Jogja telah begitu menyatu dalam memori saya, hampir tidak ada lagi tempat yang belum pernah saya jamah disini. Maka ketika sore tadi kami bingung mau kemana untuk mengisi waktu kami yang saat ini telah begitu longgar semenjak tercerabut dari rutinitas kepengurusan, saya memacu motor saya begitu saja tanpa tujuan di kota yang belakangan cuacanya bersahabat ini. Dia yang saya bonceng juga tidak banyak bicara, karena kami telah sepakat bahwa pertanyaan "mau kemana?" adalah pertanyaan yang absurd dan sulit untuk dijawab dan seringkali malah akhirnya tidak membawa kami kemana-mana.
Kemudian kami sampai di sebuah tempat dimana turis biasanya mengasosiasikan Jogja dengan tempat ini selain Malioboro: Alun-Alun Utara. Tempat itu begitu ramai. Banyak sekali orang memadati lapangan dengan dua pohon beringin itu. Sebagian besar berpakaian hitam, sebagian lagi memakai baju bergambar dua orang berjas dan memakai peci, ada juga orang-orang yang memakai kaos bertuliskan salah satu suporter sepakbola. Bendera-bendera besar berwarna merah dan kuning dikibarkan dimana-mana. Mata mereka semua tertuju kepada orang-orang yang berbicara diatas panggung di sebelah selatan. Oh rupanya ini acara kampanye calon walikota.
Beberapa saat kemudian puluhan motor disiapkan untuk berkonvoy entah menuju kemana. Sebagian besar menggunakan knalpot super berisik yang sibuk digerung-gerung oleh si pengendara yang memboncengi dua orang di belakangnya dan tidak ada yang memakai helm. Saya sempat bingung, saya sedang berada di tengah massa pendukung calon walikota atau geng motor, atau malah kumpulan preman pasar. Entahlah, sentimensi saya terhadap kampanye memang tidak akan pernah hilang. Kegiatan yang menurut saya tidak ada bedanya dengan prostitusi. Iya kan? Sama-sama "menjual diri", bedanya kampanye adalah prostitusi yang dihalalkan dan malah sering didukung oleh para ulama-ulama entertainment yang mempromosikan calon yang membayarnya.
Karena iseng, kami bergabung dengan parade motor berisik itu. Sesuatu yang akhirnya kami sesali, karena knalpot mereka terus saja dikumandangkan sementara jalanan begitu macet. Saya hampir memaki keras-keras, tapi tidak jadi karena di kiri-kanan saya adalah mereka yang sepertinya simpatisan yang begitu loyal dengan membawa bendera yang lebih besar dari motornya. Ketika saya mendapat kesempatan untuk berbelok kearah Wijilan dan membebaskan diri dari mereka yang terus kearah timur, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kemudian dibawah Plengkung Wijilan saya berteriak kencang-kencang "asuuuu!!". Kami berdua tertawa terbahak-bahak, dan melanjutkan perjalanan ke arah selatan sambil merayakan jalanan yang sepi dari para pendukung prostitusi itu.
Tuesday, September 20, 2011
Monday, September 19, 2011
Sunday, September 18, 2011
urbanisasi vs udikisasi
Ketika semester 1, saya ingat dosen antropologi saya pernah memberikan soal ujian yang kira-kira berbunyi "coba jelaskan fenomena mudik lebaran menurut teori apa saja yang Anda suka!". Jujur, bahkan sampai sekarang, saya masih belum bisa memahami mengapa orang-orang mau melakukan sesuatu bernama mudik. Mengapa orang-orang mau berdesak-desakan dalam berbagai angkutan transpotasi umum yang harga tiketnya lebih dari dua kali lipat harga normal. Mengapa orang-orang rela bermacet-macetan di jalan yang panas berdebu berjam-berjam, bahkan berhari-hari, belum lagi ditambah statistik kecelakaan yang selalu meningkat tajam.
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin mengusik saya ketika tempo hari saya melakukan perjalanan Jogja-Bandung saat arus balik sedang memuncak menggunakan mobil dengan waktu 24 jam. 24 jam! Sehari penuh. Memang saya pernah melakukan perjalanan selama dua hari dua malam ke Sumatera. Tapi 24 jam untuk ukuran Jogja-Bandung adalah sesuatu yang menggelikan. Jarak yang biasanya hanya saya habiskan selama 8 jam menggunakan kereta, atau paling lama 10 jam dengan mobil.
Mudik, asal katanya pastilah udik, atau desa. Jadi secara logika mudik adalah pergi ke udik, atau kembali ke desa. Nah pertanyaannya, mengapa harus setiap lebaran? Mengapa tidak hari lain dimana lalu lintas sedang-sedang saja, dan harga tiket normal-normal saja? Bukankah seharusnya kembali ke desa itu bisa kapan saja dilakukan?
Kemudian, lagi-lagi tulisan Umar Kayam menyadarkan saya. Dalam salah satu kolomnya, Umar Kayam bercerita tentang jenuhnya beliau dengan acara halal bi halal pasca lebaran di kantornya, karena bersalaman dengan ratusan orang seperti itu, pastilah melelahkan dan lama-lama suara yang keluar dari mulut para peserta halal bi halal bukanlah "sugeng riyadi, mohon maaf lahir batin" lagi, melainkan hanya "huh hah huh hah" saja saking lelah dan panasnya. Kemudian di rumah Umar Kayam menceritakan hal itu pada Mr. Rigen, pembantunya. Mr. Rigen menjawab dengan serius "Lha, Bapak ini bagaimana tho? Wong masih bisa halal bi halal, silaturahmi, kok ya masih saja mengeluh tho Pak. Kalau silaturahmi itu, Pak, tidak penting apa yang keluar dari mulut kita, yang penting hati kita itu berjabat, Pak, seperti ada ikatan itu. Wong kami di desa itu senang sekali, Pak, kalau ada acara seperti itu. Tidak penting pesertanya ratusan, yang penting kami senang."
Makjleb! Secara tidak langsung cerita itu mengatakan bahwa kacamata modern itu seringkali mereduksi romantisme yang ada pada hal-hal sederhana. Seringkali kacamata modern menuntut kita untuk menjadi serba terburu-buru dan serba pragmatis dalam menyikapi berbagai permasalahan. Kemudian saya menyadari, betapa saya selama ini telah memandang fenomena mudik dengan kacamata modern. Betapa saya tidak menyadari bahwa konsep mangan ora mangan kumpul milik orang Jawa (yang mungkin sudah menjadi konsep milik orang Indonesia secara keseluruhan) telah membuat mereka melupakan segala kesulitan yang menghadang selama proses mudik, yang penting bisa berkumpul bersama keluarga besar mereka di desa. Betapa mereka telah bekerja mengumpulkan uang selama setahun penuh untuk kemudian dipakai untuk sedikit-sedikit memberi saudara mereka di desa. Tidak penting berapa, yang penting bahagia. Betapa saya selama ini telah menyepelekan romantis sederhana semacam itu.
Kemudian saya teringat pada dosen Isu-Isu Kontemporer Psikologi Sosial saya beberapa hari yang lalu. Beliau mengatakan betapa selama ini masyarakat Indonesia telah salah mendefinisikan urbanisasi. Bahwa "perpindahan penduduk dari desa ke kota" yang dijejali kepada kita semenjak SD itu bukanlah definisi urbanisasi, melainkan migrasi. Sedangkan urbanisasi yang benar adalah pengurbanan, pengkotaan, entah secara wilayah maupun secara penduduknya yang dibikin menjadi kekota-kotaan. Nah dalam memandang hal-hal semacam fenomena mudik tadi, menurut saya kita harus sering-sering melakukan udikisasi, yaitu melepas kacamata kota kita yang modern dan menggantinya dengan kacamata udik yang polos, jujur, dan sederhana.
Pertanyaan-pertanyaan itu semakin mengusik saya ketika tempo hari saya melakukan perjalanan Jogja-Bandung saat arus balik sedang memuncak menggunakan mobil dengan waktu 24 jam. 24 jam! Sehari penuh. Memang saya pernah melakukan perjalanan selama dua hari dua malam ke Sumatera. Tapi 24 jam untuk ukuran Jogja-Bandung adalah sesuatu yang menggelikan. Jarak yang biasanya hanya saya habiskan selama 8 jam menggunakan kereta, atau paling lama 10 jam dengan mobil.
Mudik, asal katanya pastilah udik, atau desa. Jadi secara logika mudik adalah pergi ke udik, atau kembali ke desa. Nah pertanyaannya, mengapa harus setiap lebaran? Mengapa tidak hari lain dimana lalu lintas sedang-sedang saja, dan harga tiket normal-normal saja? Bukankah seharusnya kembali ke desa itu bisa kapan saja dilakukan?
Kemudian, lagi-lagi tulisan Umar Kayam menyadarkan saya. Dalam salah satu kolomnya, Umar Kayam bercerita tentang jenuhnya beliau dengan acara halal bi halal pasca lebaran di kantornya, karena bersalaman dengan ratusan orang seperti itu, pastilah melelahkan dan lama-lama suara yang keluar dari mulut para peserta halal bi halal bukanlah "sugeng riyadi, mohon maaf lahir batin" lagi, melainkan hanya "huh hah huh hah" saja saking lelah dan panasnya. Kemudian di rumah Umar Kayam menceritakan hal itu pada Mr. Rigen, pembantunya. Mr. Rigen menjawab dengan serius "Lha, Bapak ini bagaimana tho? Wong masih bisa halal bi halal, silaturahmi, kok ya masih saja mengeluh tho Pak. Kalau silaturahmi itu, Pak, tidak penting apa yang keluar dari mulut kita, yang penting hati kita itu berjabat, Pak, seperti ada ikatan itu. Wong kami di desa itu senang sekali, Pak, kalau ada acara seperti itu. Tidak penting pesertanya ratusan, yang penting kami senang."
Makjleb! Secara tidak langsung cerita itu mengatakan bahwa kacamata modern itu seringkali mereduksi romantisme yang ada pada hal-hal sederhana. Seringkali kacamata modern menuntut kita untuk menjadi serba terburu-buru dan serba pragmatis dalam menyikapi berbagai permasalahan. Kemudian saya menyadari, betapa saya selama ini telah memandang fenomena mudik dengan kacamata modern. Betapa saya tidak menyadari bahwa konsep mangan ora mangan kumpul milik orang Jawa (yang mungkin sudah menjadi konsep milik orang Indonesia secara keseluruhan) telah membuat mereka melupakan segala kesulitan yang menghadang selama proses mudik, yang penting bisa berkumpul bersama keluarga besar mereka di desa. Betapa mereka telah bekerja mengumpulkan uang selama setahun penuh untuk kemudian dipakai untuk sedikit-sedikit memberi saudara mereka di desa. Tidak penting berapa, yang penting bahagia. Betapa saya selama ini telah menyepelekan romantis sederhana semacam itu.
Kemudian saya teringat pada dosen Isu-Isu Kontemporer Psikologi Sosial saya beberapa hari yang lalu. Beliau mengatakan betapa selama ini masyarakat Indonesia telah salah mendefinisikan urbanisasi. Bahwa "perpindahan penduduk dari desa ke kota" yang dijejali kepada kita semenjak SD itu bukanlah definisi urbanisasi, melainkan migrasi. Sedangkan urbanisasi yang benar adalah pengurbanan, pengkotaan, entah secara wilayah maupun secara penduduknya yang dibikin menjadi kekota-kotaan. Nah dalam memandang hal-hal semacam fenomena mudik tadi, menurut saya kita harus sering-sering melakukan udikisasi, yaitu melepas kacamata kota kita yang modern dan menggantinya dengan kacamata udik yang polos, jujur, dan sederhana.
Tuesday, September 6, 2011
menulis adalah merokok tanpa asap
Membuka blog ini, saya melihat bahwa di bulan Agustus tidak ada dalam catatan peta-waktu saya. Artinya untuk pertama kalinya dalam satu setengah tahun semenjak saya membuat blog ini, ada lubang dimana saya sama sekali tidak menulis apa-apa disini. Apologi untuk diri saya sendiri adalah karena selama KKN kemarin, saya tidak bisa menemukan waktu untuk bisa sendirian saja semenjak kemana dan kapan pun saya pergi, saya selalu bertemu orang lain, entah teman KKN maupun warga desa. Padahal saya hanya bisa menulis ketika saya benar-benar sendirian.
Tapi kemudian setelah KKN selesai pun, dan setelah saya mendapatkan waktu untuk sendirian yang berlimpah di rumah, saya masih saja kesulitan untuk menulis. Memang saya sempat membuat beberapa tulisan yang saya posting di Facebook, tapi tetap saja tulisan-tulisan itu bukan jenis tulisan yang bisa membuat saya merasa amat lega setelah menulis, seperti yang biasa saya lakukan di blog ini. Entahlah, belakangan ini terasa ada mental block ketika saya hendak mulai menuliskan sesuatu.
Seorang teman pernah berkata bahwa menulis adalah terapi terbaik untuknya. Saya sepakat, menulis adalah kegiatan yang menyembuhkan. Mungkin semacam merokok untuk saya, rasanya sungguh nikmat. Tapi seperti juga saya sering merasa sesak karena kebanyakan merokok, ada saat-saat ketika saya merasa overproduktif, saya merasa muak menulis. Dan ada saat-saat dimana saya tiba-tiba malas menulis apa pun, sama seperti saya tiba-tiba malas merokok tanpa alasan yang jelas. Bedanya, saya bisa saja berhenti merokok kapanpun saya mau, tapi saya rasa saya tidak bisa berhenti menulis.
Saya ingat ketika SD dan SMP, saya sama sekali tidak bisa menulis, entah puisi maupun cerpen. Dan jika terpaksa membuat ketika pelajaran Bahasa Indonesia, bisa dipastikan jadinya sangat cheesy. Saya mulai ketagihan menulis ketika saya pertama kali memiliki handphone, itu sekitar kelas 1 SMA. Dulu saya sering membuat puisi-puisi kacangan, sebagian saya simpan di draft handphone saya dan sebagian saya kirimkan lewat SMS kepada teman-teman dan tentu saja gebetan saya.
Saya pertama kali menulis di blog ketika semester 2. Jika saat ini saya melihat lagi blog lama itu, saya masih merasa heran kenapa dulu saya bisa menulis hal-hal semacam itu. Blog saya yang lama itu isinya tulisan-tulisan 'cerah' dan penuh optimisme semua. Entahlah, mungkin karena dulu saya masih punya pacar. (haha!)
Kemudian saya berhenti menulis cukup lama, semenjak saya memutuskan untuk tidak lagi menyentuh internet untuk alasan apapun. Kemudian karena keinginan untuk menulis yang tak bisa dibendung, saya membuat Asimetris. Semacam zine yang isinya tulisan-tulisan saya tentang apa saja yang saya cetak dan perbanyak kemudian saya sebarkan kemana saja. Asimetris 'terbit' sampai 4 edisi, sebelum akhirnya satu setengah tahun yang lalu saya kembali berdamai dengan internet, dan mulai produktif menulis kembali, di Facebook, dan di blog ini.
Saya juga sempat membuat Tumblr yang hanya beberapa teman saja yang tahu. Disana saya menulis tanpa kendali. Saya benar-benar membiarkan Id saya mengambil alih tangan saya dengan mengetikkan apa saja semaunya tanpa memperhatikan bahasa, tanda baca, apalagi substansinya. Kemudian saya deactivate, karena saya takut jika dibiarkan lama-lama saya tidak bisa lagi menulis dengan 'benar'.
Bicara tentang alasan menulis, saya setuju benar dengan apa yang dikatakan oleh Fahd Djibran. Dia mengatakan alasan dia menulis adalah supaya anak cucunya bisa mengenalnya lewat tulisannya, karena dia lebih mengenal Karl Marx dibanding kakeknya sendiri untuk alasan sederhana: karena kakeknya tidak pernah menulis.
Saya juga ingin kelak keponakan-keponakan saya mengenal paman mereka lewat tulisan-tulisannya. Atau jika saya suatu hari akhirnya berubah pikiran dan mau punya anak, sepertinya akan seru membayangkan mereka mengenali lebih dalam jiwa ayahnya lewat tulisan-tulisannya. Tapi alasan utama saya menulis sebenarnya sangat simpel: saya ingin terus berkomunikasi dengan diri saya sendiri. Saya tidak terlalu menganggap penting apa pendapat orang lain tentang tulisan saya, selama saya masih bisa merasa puas membaca tulisan saya sendiri.
Tapi kemudian setelah KKN selesai pun, dan setelah saya mendapatkan waktu untuk sendirian yang berlimpah di rumah, saya masih saja kesulitan untuk menulis. Memang saya sempat membuat beberapa tulisan yang saya posting di Facebook, tapi tetap saja tulisan-tulisan itu bukan jenis tulisan yang bisa membuat saya merasa amat lega setelah menulis, seperti yang biasa saya lakukan di blog ini. Entahlah, belakangan ini terasa ada mental block ketika saya hendak mulai menuliskan sesuatu.
Seorang teman pernah berkata bahwa menulis adalah terapi terbaik untuknya. Saya sepakat, menulis adalah kegiatan yang menyembuhkan. Mungkin semacam merokok untuk saya, rasanya sungguh nikmat. Tapi seperti juga saya sering merasa sesak karena kebanyakan merokok, ada saat-saat ketika saya merasa overproduktif, saya merasa muak menulis. Dan ada saat-saat dimana saya tiba-tiba malas menulis apa pun, sama seperti saya tiba-tiba malas merokok tanpa alasan yang jelas. Bedanya, saya bisa saja berhenti merokok kapanpun saya mau, tapi saya rasa saya tidak bisa berhenti menulis.
Saya ingat ketika SD dan SMP, saya sama sekali tidak bisa menulis, entah puisi maupun cerpen. Dan jika terpaksa membuat ketika pelajaran Bahasa Indonesia, bisa dipastikan jadinya sangat cheesy. Saya mulai ketagihan menulis ketika saya pertama kali memiliki handphone, itu sekitar kelas 1 SMA. Dulu saya sering membuat puisi-puisi kacangan, sebagian saya simpan di draft handphone saya dan sebagian saya kirimkan lewat SMS kepada teman-teman dan tentu saja gebetan saya.
Saya pertama kali menulis di blog ketika semester 2. Jika saat ini saya melihat lagi blog lama itu, saya masih merasa heran kenapa dulu saya bisa menulis hal-hal semacam itu. Blog saya yang lama itu isinya tulisan-tulisan 'cerah' dan penuh optimisme semua. Entahlah, mungkin karena dulu saya masih punya pacar. (haha!)
Kemudian saya berhenti menulis cukup lama, semenjak saya memutuskan untuk tidak lagi menyentuh internet untuk alasan apapun. Kemudian karena keinginan untuk menulis yang tak bisa dibendung, saya membuat Asimetris. Semacam zine yang isinya tulisan-tulisan saya tentang apa saja yang saya cetak dan perbanyak kemudian saya sebarkan kemana saja. Asimetris 'terbit' sampai 4 edisi, sebelum akhirnya satu setengah tahun yang lalu saya kembali berdamai dengan internet, dan mulai produktif menulis kembali, di Facebook, dan di blog ini.
Saya juga sempat membuat Tumblr yang hanya beberapa teman saja yang tahu. Disana saya menulis tanpa kendali. Saya benar-benar membiarkan Id saya mengambil alih tangan saya dengan mengetikkan apa saja semaunya tanpa memperhatikan bahasa, tanda baca, apalagi substansinya. Kemudian saya deactivate, karena saya takut jika dibiarkan lama-lama saya tidak bisa lagi menulis dengan 'benar'.
Bicara tentang alasan menulis, saya setuju benar dengan apa yang dikatakan oleh Fahd Djibran. Dia mengatakan alasan dia menulis adalah supaya anak cucunya bisa mengenalnya lewat tulisannya, karena dia lebih mengenal Karl Marx dibanding kakeknya sendiri untuk alasan sederhana: karena kakeknya tidak pernah menulis.
Saya juga ingin kelak keponakan-keponakan saya mengenal paman mereka lewat tulisan-tulisannya. Atau jika saya suatu hari akhirnya berubah pikiran dan mau punya anak, sepertinya akan seru membayangkan mereka mengenali lebih dalam jiwa ayahnya lewat tulisan-tulisannya. Tapi alasan utama saya menulis sebenarnya sangat simpel: saya ingin terus berkomunikasi dengan diri saya sendiri. Saya tidak terlalu menganggap penting apa pendapat orang lain tentang tulisan saya, selama saya masih bisa merasa puas membaca tulisan saya sendiri.
Subscribe to:
Posts (Atom)