kuat untuk dibendung.
Friday, June 29, 2012
Monday, June 11, 2012
Premortem: labirin super rumit setebal 135 halaman
Beberapa waktu yang lalu ketika sedang di Bandung saya melakukan ritual yang sudah lama tidak saya lakukan: membeli buku. Kegiatan membeli buku sempat vakum beberapa waktu karena dua hal: belakangan ini saya lagi kecanduan nonton film, dan di rak buku ada sejumlah buku yang telah saya dzolimi dengan tidak pernah sempat membacanya. Mereka menunggu dengan harap-harap cemas akan pernah dijamah atau tidak. Tetapi kadang hasrat manusia tidak bisa ditebak juga. Sore itu tiba-tiba saya ingin membeli buku. Maka begitulah, tahu-tahu saya sudah sampai di antara deretan rak sebuah toko buku di Jalan Supratman.
Sebenarnya saya ingin membeli buku terbarunya Ayu Utami (yang meskipun menurut saya kover dan judulnya mirip teenlit, pasti tetap akan saya beli juga), tetapi sialnya sedang tidak ada stok di sana. Akhirnya saya membawa pulang "Klub Film" (buku yang telah lama menjadi incaran juga, tetapi ternyata mengecewakan), dan "Premortem". Buku yang saya sebut terakhir itu saya pilih secara acak di barisan buku baru. Saya asing dengan nama pengarangnya (J. Angin), kovernya simpel cenderung biasa saja, satu-satunya yang menarik adalah tulisan di kover belakangnya: "Apa yang sesungguhnya terjadi pada tokoh-tokoh cerita? Siapa mereka sebenarnya? Siapakah Anda sebenarnya?", menimbulkan sedikit ekspektasi akan merasakan sensasi yang sama seperti yang diberikan Jostein Gaarder lewat "Dunia Sophie" dan "Misteri Soliter"-nya.
Premortem adalah buku yang cukup tipis untuk sebuah novel, hanya berisi 135 halaman. Bercerita tentang...emm...entahlah, sebenarnya sampai sekarang saya tidak yakin buku ini bercerita tentang apa. Bahkan sebenarnya tidak ada yang benar-benar tahu inti cerita buku ini kecuali pengarangnya sendiri. Lewat dialog yang sempat saya lakukan dengan pengarangnya lewat Twitter, dia mengatakan bahwa Premortem memang jenis buku yang menolak untuk "menyuapi" pembacanya bulat-bulat tentang apa yang terjadi di dalamnya. Jadi pembacanyalah yang dituntut untuk mengolah sendiri bahan-bahan serta bumbu rahasia berupa clue-clue yang tersebar dalam buku ini, mengolahnya, kemudian mengunyah dan menelannya sendiri; sehingga rasa atau pemahaman tentang apakah inti dari buku ini yang didapat oleh setiap pembaca akan berbeda-beda.
Sepanjang cerita, pembaca akan dibimbing oleh tokoh "aku" yang selalu berganti-ganti, kadang laki-laki, kadang perempuan, kadang tua, kadang muda, kadang miskin, kadang kaya. Di dalamnya juga kita akan menemukan beberapa nama tokoh yang akan berulangkali berganti identitas seiring cerita yang semakin lama semakin membingungkan jika kita tidak berkonsentrasi. Hal yang menarik dari buku ini adalah sama sekali tidak ada penggunaan tanda kutip di dalamnya. Seluruh dialog antar tokoh dibuat melebur dalam narasi.
Kembali lewat Twitter, saya bertanya pada pengarangnya, jika diibaratkan film, apa film yang paling mendekati Premortem. Pengarangnya menjawab bahwa Premortem adalah seperti karya Christopher Nolan dalam bentuk buku. Saya tidak tahu film Nolan yang mana yang dijadikan perumpamaan, yang jelas saya kurang setuju, menurut saya Premortem lebih mirip dengan Vanilla Sky atau Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Tapi sensasi yang saya dapat sehabis membaca buku ini untuk pertama kalinya benar-benar mirip dengan sensasi yang saya dapat sehabis menonton Mulholand Drive: kesal karena tidak mengerti!
Saya suka dengan tema-tema membingungkan, baik dalam buku maupun film. Masalahnya adalah, baik buku dan film dengan tema-tema semacam itu biasanya memberikan jawaban di akhir, dan meskipun seringkali masih menimbulkan perdebatan antar pembaca maupun penonton, setidaknya mereka telah diberikan "bekal" yang cukup jelas lewat buku dan film tersebut untuk sedikit saja dirangkai menjadi pemahaman yang utuh. Premortem tidak seperti itu. Serius, Premortem adalah jenis buku yang tidak memberikan nafas lega di halaman terakhir. Tapi justru itulah menariknya, Premortem bukan buku yang akan masih terlihat baru karena cukup sekali dibaca, tetapi sengaja diciptakan untuk menjadi lecek karena berulangkali dibolak-balik oleh pembacanya.
Jika dilihat dari postingan-postingan di blog, Facebook, serta Twitternya, sepertinya Premortem adalah sebuah proyek yang niat untuk dibuat (bahkan ada trailer-nya juga di Youtube). Pengarangnya bahkan berani mengklaimnya sebagai "novel generasi baru pertama di dunia". Sesuatu yang akan menjadi sangat disayangkan jika hanya sedikit yang mengenal buku ini. Mungkin untuk itulah penulisnya sering membuat kuis berhadiah tiket bioskop dengan pertanyaan-pertanyaan seputar isi buku ini, secara tidak langsung membuat orang tertarik dan akhirnya ikut membeli.
Saya sendiri sudah membacanya tiga kali, dan meskipun sedikit-sedikit mulai terlihat titik terang, tetap saja belum cukup. Beberapa orang menyarankan untuk membuat mindmap atau sekedar catatan tentang detil-detil tokoh dan peristiwa ketika membaca buku ini, sesuatu yang belum sempat saya lakukan. Mungkin habis ini, ketika untuk keempat kalinya saya masuk ke dalam labirin super rumit setebal 135 halaman bernama Premortem. Selamat membaca, semoga tidak tersesat.
Sebenarnya saya ingin membeli buku terbarunya Ayu Utami (yang meskipun menurut saya kover dan judulnya mirip teenlit, pasti tetap akan saya beli juga), tetapi sialnya sedang tidak ada stok di sana. Akhirnya saya membawa pulang "Klub Film" (buku yang telah lama menjadi incaran juga, tetapi ternyata mengecewakan), dan "Premortem". Buku yang saya sebut terakhir itu saya pilih secara acak di barisan buku baru. Saya asing dengan nama pengarangnya (J. Angin), kovernya simpel cenderung biasa saja, satu-satunya yang menarik adalah tulisan di kover belakangnya: "Apa yang sesungguhnya terjadi pada tokoh-tokoh cerita? Siapa mereka sebenarnya? Siapakah Anda sebenarnya?", menimbulkan sedikit ekspektasi akan merasakan sensasi yang sama seperti yang diberikan Jostein Gaarder lewat "Dunia Sophie" dan "Misteri Soliter"-nya.
Premortem adalah buku yang cukup tipis untuk sebuah novel, hanya berisi 135 halaman. Bercerita tentang...emm...entahlah, sebenarnya sampai sekarang saya tidak yakin buku ini bercerita tentang apa. Bahkan sebenarnya tidak ada yang benar-benar tahu inti cerita buku ini kecuali pengarangnya sendiri. Lewat dialog yang sempat saya lakukan dengan pengarangnya lewat Twitter, dia mengatakan bahwa Premortem memang jenis buku yang menolak untuk "menyuapi" pembacanya bulat-bulat tentang apa yang terjadi di dalamnya. Jadi pembacanyalah yang dituntut untuk mengolah sendiri bahan-bahan serta bumbu rahasia berupa clue-clue yang tersebar dalam buku ini, mengolahnya, kemudian mengunyah dan menelannya sendiri; sehingga rasa atau pemahaman tentang apakah inti dari buku ini yang didapat oleh setiap pembaca akan berbeda-beda.
Sepanjang cerita, pembaca akan dibimbing oleh tokoh "aku" yang selalu berganti-ganti, kadang laki-laki, kadang perempuan, kadang tua, kadang muda, kadang miskin, kadang kaya. Di dalamnya juga kita akan menemukan beberapa nama tokoh yang akan berulangkali berganti identitas seiring cerita yang semakin lama semakin membingungkan jika kita tidak berkonsentrasi. Hal yang menarik dari buku ini adalah sama sekali tidak ada penggunaan tanda kutip di dalamnya. Seluruh dialog antar tokoh dibuat melebur dalam narasi.
Kembali lewat Twitter, saya bertanya pada pengarangnya, jika diibaratkan film, apa film yang paling mendekati Premortem. Pengarangnya menjawab bahwa Premortem adalah seperti karya Christopher Nolan dalam bentuk buku. Saya tidak tahu film Nolan yang mana yang dijadikan perumpamaan, yang jelas saya kurang setuju, menurut saya Premortem lebih mirip dengan Vanilla Sky atau Eternal Sunshine of the Spotless Mind. Tapi sensasi yang saya dapat sehabis membaca buku ini untuk pertama kalinya benar-benar mirip dengan sensasi yang saya dapat sehabis menonton Mulholand Drive: kesal karena tidak mengerti!
Saya suka dengan tema-tema membingungkan, baik dalam buku maupun film. Masalahnya adalah, baik buku dan film dengan tema-tema semacam itu biasanya memberikan jawaban di akhir, dan meskipun seringkali masih menimbulkan perdebatan antar pembaca maupun penonton, setidaknya mereka telah diberikan "bekal" yang cukup jelas lewat buku dan film tersebut untuk sedikit saja dirangkai menjadi pemahaman yang utuh. Premortem tidak seperti itu. Serius, Premortem adalah jenis buku yang tidak memberikan nafas lega di halaman terakhir. Tapi justru itulah menariknya, Premortem bukan buku yang akan masih terlihat baru karena cukup sekali dibaca, tetapi sengaja diciptakan untuk menjadi lecek karena berulangkali dibolak-balik oleh pembacanya.
Jika dilihat dari postingan-postingan di blog, Facebook, serta Twitternya, sepertinya Premortem adalah sebuah proyek yang niat untuk dibuat (bahkan ada trailer-nya juga di Youtube). Pengarangnya bahkan berani mengklaimnya sebagai "novel generasi baru pertama di dunia". Sesuatu yang akan menjadi sangat disayangkan jika hanya sedikit yang mengenal buku ini. Mungkin untuk itulah penulisnya sering membuat kuis berhadiah tiket bioskop dengan pertanyaan-pertanyaan seputar isi buku ini, secara tidak langsung membuat orang tertarik dan akhirnya ikut membeli.
Saya sendiri sudah membacanya tiga kali, dan meskipun sedikit-sedikit mulai terlihat titik terang, tetap saja belum cukup. Beberapa orang menyarankan untuk membuat mindmap atau sekedar catatan tentang detil-detil tokoh dan peristiwa ketika membaca buku ini, sesuatu yang belum sempat saya lakukan. Mungkin habis ini, ketika untuk keempat kalinya saya masuk ke dalam labirin super rumit setebal 135 halaman bernama Premortem. Selamat membaca, semoga tidak tersesat.
Subscribe to:
Posts (Atom)