Selain mempunyai angka statistik yang tinggi untuk kasus bunuh diri, Gunung Kidul juga memiliki ratusan (bahkan mungkin ribuan) goa yang tersebar di seluruh wilayah. Salah satunya adalah Goa Bendo, terletak di Desa Dadapayu, Kecamatan Semanu. Di goa multi-pitch yang memiliki total kedalaman 40 meter inilah beberapa tahun yang lalu saya dan beberapa teman membuat heboh warga kampung karena mengaku menemukan mayat bayi, yang ternyata setelah dilihat lebih jelas adalah bangkai anak kambing yang jatuh terperosok.
Hari ini saya kembali melakukan eksplorasi disana bersama empat orang teman. Saya yang harusnya berada di urutan ketiga ketika naik meminta izin untuk naik duluan karena suatu hal: saya kebelet kencing. Saya tidak mau kencing di dalam goa bukan karena slogan khas pecinta alam itu, leave nothing but footprint. Bukan, karena saya yakin manusia tidak pernah bisa tidak meninggalkan apa-apa selain jejak kaki ketika melakukan eksplorasi.
Katakanlah karbondioksida yang dikeluarkan ketika bernafas, itu saja sudah cukup untuk mengintervensi lingkungan alami goa, belum lagi sampah-sampah yang sengaja maupun tidak kadang tertinggal begitu saja di dalam. Maka jelas saya bukan seorang naturalis, bagaimana bisa menjadi naturalis jika saya sendiri yakin bahwa justru kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pecinta alam malah berpotensi merusak alam itu sendiri.
Saya rela naik sendirian karena Goa Bendo adalah goa yang sempit dan tidak mempunyai aliran air di dalamnya, saya tidak mau membuat teman-teman saya yang masih di bawah tersiksa dengan bau pesing jika saya kencing di dalam. Maka begitulah, akhirnya saya berada di mulut goa, sendirian, menunggu teman-teman saya yang lain yang saya perkirakan masih akan lama sebelum mereka sampai kesini.
Saat itu sudah sore, langit mulai remang. Karena saya bingung mau melakukan apa sembari menunggu, akhirnya saya berbaring, beralaskan ponco berbantalkan helm. Baju yang penuh lumpur, tanah yang basah di bawah saya. Saya berbaring membelakangi mulut goa, menghadap ke langit. Terlihat beberapa ekor kelelawar yang keluar kemudian masuk lagi ke dalam goa, entah mereka merasa kepagian untuk mencari makan atau ada sesuatu yang ketinggalan di dalam.
Saya memejamkan mata, berusaha berkonsentrasi terhadap segala jenis suara di tempat yang jauh dari peradaban itu. Suara nyamuk di telinga saya, suara kelelawar, suara jangkrik, suara tokek, suara langkah hewan --entah apa itu, kadal mungkin-- di rerumputan, suara daun yang bergesekkan, suara kodok, suara sore, suara alam. Oh dengarlah, siapa bilang alam itu sunyi? Siapa bilang semesta itu senyap? Alam semesta adalah orkestra dengan nada yang rumit tapi indah, dan ego manusia kadang hanya menyumbangkan nada fals terhadapnya.
No comments:
Post a Comment